PERTAMA,revolosi industri generasi pertama, kedua, ketiga dan kini yang keempat ( revolosi 4.0) hanya akan tumbuh menjadi kekuatan ekonomi riil, jika terjadi proses akumulasi modal, teknologi, kewirausahaan, dan policy support yang efektif. Bisa dikatakan bahwa tanpa ada proses akumulasi ke-4 faktor tersebut, pada dasarnya proses industrialisasi tidak akan bisa tumbuh sebagai kekuatan ekonomi riil penggerak utama ekonomi.
Ada dua faktor yang dapat menjadikan suatu industri dikatakan mampu menjadi penggerak utama adalah bila industri tersebut berhasil menjadi market leader di pasar dalam negeri maupun ekspor dan dapat meningkatkan nilai portofolio industri dan bisnisnya.
KEDUA, modal, utamanya modal finansial bisa berupa modal sendiri maupun modal pinjaman baik dari dalam negeri maupun modal asing. Teknologi menjadi sumber daya utama proses industrialisasi, sehingga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi titik episentrum proses penciptaan nilai tambah akan terjadi dalam setiap satuan output produksi.
Kewirausahaan adalah man behind the gun tentang mati hidup sebuah industri yang dibangun. Mereka yang akan mengemban misi utama agar industri mampu menjelma menjadi market leader dan meningkatkan nilai portofolio industri dan bisnis di pasar manapun.
Dalam kerangka makro, agar tujuan itu tercapai, maka industri harus mampu mencukupi kebutuhan belanja konsumen, belanja investasi, belanja pemerintah, meningkatkan ekspor dan mengendalikan impor. Atau dengan kata lain harus menciptakan surplus ekspor setiap tahun.
Pada skala besar, menengah atau kecil pada dasarnya mengemban misi yang serupa dalam setiap siklus bisnis. The champion of industry pada akhirnya membutuhkan policy support untuk mengakumulasi modal, teknologi dan kewirausahaan.
KETIGA, policy support menjadi urusannya pemerintah. Segala langkah dan tindakannya harus pro industri dan bisnisnya, dan juga harus pro pasar. Hakekatnya harus selalu memberikan sentimen positif agar industri dapat mengemban misi sebagai market leader dan meningkatkan nilai portofolio industri dan bisnisnya.
Setiap policy yang menimbulkan sentimen negatif harus segera dikoreksi melalui pengaturan kembali atau melalui instrumen deregulasi yang tepat sasaran. Dalam bahasa IMF dan Bank Dunia, pemerintah harus melakukan Structural Adjusment Progam. Secara spesifik, pada sektor industrinya yang mulai kehilangan daya saing harus diberikan dukungan restrukturisasi industri.
KEEMPAT, industri, dan kegiatan bisnis pada umumnya sebagian besar selalu bergantung pada sifat kebijakan makro ekonomi yang mempengaruhinya, seperti faktor inflasi, suku bunga, nilai tukar mata uang, kebijakan fiskal, serta respon kebijakan terhadap gejolak eksternal yang bisa berdampak terhadap kegiatan industri dan bisnis di dalam negeri. Pada level makro selalu diperlukan koordinasi yang efektif antara kebijakan moneter dan fiskal dalam konteks saling memback-up agar sektor riil bisa bergerak dengan cost of fund yang rendah.
KELIMA, di luar kerangka kebijakan makro, industri juga menghadapi jebakan batman karena regulasi yang saling tumpang tindih sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakpastian berusaha. Lebih dari itu, akibatnya cost doing business menjadi mahal.
Penulis suka menyebut bahwa tumpang tindih itu terjadi akibat konflik kebijakan karena adanya arogansi sektoral. Di negeri ini, konflik kebijakan nyaris terus berulang. Diatasi dengan pendekatan Omnibus Law tidak sepenuhnya dapat mengatasi tumpang tinding karena aturan ini sebenarnya tidak lebih dari sebuah himpunan berbagai regulasi sektoral dengan modifikasi untuk memberi kemudahan doing business. Aturan ini tetap terbuka terjadi disharmonisasi antar sejumlah aturan terkait.
Contoh paling nyata adalah kebijakan hilirisasi tetap dikendalikan oleh kementrian ESDM. Padahal hilirisasi sesungguhnya menjadi bagian dari kebijakan industri yang selama ini diurus oleh kementrian perindustrian. Suka tidak suka, hal yang demikian dapat kita sebut sebagai contoh terjadinya konflik kebijakan.
Ke depan diharapkan undang – undang yang mengatur tentang investasi, industri, dan perdagangan harus dibuat dalam satu undang–undang karena ketiga sektor ini berada dalam satu proses ekonomi sebagai kekuatan utama primary policy .
Pengaturan tentang hilirisasi sektor pertambangan, pertanian dalam arti luas harus diintegrasikan ke dalam arus utama undang – undang tersebut. Initiative for policy dialogue penting dilakukan untuk mengatasi konflik kebijakan, sehingga perlu dilakukan dengan pendekatan semacam re writing the rules.Artinya tidak bisa dilakukan secara tambal sulam, atau sekedar dilakukan melalui deregulasi.
Semoga sebagai tindak lanjut dari RAKER Kemenperin di Bali tanggal 29 desember 2023, Kemenperin bisa mengambil initiative for policy dialogue untuk melakukan re writing the rules. Hal ini berarti tidak sekedar hanya merevisi UU nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, tetapi lebih dari itu, harus bisa melakukan re writing the rules untuk mengatur dalam satu tarikan nafas kegiatan investasi, industri, dan perdagangan sebagai primary policy.
Policy memang rentan mengundang konflik kebijakan karena policy dibuat melalui proses politik. Proses teknokratik biasanya akan berusaha menyesuaikan diri dengan proses politik. Ini fakta yang kemudian dalam praktek kebijakan dapat berpotensi menimbulkan “pertengkaran” antar sektor.
Mari kita pahami bahwa tumpang tindih boleh jadi tidak akan menimbulkan jika kita bisa menatanya seperti susunan genteng di rumah. Esensi koordinasi dan harmonisasi antar regulasi harus bisa ditata seperti kita memasang genteng di bangunan rumah. Tumpang tindih tapi indah dan bermanfaat.