Gemabisnis.com, JAKARTA – Capaian nilai ekspor produk furnitur nasional selama tahun 2021 menembus angka US$2,5 miliar atau naik 33% dibanding tahun sebelumnya sebesar US$1,9 miliar, demikian diungkapkan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita melalui siaran persnya hari ini.
Menperin Agus yang menyampaikan sambutannya dalam Pembukaan Pameran Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2022 di Jakarta, Kamis (18/8) mengaku percaya bahwa seiring dengan pulihnya belanja masyarakat, penjualan furnitur, baik untuk ekspor maupun di pasar dalam negeri akan meningkat.
Menperin memberikan apresiasi atas terselenggaranya IFEX 2022 yang merupakan pameran furnitur terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Karena, selama ini telah terbukti IFEX membawa efek positif terhadap industri furnitur di Indonesia, sehingga pasar furnitur bisa terus berkembang.
Menperin mengemukakan, sejumlah hasil kajian menunjukkan adanya peluang bagi industri furnitur di tanah air dalam mengisi pasar global. Misalnya, Centre for Industrial Studies (CSIL) memperkirakan konsumsi furnitur global pada tahun 2022 akan tumbuh sebesar 3,9%. Pertumbuhan ini akan diangkat oleh kebijakan stimulus Recovery and Resilience Facility di Uni Eropa.
“Hasil studi CSIL diperkuat juga oleh Consumer Market Outlook yang dikeluarkan oleh Statista, yang memperkirakan pendapatan industri furnitur global akan terus meningkat secara konsisten dari US$1,3 triliun pada tahun 2020 menjadi US$1,6 triliun pada tahun 2025,” ungkapnya.
Di pasar domestik, aksi afirmatif pemerintah untuk mengintensifkan upaya peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) juga mesti menjadi momentum bagi industri furnitur untuk meningkatkan kinerja dan penyerapan produknya. Untuk itu, industri furnitur dan kerajinan dalam negeri harus memberikan perhatian khusus terhadap pengurusan sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) agar dapat menjual produknya di e-Katalog.
Kementerian Perindustrian pada tahun ini telah menyiapkan program sertifikasi TKDN gratis untuk 1.250 produk. “Untuk tahun depan, kami tengah memperjuangkan penambahan anggaran agar jumlah sertifikat TKDN gratis bertambah menjadi 10.000 produk,” tutur Agus.
Upaya tersebut untuk menjangkau lebih banyak industri dalam negeri khususnya sektor IKM dalam program sertifikasi TKDN. “Kami membuka pintu bagi para pelaku industri furnitur dan kerajinan dalam negeri untuk memanfaatkan program tersebut. Kami upayakan agar sertifikasi TKDN ini di tahun yang akan datang tidak hanya makin murah tetapi juga makin cepat,” imbuhnya.
Isu pokok
Hingga kini, industri furnitur dan kerajinan masih menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan usahanya. Menperin telah menyerap beberapa isu pokok yang perlu dihadapi oleh industri furnitur dan kerajinan dalam negeri berdasarkan aspirasi yang disampikan oleh Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).
Pertama, pandemi COVID-19 yang dilanjutkan dengan krisis geopolitik Rusia-Ukraina telah menyebabkan permasalahan logistik dan shipping yang berkepanjangan. Kelangkaan kontainer dan space cargo kapal masih terjadi. “Kondisi tersebut menimbulkan biaya logistik dan shipping yang tinggi, bahkan menyebabkan gagal kirim sehingga kinerja ekspor industri furnitur dan kerajinan menjadi tidak optimal dan daya saing industri furnitur dan kerajinan nasional di mata dunia melemah,” ujar Agus.
Kedua, perang Rusia-Ukraina juga telah menyebabkan market shock, di mana terjadi permintaan atau pangsa pasar akibat tingginya inflasi di negara-negara tujuan ekspor sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina. Market shock ini juga menciptakan efek domino berupa pembatalan dan penundaan order terutama dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Amerika Serikat merupakan negara utama tujuan ekspor produk funitur dan kerajinan nasional dengan kontribusi ekspor lebih dari 50%. Sementara negara-negara Eropa secara total berkontribusi sekurang-kurangnya 19% dari total ekspor produk furnitur dan 10% dari produk kerajinan. “Pembatalan atau penundaan order ini tentu menghasilkan ketidakpastian bagi industri furnitur dan kerajinan dan sangat mengganggu cashflow perusahaan,” tandasnya.
Ketiga, permasalahan domestik terkait dengan ketersediaan bahan baku. Pasokan bahan baku berupa kayu besar yang dibutuhkan oleh industri furnitur kini semakin berkurang dan langka. Selain itu, pelaku industri furnitur berbasis rotan juga dihadapkan pada permasalahan kelangkaan bahan baku rotan. Ini cukup ironis mengingat merupakan negara penghasil 80% rotan dunia.
Keempat, teknologi dan SDM. Pembaruan teknologi di industri furnitur dan kerajinan nasional belum menjangkau secara merata. Ini diakibatkan oleh biaya investasi teknologi yang relatif mahal atau kurang terjangkau baik untuk IKM maupun industri besar sesuai dengan skala masing-masing. Sementara di lini SDM, pasokan tenaga kerja yang terampil di level operator dan tenaga kerja dengan keahlian khusus dan tersertifikasi masih terbatas.
Kelima, isu pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Wajib. SVLK ditujukan untuk menjaga aspek kelestarian lingkungan dan lacak balak bahan baku (sustainability and traceability) pada produk kayu. Aspek sustainability dan traceability sekarang ini mendapat perhatian besar dan bahkan menjadi syarat di pasar global. Pemberlakuan SVLK wajib di industri hilir dipandang kurang relevan dan melahirkan hight cost economy di industri hilir kayu (industri furnitur dan kerajinan).
“Berbagai isu pokok tersebut telah menjadi perhatian kami, dan Kemenperin akan menyiapkan berbagai langkah dan dukungan terhadap upaya pemecahan isu-isu tersebut. Upaya ini tentu mengharuskan kami berkoordinasi dan berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga terkait lain sesuai dengan tugas dan kewenangannya” papar Menperin.
Dukungan dari pemerintah harus seiring dengan usaha keras industri furnitur dalam negeri untuk terus melakukan inovasi di setiap proses manufaktur serta ekplorasi kekayaan budaya nasional dan mengemasnya secara modern, mengikuti tren pasar global. “Kami menaruh harapan besar agar industri furniture dan kerajinan nasional tidak semata menjadi produsen tetapi menjadi trend setter di tingkat global,” pungkas Menperin. (YS)