Gemabisnis.com, JAKARTA – Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) diyakini akan segera membawa konsekuensi terhadap perdagangan Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan perdagangan dengan Uni Eropa (UE) sebagai negara yang mengadukan kebijakan larangan ekspor bijih nikel Indonesia ke WTO.
Sumber Gemabisnis.com yang sangat kredibel mengatakan UE kemungkinan besar akan segera menerapkan langkah unilateral terhadap Indonesia menyusul keputusan DSB WTO tersebut. Dengan keputusan DSB WTO yang memenangkan gugatan UE dalam sengketa tersebut, UE merasa telah mendapatkan justifikasi untuk menerapkan sanksi perdagangan secara unilateral terhadap Indonesia.
“Memang temuan WTO-DSB menyatakan kebijakan RI inkonsisten dengan beberapa pasal dari agreements yang sudah disepakati dan mengikat anggota WTO. Reaksi spontan Pemerintah Indonesia adalah akan mengajukan banding sebagai ‘buying time’ untuk tetap menjalankan kebijakan yang dianggap inkonsisten itu,” tutur sumber yang pernah malang melintang dalam dunia negosiasi perdagangan di forum internasional tersebut.
Namun demikian, lanjut dia, semua negara tahu bahwa sejak Desember 2019, WTO appellate body tidak berfungsi karena pemilihan/penunjukkan hakim (judges)-nya diveto terus oleh Amerika Serikat. Karena itu, hingga hari ini, semua berkas banding hanya dikumpulkan tanpa kejelasan kapan temuan DSB akan berkekuatan hukum (executable). “Di sini, Pemerintah Indonesia menganggap kita aman-aman saja dan kasus dianggap belum selesai.”.
Menghadapi mandulnya appalate body, UE pun tidak tinggal diam. Komisi Eropa kemudian menerbitkan EU Trade Enforcement Regulation yang sudah efektif berlaku sejak tahun lalu. Filosofi yang dianut UE adalah menjaga haknya vis a vis negara anggota WTO lainnya yang “kalah” dalam dispute settlement mechanism (DSM) agar kepentingan UE –yang dilindungi perjanjian-perjanjian WTO– tetap terlindungi. Dengan EU Trade Enforcement Regulation ini, UE mengklaim dapat mengambil tindakan unilateral berdasarkan putusan (verdict) DSB terhadap mitra dagang yang diadukan UE ke DSB dan kebijakannya dinyatakan inkonsisten oleh DSB, tanpa perlu menunggu keputusan appalate body yang entah kapan baru berfungsi lagi.
“Istilahnya, ketetapan DSB tidak “go into the void,” bisa dijadikan dasar mengambil tindakan unilateral entah membalasnya dengan melarang impor RI ke UE senilai perkiraan kerugian materiel UE akibat kebijakan RI itu, atau tindakan pembalasan lainnya yang kira-kira setimpal,” tuturnya.
Indonesia memang bisa saja mengajukan banding, tapi banding yang diajukan juga akan “go into the void,” ke ruang hampa tanpa kejelasan. Dengan demikian, argumen bahwa RI dapat mengajukan banding sehingga kita bisa ‘buying time’ dan melanjutkan bahkan memperluas cakupan produk-produk yang dilarang ekspornya, dalam hal ini vis a vis UE, tidak akan berjalan karena UE akan membalas dengan menerapkan EU Trade Enforcement Regulation.
Menurut dia, berdasarkan informasi yang dia dapatkan, walaupun belum terkonfirmasi, Amerika Serikat pun sedang menyusun atau sudah memiliki aturan yang mirip-mirip dengan EU Trade Enforcement Regulation. Negara-negara maju mulai mengambil sikap dan langkah menghadapi mati surinya appalate body WTO dengan aturan-aturan unilateral masing-masing.
