Gemabisnis.com, JAKARTA – Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia tidak boleh gegabah dalam memberikan persetujuan perubahan kepemilikan saham perusahaan pertambangan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), demikian diungkapkan Dr Kurtubi, pengamat masalah energi dan pertambangan, alumnus Colorado School of Mines, Insitut Francaise du Petrole dan Universitas Indonesia.
Kurtubi menegaskan sepanjang menyangkut perubahan kepemilikan atas Konsesi (dikenal juga dengan IUP) suatu area pertambangan, harus atas persetujuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan Konsesi/IUP.
“Dirjen AHU tidak boleh gegabah mengeluarkan persetujuan atas jual beli Konsesi/IUP atas suatu wilayah pertambangan,” tegasnya lagi kepada Gemabisnis.com, di Jakarta, Senin (19/12).
Menurut Kurtubi, pemindahtanganan atau jual beli Konsesi/IUP yang sering kali terjadi dewasa ini merupakan salah satu kelemahan dari Sistem Konsesi (IUP) yang diadopsi pemerintah saat ini, disamping masih banyak kelemahan-kelemahan lainnya seperti pihak yang diberi wewenang mengeluarkan konsesi/IUP sering berubah-ubah.
“Dulu kewenangan pemberian konsesi/IUP diserahkan kepada Bupati, tapi kemudian wewenang tersebut pindah ke Gubernur, dan kemudian pindah lagi ke Kementerian ESDM,” tuturnya.
Kelemahan kedua, lanjut Kurtubi, adalah pihak yang diberi wewenang mengeluarkan Konsesi/IUP seringkali menjadikan wewenangnya itu sebagai sumber untuk memperoleh cuan, sehingga IUP untuk suatu wilayah pertambangan saling tumpang tindih karena IUP yang dikeluarkan untuk satu wilayah lebih dari satu.
“Kelemahan lainnya adalah pemegang Konsesi/IUP terlalu mudah untuk memperjualbelikan IUP-nya. Bahkan IUP yang baru diterima dari Bupati/Gubernur/ ESDM, seringkali sudah diperjualbelikan kepada investor yang memang benar-benar punya dana/modal,” tambah Kurtubi.
Menurut Kurtubi, kelemahan fatal dari sistem Konsesi/IUP baik berdasarkan UU Minerba No.4/2009 maupun UU No.3/2020 adalah karena Konsesi/IUP dan juga Kontrak Karya (PKP2B) merupakan sistem tata kelola pertambangan zaman kolonial dan tidak mencerminkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang seharusnya dikelola dengan mengacu kepada Pasal 33 UUD 45 dimana harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagai pembanding, di Sektor Migas, sejak tahun 1960 berdasarkan UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971, sistem Konsesi/IUP dan Sistem Kontrak Karya (PKP2B), sudah tidak dipakai lagi dan diganti dengan sistem Kontrak Bagi Hasil antara Perusahaan Negara (PN) yang dibentuk dengan UU berkontrak dengan Investor Tambang. Negara memperoleh bagian 65% dan Investor memperolah bagi hasil 35%.
Dengan sistem konsesi yang merupakan sistem jaman kolonial, negara tidak dijamin memperoleh penerimaan yang lebih besar dari keuntungan yang diperoleh penambang. Karena di UU Minerba, tidak disebut secara spesifik bahwa kekayaan/ asset yang berupa cadangan minerba yang ada di perut bumi adalah milik negara yang harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Karena itu, Pemegang Konsesi merasa seolah-olah asset/cadangan minerba yang ada di perut bumi merupakan milik mereka. Cukup dengan membawa laporan geoligist tentang perkiraan cadangan minerba yang ada di wilayah konsesinya, lalu dibawa ke bank guna memperoleh pinjaman. Padahal cadangan mineral di perut bumi adalah milik negara dan hanya pemiliknya yang berhak mengagunkan ke bank untuk memperoleh pendanaan.
Menurut Kurtubi, semua cadangan migas dan minerba yang ada di perut bumi adalah milik negara dan harus dikuasai oleh negara dengan cara negara membentuk Perusahaan Negara (PN) dengan UU dan PN tersebut diberi wewenang Kuasa Pertambangan. Semua Investor harus berkontrak bagi hasil “B-to-B” dengan contoh bagi hasil di migas (65:35) dimana investor tersebut berkontrak dengan Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan ( PNPKP).
“Dengan demikian, tidak akan ada lagi jual beli Konsesi (IUP) dan Negara/APBN dipastikan akan memperoleh penerimaan dari SDA yang harus lebih besar dari keuntungan Investor pelaku usaha pertambangan,” pungkas Kurtubi. (YS)