Gemabisnis.com, JAKARTA – Lonjakan harga minyak nabati termasuk minyak kelapa sawit di pasar global bisa terulang di masa-masa mendatang sebab permintaan minyak nabati dunia akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Karena itu pemerintah harus mampu mengelola kelebihan permintaan minyak kelapa sawit tersebut dengan baik agar mampu memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia.
Demikian disampaikan Tungkot Sipayung Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institue (PASPI) dalam sebuah webinar yang diselenggarakan Forum Jurnalis Sawit bertema “Minyak Goreng Sudah Terkendali, Masihkah DMO Sawit Dibutuhkan?”, Jumat (16/9).
“Secara fundamental minyak nabati dunia berada pada excess demand hingga tahun 2050 sehingga trend harga cenderung naik. Hal ini memerlukan pengelolaan kepentingan domestik dan ekspor yang tepat agar sebesar-besarnya memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia,” tutur Tungkot.
Menurut Tungkot, pengalaman beberapa bulan terakhir sangat berharga bagi dunia perkelapasawitan Indonesia dimana lonjakan harga minyak kelapa sawit di pasar dunia ditanggapi secara kurang tepat oleh pemerintah hingga menimbulkan kerugian bagi seluruh stakeholder perkelapasawitan Indonesia mulai dari petani/pekebun kelapa sawit, pabrik kelapa sawit dan industri minyak goreng di dalam negeri.
Pelarangan ekspor sementara minyak sawit mentah (CPO), Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Olein dan sejumlah produk turunan lainnya yang dilakukan menjelang akhir bulan April 2022 hingga pertengahan Mei 2022 dan dilanjutkan dengan pembatasan ekspor melalui kebijakan domestic market obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) hingga saat ini telah mengakibatkan industri perkelapasawitan di tanah air kehilangan momentum untuk menikmati keuntungan yang cukup menggiurkan di pasar global.
“Kebijakan larangan ekspor sementara CPO, RBD Palm Olein dan sejumlah produk turunan minyak kelapa sawit telah menimbulkan dampak berupa turunnya harga produk minyak kelapa sawit di pasar Indonesia di tengah terus meroketnya harga minyak kelapa sawit di pasar global. Dampak tersebut dipassed through (diteruskan) ke sektor hulu yang ujung-ujungnya harga TBS petani terus merosot,” tutur Tungkot.
Serangkaian kebijakan pemerintah tersebut juga telah mengakibatkan volume ekspor produk minyak kelapa sawit Indonesia selama tujuh bulan pertama tahun 2022 (Januari-Juli) turun sekitar 22% dari volume ekspor periode yang sama tahun 2021. Penurunan ekspor tersebut merugikan baik petani/pekebun sawit maupun industri pengolahan sawit, bahkan merugikan pemerintah sendiri karena perolehan devisa berkurang termasuk penerimaan Bea Keluar dan Pungutan Ekspor BPDPKS.
Menurut Tungkot, selain menurunkan volume ekspor minyak kelapa sawit, kebijakan DMO+DPO juga meningkatkan stok minyak sawit, menurunkan harga CPO domestik dan harga TBS sehingga merugikan petani, pelaku usaha dan pemerintah sendiri.
Tungkot mengatakan kebijakan DMO+DPO kini tidak diperlukan lagi karena penurunan harga CPO dunia telah memungkinkan harga CPO domestik di bawah harga DPO sehingga harga minyak goreng curah/kemasan sederhana berpotensi di bawah HET (Rp 14.000/liter).
Untuk mencegah terulangnya kembali gejolak harga minyak goreng dan gonajang-ganjing perkelapasawitan di Indonesia Tungkot menyarankan agar pemerintah mengkonversi dan mengintegrasikan tujuan kebijakan DMO+DPO ke dalam grand policy berkelanjutan industri sawit nasional yang telah dibangun selama ini, yaitu kombinasi kebijakan Bea Keluar, Pungutan Ekspor, hilirisasi sawit domestik, substitusi impor, serta penyerapan minyak sawit domestik secara fleksibel, progresif dan proporsional.
Untuk menjamin terpenuhinya kepentingan domestik, Tungkot menyarankan agar pemerintah menugaskan BUMN, yaitu PTPN sebagai produsen minyak goreng dan biofuel, serta Bulog dan ID Food yang melakukan distribusinya. (YS)