“Apakah ini bertentangan dengan disiplin WTO? Itu sesuatu yang masih perlu diuji. Namun UE berargumen bahwa dalam proses penyusunan Trade Enforcement Regulation, konsultasi kepada stakehoders, publik dan interested countries sudah dilakukan, concerns sudah dijawab dan tidak ada bantahan lebih lanjut, sehingga UE merasa berhak menerapkan Trade Enforcement Regulation terhadap praktek-praktek anggota WTO lainnya yang tidak saja merugikan kepentingan UE namun nyata-nyata disimpulkan oleh DSB sebagai inkonsisten dengan perjanjian-perjanjian terkait di WTO,” paparnya.
Lantas ke arah manakah kasus tersebut akan menuju? Sumber Gemabisnis.com itu memprediksi UE akan meminta pertemuan/konsultasi bilateral sebagai pretext sebelum mereka yakin betul bahwa penerapan Trade Enforcement Regulation menjadi satu-satunya solusi untuk membela kepentingannya.
Dalam hal ini dia berharap pemerintah Indonesia tidak berargumen secara ideologis misalnya “demi kedaulatan bangsa,” atau “tidak mau ditekan oleh bangsa bekas penjajah” dan semacamnya. Menurut dia hal itu sangat memalukan karena tidak ada anggota WTO yang mengancam-ancam kedaulatan anggota lainnya.
“Sebetulnya sederhana saja. Silakan urus ekonomi anda, silakan mewujudkan visi misi ekonomi anda, tapi anda sudah terlanjur terikat secara hukum dengan sejumlah prinsip dan aturan di WTO. Tidak ada yang memaksa anda. Oleh karena itu, kalau kebijakan anda tidak sesuai dengan apa yang disepakati tahun 1994 (GATT, GATS, TRIPs, TRIMs dan sebagainya) ya harus dikoreksi atau dikenakan sanksi tanpa kami mengorek-ngorek kedaulatan anda,” jelasnya.
Dalam konteks yang lebih luas lagi, banyak pengamat, pejabat, anggota legislatif dan lain-lain di Indonesia yang merasa negara barat selalu mencari-cari kesalahan Indonesia, seolah-olah Indonesia sengaja dijadikan target perundungan agar tidak bisa maju.
Negara anggota WTO khususnya negara maju belajar dari pengalaman mereka dengan China. Ketika proses aksesi WTO, China mendapatkan pengakuan sebagai developing country sehingga mendapat perlakuan S&D (special and differential treatment). Mereka lupa bahwa sistem satu partai di China membuat semua kebijakan tersentralisir di segelintir orang, dan dengan otoritasnya mereka bisa mendorong kebijakan-kebijakan “leap frogging” untuk mengejar negara-negara barat dengan memanfaatkan statusnya sebagai developing economy dengan hak-hak atas S&D-nya yang tidak bisa di-challenge. Hasilnya, bisa disaksikan seperti apa China sekarang; di beberapa sektor dan industri, kemajuan China sudah melampaui negara-negara maju termasuk Jepang dan Korea.
Untuk Indonesia sendiri yang diproyeksikan akan menjadi ekonomi terbesar ke-4 dunia pada tahun 2045-2050, negara maju tidak ingin mengulangi pengalaman buruknya dengan China. Hal itu dilakukan dengan terus meributkan kebijakan-kebijakan Indonesia yang dianggap restriktif dan patut diduga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan perjanjian-perjanjian di WTO.
“Parahnya, pemerintah Indonesia di hampir semua level sangat suka dengan “megaphone” pernyataan untuk menyenang-nyenangkan diri sendiri. Saya tidak perlu sebut siapa, tapi baru-baru ini diberitakan adanya statement bahwa Indonesia akan menambah lagi jumlah bahan tambang yang akan dilarang ekspornya,” tuturnya.
Tentu saja kedutaan negara-negara itu di Jakarta langsung pasang mata dan telinga untuk mengumpan pemerintahnya dengan berbagai info arah kebijakan Indonesia. “Kenapa sih tidak dilakukan secara diam-diam saja? Mau ‘maling’ kok kasih pengumuman dulu supaya para calon korbannya tahu?” pungkas dia. (YS)