Gemabisnis.com, JAKARTA–Harga gandum, jagung, dan kedelai Ameria Serikat (AS) melonjak setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina. Kenaikan harga itu melanjutkan lonjakan baru-baru ini yang telah membawa mereka ke level tertinggi multi-tahun di tengah kekhawatiran atas gangguan yang dapat ditimbulkan perang terhadap pasokan makanan global.
Mengutip Forbes.com, Kamis (24/02/2022), kontrak berjangka Mei untuk gandum dan jagung musim dingin yang lembut di Chicago naik pada batas perdagangan hariannya Kamis pagi di CME sebelum sedikit melemah, dengan kontrak gandum dan kedelai mencapai harga tertinggi sejak 2012.
Gandum berjangka SRW pengiriman Mei naik 5,6% Kamis sore menjadi US$ 9,34 per gantang, sementara jagung pengiriman Mei naik 1,9% menjadi US$ 6,94 per gantang dan kedelai diperdagangkan turun 1,2% menjadi US$ 16,51 per gantang setelah sebelumnya di sesi mencapai US$ 17,19, level tertinggi sejak September 2012 .
Jika konflik antara Rusia dan Ukraina tidak selesai sebelum musim tanam musim semi, harga beberapa biji-bijian kemungkinan akan naik dan bahkan bisa berlipat ganda, ungkap Anu Gaggar, seorang analis riset di Manajemen Investasi dan Penelitian di Commonwealth.
Bersama-sama, Rusia dan Ukraina memasok lebih dari 25% ekspor gandum global, hampir 20% ekspor jagung, dan 80% ekspor minyak bunga matahari, dan kedua negara tersebut merupakan pemasok penting bagi Eropa dan Timur Tengah.
Rusia juga merupakan produsen utama pupuk, meningkatkan kekhawatiran bahwa pembatasan perdagangan dapat menyebabkan kekurangan yang selanjutnya dapat meningkatkan harga pangan global.
Seperti diketahui, Preseiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan Rusia akan meluncurkan “operasi militer khusus” di Ukraina pada dini hari Kamis pagi, yang segera diikuti oleh laporan ledakan di Kyiv dan kota-kota besar Ukraina lainnya. Sedikitnya 40 tentara Ukraina dan 10 warga sipil tewas pada jam-jam pertama invasi, kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Invasi itu dikecam di seluruh dunia oleh para pemimpin seperti Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Presiden Prancis Emmanuel Macron.(NF)