Gemabisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengharapkan pemerintah dapat mempermudah dan memperlancar kegiatan ekspor minyak kelapa sawit di tengah tingginya permintaan di pasar global saat ini.
Joko mengatakan permintaan terhadap minyak kelapa sawit terus meningkat akhir-akhir ini terutama pasca terjadinya konflik Rusia-Ukraina yang telah mengakibatkan terganggunya pasokan minyak biji bunga matahari (sun flower seed oil) dari kedua negara tersebut ke pasar dunia.
Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia sempat terhenti menjelang akhir bulan Apil hingga pertengahan Mei 2022 lalu menyusul dikeluarkannya kebijakan pemerintah mengenai larangan ekspor sementara sebagai respons pemerintah terhadap meroketnya harga minyak goreng di dalam negeri.
Kebijakan larangan ekspor sementara itu dikeluarkan pemerintah setelah kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) tidak dipatuhi kalangan produsen/eksportir minyak kelapa sawit sehingga harga minyak goreng di dalam negeri terus melonjak jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
“Ekspor produk minyak kelapa sawit dengan HS Code 15, sempat terhenti hingga nyaris nol pada bulan Mei, namun pada bulan Juni setelah kebijakan larangan ekspor sementara dicabut volume ekspor produk dalam kelompok HS Code 15 kembali naik menjadi 1,3 juta ton. Pada bulan Juli ekspor kelompok produk tersebut kembali naik menjadi 2,1 juta ton dan pada bulan Agustus sudah mendekati normal di angka 3 juta ton,” kata Joko di sela-sela jumpa pers virtual tentang penyelenggaraan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2022 yang akan berlangsung di Bali 2-4 Nopember 2022.
Menurut Joko, pasca pencabutan pelarangan ekspor sementara kegiatan ekspor minyak kelapa sawit semakin baik mendekati angka normal di 3-4 juta ton per bulan. Saat ini masih ada sejumlah eksportir yang menghadapi kesulitan logistik kapal. Tapi kemajuannya sudah cukup bagus pasca pelarangan.
Joko mengatakan di tengah berkecamuknya konflik Rusia-Ukraina yang hingga kini terus berlangsung, minyak kelapa sawit Indonesia mampu menjadi minyak nabati alternatif bagi sejumlah negara yang selama ini menggunakan minyak nabati lain khususnya minyak biji bunga matahari.
Dia mencontohkan pelaku industri minyak nabati di Eropa yang sebelumnya tidak mau menggunakan CPO ketika terjadi kelangkaan pasokan minyak biji bunga matahari akibat perang Rusia-Ukraina mereka beralih menggunakan CPO sebagai bahan baku untuk produksi minyak makan.
“Pesan moralnya adalah seharusnya pemerintah justru mempermudah ekpsor dalam rangka memenuhi kebutuhan minyak nabati global yang mengalami gangguan pasokan akibat perang. Tapi ternyata pemerintah di dalam negeri responsenya sangat reaktif karena hanya melihat pasar dalam negeri sehingga terjadilah pelarangan ekspor. Ini sangat disayangkan karena harusnya menjadi peluang untuk meningkatkan perolehan devisa dan neraca perdagangan,” tutur Joko.
Joko berharap ke depan kebijakan pemerintah semakin kondusif untuk mendorong ekspor minyak kelapa sawit karena bagaimana pun ekspor minyak kelapa sawit harus dilakukan mengingat produksi komoditas tersebut di dalam negeri mengalami surplus sehingga kelebihan produksinya mau tidak mau harus diekspor.
“Mengenai energi, kita juga ingin melihat dengan terjadinya krisis dimana harga energi meningkat di pasar global apakah terjadi peningkatan konsumsi biodiesel global. Kalau kita lihat impor sawit AS trendnya terus meningkat, tidak pernah turun, mungkin sebagian besar digunakan untuk produksi biodiesel,” ungkap Joko.
Mengenai masih diberpakukannya kebijakan DMO hingga saat ini, Joko mengatakan pemerintah tampaknya masih belum yakin dengan jaminan pasokan minyak goreng di pasar domestik. Pemerintah masih bersikap hati bahwa suatu waktu akan terjadi kembali kekurangan feedstock untuk minyak goreng domestik, padahal Indonesia memiliki surplus produksi.
“Tampaknya pemerintah masih perlu waktu untuk memastikan bahwa supply bahan baku minyak goreng domestik aman atau terjamin, karena itu masih ada DMO. Walupun DMO-nya sudah ringan karena kini tinggal 10%. Yang kami harapkan kemudahan ekspor karena 10% itu sangat mudah bagi kami untuk memenuhinya,” tegas Joko. (YS)