Gemabisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Arsjad Rasjid mengingatkan bahwa Indonesia perlu mewaspadai dampak disparitas harga beras yang terlalu tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bank Dunia bahwa harga beras Indonesia paling mahal jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Arsjad, jika perbedaan antara harga di dalam negeri dengan luar negeri terlalu besar, ada kecenderungan beras impor lebih murah, keinginan untuk mendatangkan beras dari luar negeri akan sangat tinggi. Kondisi ini bisa memberikan ancaman bagi petani. Apalagi, pemerintah telah menugaskan Perum Bulog untuk mengimpor beras sebanyak 200.000 ton hingga akhir 2022 untuk memenuhi stok beras nasional di gudang Bulog.
Stok beras impor itu rencananya hanya akan digunakan pada kondisi tertentu seperti penanggulangan bencana, intervensi harga jika diperlukan, dan beberapa kegiatan pemerintah lainnya. Penggunaannya pun akan diawasi secara ketat untuk memastikan tidak ada yang masuk ke pasar.
Arsjad mengingatkan dampak disparitas harga ini dipicu oleh kebijakan impor beras yang muncul ketika stok beras di gudang Bulog mengalami penyusutan dari 1 juta ton pada awal 2022 menjadi 587.000 ton pada November 2022. Karena harus melakukan intervensi pasar selama musim paceklik 3-4 bulan ke depan dan mengantisipasi kebutuhan untuk bencana alam, Bulog harus mengisi stok beras hingga tingkat aman sekitar 1,5 juta ton.
Bulog mencoba mengadakan stok beras itu dari pasar domestik, tapi kesulitan mendapatkan walau regulasi harga patokannya sudah direlaksasi. Opsi lain adalah impor. Inilah yang menjadi sumber ketidaksepahaman antara Bulog dan Badan Pangan Nasional dengan Kementerian Pertanian.
Indonesia sejatinya telah mewujudkan swasembada beras pada periode 2019- 2021. Pada periode ini, Indonesia hanya mendatangkan beras khusus yang merupakan jenis yang tidak ditanam di Indonesia. Beras khusus ini umumnya diperuntukkan bagi hotel, restoran, hingga pelaku bisnis katering. Berdasarkan data BPS, Indonesia mengimpor beras khusus mencapai 407.700 ton pada 2021, angka tersebut naik dari tahun 2020 yang hanya 356.300 ton.
Pemerintah akhirnya menilai impor beras dibutuhkan untuk menstabilkan harga yang merangkak naik di tingkat konsumen. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), secara nasional harga beras medium di tingkat pasar tradisional per Selasa (6/12) berkisar Rp 12.200/kg hingga Rp 12.400/kg. Harganya cenderung meningkat sejak awal Juli 2022 yang masih berkisar Rp 11.550/kg–Rp 11.750/kg.
Bank Dunia (World Bank) juga berpandangan bahwa harga beras di Indonesia cenderung lebih tinggi dibandingkan harga beras dari negara-negara di kawasa Asia Tenggara. Laporan Bank Dunia berjudul “Indonesia Economic Prospect” yang dilansir Desember 2022 menyebutkan , harga di Indonesia sekitar dua kali lipat lebih tinggi dari Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Bank Dunia mengingatkan agar lonjakan harga tersebut dikelola dengan baik. Begitu juga dengan kemungkinan adanya hambatan non tarif atau harga di tingkat petani demi stabilisasi harga. Dalam jangka panjang, yang perlu didorong adalah investasi di bidang penelitian dan pengembangan serta penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia pertanian agar mampu meningkatkan produktivitas.
Arsjad berpandangan bahwa polemik impor beras dan soal harga yang dinilai tinggi, jangan sampai mengubah fokus dalam menjaga ketahanan pangan. Dia menegaskan pentingnya memperkuat ketahanan pangan, mengingat ke depan, ada potensi krisis global yang antara lain akibat perang Rusia dan Ukraina yang belum surut.
Menurut Ketua Umum KADIN Indonesia itu, dalam kondisi krisis global, komoditas pangan bisa ikut terimbas dan berdampak serius bagi rantai pasok (supply chain) perdagangan global, termasuk di sektor pangan. Gangguan pada pasokan berpotensi mendorong kenaikan harga, sehingga daya jangkau masyarakat menjadi lemah mengingat tingkat kesejahteraannya tidak mengalami peningkatan akibat krisis.
Arsjad mencontohkan, kenaikan harga beras yang relatif besar di beberapa wilayah di Indonesia. Berdasarkan data PIHPS ada dua wilayah, di mana rata-rata harga beras eceran naik di atas 5% pada 6 Desember 2022 dibandingkan sebulan sebelumnya, 7 November 2022. Daerah dengan peningkatan harga rata-rata terbesar adalah Sulawesi Barat (6,6%) dan Kalimantan Tengah (5,6%). Selain itu, ada sekitar 11 daerah yang masih defisit beras.
Menurut Arsjad, krisis pangan ditandai oleh sejumlah hal. Di antaranya, pasokan bahan pangan yang berkurang, atau harga yang makin tak terjangkau. “Jangan sampai kondisi krisis pangan terjadi di Indonesia, karena dampaknya bisa meluas ke masalah sosial,” ucap Arsjad Rasjid.
Secara fundamental, Indonesia perlu terus meningkatkan ketahanan pangan strategis seperti beras, terutama dari sisi produksi. Alasannya, kenaikan harga komoditas dapat bersumber dari sisi permintaan maupun penawaran, yang berpotensi mempengaruhi daya jangka masyarakat. (YS)