Gemabisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menjamin ketersediaan bahan pangan pokok, khususnya beras selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri tahun 2023 yang berada di masyarakat cukup untuk memenuhi kebutuhan. Namun demikian, cadangan beras pemerintah (CBP) yang ada di BULOG perlu ditingkatkan.
Demikian terungkap dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema “Stok Beras Jelang Lebaran Cukup atau Kurang?”, yang dilakukan secara vitual di Jakarta, Rabu (12/3).
Diskusi ini dihadiri Deputi I Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan BAdan Pangan Nasional (Bapanas/NFA), I Gusti Ketut Astawa, Direktur PPHP Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Batara Siagian, dan Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (PERPADI), Sutarto Alimoeso.
Menurut Ketut, jika melihat data KSA BPS produksi beras, maka cadangan pangan, khususnya beras yang ada di masyarakat cukup. Namun diakui, untuk cadangan beras pemerintah (CBP) perlu ditingkatkan. Stok CBP per 11 April sekitar 292.000 ton ditambah stok ID FOO sekitar 200 ton. Dengan demikian, stok beras nasional sebanyak 492.000 ton, masih mencukupi kebutuhan nasional hingga Mei 2023.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menugaskan BULOG menggelontorkan bantuan beras sebanyak 10 kg kepada 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan diberikan selama 3 bulan.
Sedangkan kebutuhan beras pemerintah per bulan sebanyak 213.000 ton untuk bansos dan 100.000 ton untuk kebutuhan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). “Jadi selama tiga bulan, April, Mei, Juni kebutuhan beras untuk melaksanakan program pemerintah sebanyak 900.000 ton lebih,” ujar Ketut.
Untuk menjaga ketersediaan stok CBP, Bapanas telah memerintahkan Bulog menyerap gabah hasil panen raya petani sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Saat ini HPP untuk Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani dari Rp 4.200/kg menjadi Rp 5.000/kg.
“Saya tegaskan, Bulog harus menyerap gabah petani dengan harga HPP, tidak boleh di bawah HPP,” katanya. Jika di lapangan ternyata harga gabah petani di atas HPP, menurut Ketut, justru menjadi keuntungan bagi petani dan Bulog sesuai kebijakan tidak boleh membeli di atas HPP.
Namun demikian guna menutupi CBP, Ketut mengakui, Pemerintah tidak bisa menunggu pengadaan dari dalam negeri. Sebab di beberapa wilayah, panen sudah mencapai 50-70%, tapi harga gabah masih di atas HPP. “Pemerintah terpaksa mengambil langkah pemenuhan dari luar negeri,” katanya.
Pada Tahun 2023, pemerintah telah memutuskan untuk mengimpor sebanyak 2 juta ton beras. Namun sebanyak 500.000 ton akan didatangkan sebelum Lebaran. “Tatkala sudah terpenuhi di dalam negeri, sisa impor tidak dilakukan karena target yang dibebankan kepada Bulog 2,4 juta ton di tahun 2023. Minimal ending stoknya harus ada 1 juta ton,” tuturnya.
Produksi Surplus
Sementara itu, Batara mengatakan, berdasarkan data KSA BPS produksi padi Januari-April 2023 sebanyak 23,31 juta ton GKG dari luas pertanaman sekitar 4,37 juta ha. Artinya, akan ada surplus sekitar 3,22 juta ton beras. “Jadi, sebenarnya kalau secara produksi kita tidak perlu resah,” ucap Batara.
Kementerian Pertanian, kata Batara, telah melakukan konsolidasi dengan penggilingan padi di daerah-daerah sentra produksi. Sebab, akhir dari padi itu adalah beras yang ada di penggilingan. Dari hasil konsolidasi ternyata penggilingan telah membangun market sendiri tanpa melalui pasar induk atau kerja sama dengan BULOG.
“Ada perbedaan perilaku dari penggilingan. Jika dulunya sebagian bekerja sama dengan BULOG. Tapi kini mereka relatif membangun market sendiri tanpa melalui pasar induk atau melalui kerja sama dengan BULOG,” kata dia.
Meski demikian, Kementerian Pertanian terus mendorong penggilingan padi untuk memenuhi beras terutama masyarakat, khususnya Ibukota Jakarta. “Kita sudah bertemu, mereka (penggilingan padi) berkomitmen untuk mendorong itu,” katanya.
Sementara itu, menurut Sutarto yang pernah menjadi Dirjen Tanaman Pangan dan Dirut Perum Bulog, pengadaan gabah Bulog bisa optimal jika dilakukan kerjasama dengan penggilingan padi kecil. “Menurut pengalaman saya, kerja sama dengan penggilingan padi kecil pada dasarnya lebih mudah dibandingkan yang besar karena yang besar sudah memiliki pasarnya sendiri. Ini yang perlu menjadi perhatian kita semua,” kata dia.
Dengam masih banyaknya hambatan seperti permodalan, akses pasar, kesulitan bahan bakar, kelangkaan benih unggul bermutu, serta pupuk, pemerintah perlu melakukan revitalisasi penggilingan padi kecil. “Itu masih sering terjadi di lapangan dan itu harus kita akui,” ucap Sutarto.
Hitungan Sutarto, saat ini kapasitas penggilingan padi, baik kecil, sedang dan besar sudah jauh lebih tinggi ketimbang produksi padi setiap tahun. Apalagi berdasarkan data BPS, produksi padi tiap tahunnya berfluktuasi (naik-turun), tapi kecenderungannya turun. “Surplus beras kita makin turun. Ini jadi sebab stok beras kita, termasuk CBP makin kecil, sehingga mudah terjadi gejolak,” katanya.
Data BPS, tahun 2018 surplus beras mencapai 4,37 juta ton, tahun 2019 surplusnya 2,38 juta ton, tahun 2020 sekitar 2,13 juta ton, tahun 2021 sebesar 1,31 juta ton dan tahun 2022 sebanyak 1,34 juta ton. ”Puncak panen yang dulu bisa dua kali, sekarang ini cenderung hanya satu kali. Konversi lahan pertanian juga menjadi kendala peningkatan produksi padi,” katanya.
Untuk itu ia berharap pemerintah mengatur kembali ijin mendiirkan industri beras. Bukan hanya itu, Sutarto menegaskan, pemerintah sebaiknya tidak lagi mengeluarkan izin pendirian penggilingan padi baru tanpa mempertimbangkan ketersediaan produksi gabah.
“Langkah selanjutnya, perlu diimbangi dengan revitalisasi penggilingan padi kecil. Ke depan, harapannya, penggilingan padi besar bersinergi dengan penggilingan padi kecil meskipun tidak mudah,” imbuh dia. (YS)