Gemabisnis.com, JAKARTA–Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menggelar pertemuan dengan asosiasi-asosiasi industri untuk membahas gejolak ekonomi global dan antisipasi sektor industri dalam menghadapi kondisi tersebut. Pasalnya, di masa pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19, dunia juga menghadapi konsekuensi dari kondisi geopolitik yang salah satu akibatnya adalah ketidakpastian energi dan pangan.
“Setidaknya, terdapat tiga aspek yang perlu menjadi fokus dalam upaya peningkatan produktivitas dan daya saing industri serta antisipasi dampak perekonomian global. Yaitu, terkait situasi geopolitik, nilai tukar, serta persepsi kepercayaan industri,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita saat bertemu dengan para pimpinan asosiasi industri di Jakarta, Kamis (04/08/2022).
Sejumlah asosiasi industri yang hadir adalah Asosiasi Produsen Perhiasan Indonesia (APPI), Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika (PPA Kosmetika), Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI), Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), serta Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI).
Selanjutnya Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO), Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), dan Gabungan Perusahaan Industri Elektronik dan Alat-alat Listrik Rumah Tangga Indonesia (GABEL).
Melalui pertemuan dengan asosiasi-asosiasi industri tersebut, Menperin berharap memperoleh input dari para pelaku industri sehingga dapat merumuskan kebijakan yang tepat bagi upaya peningkatan daya saing dan produktivitas sektor industri dalam negeri, serta untuk mengantisipasi arah perkembangan ekonomi global.
Menperin menjelaskan, krisis geopolitik yang disebabkan oleh perang Rusia dan Ukraina menyebabkan peningkatan harga energi serta bahan baku lainnya yang dibutuhkan sektor industri. Situasi geopolitik lainnya juga terjadi di wilayah Laut China Timur. Kondisi tersebut mempengaruhi rantai suplai industri serta ekspor sektor manufaktur Indonesia.
Ekspor sektor manufaktur juga terpengaruh oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi di beberapa negara tujuan, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China. Besarnya volume ekspor Indonesia dan negara-negara kompetitor ke China dapat berpengaruh kepada pasar domestik. Dengan kondisi perekonomian China yang sedang tidak stabil, negara-negara tersebut akan mencari pasar lain sebagai tujuan ekspor.
“Dengan kata lain, pasar global makin menciut. Hal ini bisa mempengaruhi pasar dalam negeri kita maupun pasar tujuan ekspor produk manufaktur asal Indonesia,” papar Menperin.
Sementara itu, inflasi juga menjadi perhatian, walaupun di Indonesia masih terkendali dibanding negara lain. BPS menyampaikan, inflasi bulanan pada Juli 2022 mencapai hampir 5%, naik pesat dibandingkan rata-rata inflasi bulanan pada 2021 yang berkisar di bawah 2%.
Tekanan inflasi terasa nyata di sektor manufaktur akibat harga komoditas dan energi yang naik cukup tinggi. Selain itu biaya logistik juga naik karena saat ini terjadi peningkatan harga solar untuk industri. Hal ini tentunya akan mempengaruhi daya saing sektor industri.
Terkait persepsi kepercayaan sektor industri, awal minggu ini S&P Global merilis Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2022 yang naik menjadi 51,3 dari 50,2 di bulan sebelumnya. Menperin menyatakan, hal ini merupakan bukti dari kepercayaan diri, daya adaptasi, sekaligus resiliensi industri manufaktur di Indonesia. “Selain itu, hal ini menunjukkan optimisme yang tinggi di sektor industri manufaktur dalam menilai prospek ekonomi Indonesia ke depan,” ujar Menperin.
Laporan S&P Global menunjukkan bahwa konsumsi domestik mendukung kenaikan PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2022. Kemenperin menganalisis, pelaksanaan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) mendukung meningkatnya persepsi kepercayaan pelaku industri, di samping konsumsi rumah tangga. Pasalnya, realisasi komitmen belanja pemerintah maupun BUMN dan BUMD dalam program P3DN meningkatkan keyakinan perusahaan industri mengenai tingkat output.
Sejak Tim Nasional P3DN meluncurkan business matching antara industri dalam negeri dengan Kementerian/Lembaga, BUMN, dan BUMD, yang diawali oleh Kemenperin, pemerintah telah mendapat komitmen belanja sekitar Rp890 Triliun. “Saat ini, realisasinya mencapai 25% atau Rp200 Triliun. Angka tersebut cukup signifikan terhadap peningkatan PMI Juli lalu,” Agus berkata.
Mendukung Sektor Industri
Menperin menyatakan, pemerintah telah menjalankan beberapa kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing sektor industri, sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional. Pertama, melalui program P3DN. Pemerintah menargetkan Rp400 Triliun dari total belanja pemerintah pusat dan daerah dapat diserap oleh produk dalam negeri dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). “Berdasarkan data BPS, belanja sebesar Rp400 Triiliun berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi hingga 1,7%,” ujar Menperin.
Selanjutnya, Kemenperin telah meluncurkan program substitusi impor 35%. Saat ini, proporsi impor terbesar adalah impor bahan baku atau bahan penolong yang mengisi 77,55% dari total impor nasional. Pada Januari-Juni 2022, impor bahan baku/penolong mencapai US$116,18 Miliar.
“Hal ini perlu menjadi perhatian bersama. Karenanya Kemenperin meluncurkan program ini di tahun 2020, untuk menghadapi tantangan-tantangan terkait impor yang mungkin akan kita hadapi di depan,” jelas Agus. Saat ini, terdapat subsektor industri yang sudah mencapai target subsitusi, namun juga ada subsektor yang persentase capaiannya masih jauh dari target.
Ia menambahkan, Kemenperin juga mendorong agar investasi yang masuk ke sektor industri dapat meningkatkan pengolahan bahan baku atau mendorong hilirasi industri, tidak hanya mengolah produk setengah jadi menjadi produk jadi.
Terkait persepsi kepercayaan industri, Kemenperin akan meluncurkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada bulan September mendatang. Kegiatan ini sebagai upaya untuk menangkap situasi terkini dan kondisi industri nasional dengan lebih akurat. Indeks ini akan menjadi salah satu sumber data dalam pengambilan dan pengukuran efektivitas suatu kebijakan. Pengambilan data dilakukan dengan survei daring melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) yang telah dibangun Kemenperin untuk mengumpulkan data dan informasi dari para pelaku industri bagi para pengambil keputusan, baik pemerintah pusat maupun daerah,” jelas Menperin. (NF)