Gemabisnis.com, JAKARTA – Sebuah karya sastra dengan latar sejarah perkebunan tembakau Deli yang sarat misteri dan intrik telah hadir di tengah masyarakat. “Kabut Tanah Tembakau”, novel terbaru karya Rizal Siregar, diterbitkan pada Oktober 2024 oleh Penerbit Adab.
Novel ini menceriterakan kisah yang unik dan menarik dengan menggabungkan sejarah, budaya, dan mitos, membentangkan jalan cerita yang melintasi tiga era waktu: masa kolonial, masa kini, dan masa depan.
Novel setebal 259 halaman ini terbit dalam format fisik dan digital, lengkap dengan ISBN 978-623-505-394-3 dan E-ISBN 978-623-505-393-6 untuk versi PDF.
Dalam novel ini, Rizal Siregar, seorang wartawan senior, menghidupkan kembali sejarah perkebunan tembakau Deli, sebuah daerah yang terkenal pada abad ke-19 sebagai pusat tembakau kelas dunia, di mana banyak kuli kontrak dari berbagai daerah dipekerjakan dengan kondisi kerja dan kehidupan yang keras.
Proses Kreatif yang Panjang
Rizal Siregar mengungkapkan bahwa novel ini membutuhkan riset mendalam selama lebih dari lima tahun, terutama di wilayah Seantis, Percut Sei Tuan, Sumatera Utara, tempat perkebunan tembakau Deli pernah berjaya. “Novel ini lama saya siapkan. Mulai dari riset ke bangsal tembakau sampai bangsal itu sudah tidak ada lagi, baru novel ini bisa diterbitkan,” kata Rizal.
Novel ini tidak hanya menghadirkan kisah tentang kuli kontrak dan perkebunan tembakau, tetapi juga mengeksplorasi perjalanan seorang wanita muda bernama Marlina yang mencari jejak leluhurnya di Tanah Deli. Marlina, sebagai karakter utama, menemukan dirinya terjebak dalam perpaduan antara kenyataan dan dunia mitos, di mana dia berinteraksi dengan sosok-sosok dari alam bunian, makhluk gaib dalam legenda Melayu.
Perjalanan Lintas Masa dan Intrik Cinta
“Kabut Tanah Tembakau” merupakan novel sejarah yang dibumbui tema-tema universal seperti kisah cinta, kekuasaan, dan ambisi. Rizal dengan cermat merangkai cerita yang terjadi dalam tiga dimensi waktu: masa kini, era kolonial pada tahun 1890-an, dan masa depan. Marlina, seorang putri tunggal dari keluarga pengusaha sukses, menemukan dirinya tertarik ke masa lalu melalui petualangannya di Medan, tempat sejarah leluhurnya sebagai kuli kontrak di Tanah Deli terungkap.
Setibanya di Medan, Marlina mulai menyaksikan kejadian-kejadian dari masa kolonial, di mana tembakau Deli menjadi primadona perdagangan dunia. Kilasan sejarah yang ditampilkan Rizal, seperti potongan film yang muncul di hadapan Marlina, membawanya kembali ke masa di mana kuli-kuli kontrak hidup di bawah pengawasan ketat para mandor Belanda. Riset yang mendalam ini menghidupkan kembali suasana perkebunan tembakau yang pernah berjaya, dengan detail yang memperlihatkan kehidupan keras para kuli kontrak di tengah keserakahan dan intrik para penguasa kolonial.
Marlina bukanlah sekadar penonton sejarah. Dalam petualangannya, ia dibantu oleh Hamzah, seorang pemuda Melayu yang kemudian jatuh cinta padanya. Namun, kisah cinta ini bukanlah satu-satunya yang menjadi sorotan dalam novel ini. Di alam bunian, seorang pangeran juga jatuh cinta pada Marlina dan berusaha menjadikannya permaisuri. Pertarungan antara dua dunia untuk merebut hati Marlina menjadi salah satu konflik utama yang menghiasi cerita ini.
Budaya Melayu yang Mulai Memudar
Selain menyoroti sejarah dan kisah cinta, Rizal juga memasukkan unsur budaya Melayu Deli yang kaya akan adat istiadat, kuliner, dan petuah-petuah leluhur. Melalui cerita Marlina, pembaca diajak untuk merenungkan bagaimana simbol-simbol budaya tersebut mulai memudar di era modern. Rizal menyampaikan kekhawatirannya tentang hilangnya warisan budaya lokal di tengah arus globalisasi.
Novel ini bukan hanya menggambarkan perjalanan Marlina dalam mencari jejak leluhurnya, tetapi juga merangkum berbagai persoalan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam novel ini, Rizal mengangkat tema tentang kerakusan harta, cinta yang membara, intrik politik, hingga pertarungan kekuasaan yang berkaitan dengan dinamika pilkada di masa depan. Hal ini menjadikan “Kabut Tanah Tembakau” lebih dari sekadar novel roman, tetapi juga karya yang menggugah kesadaran pembaca akan kompleksitas kehidupan.
Sejarah Perkebunan Tembakau Deli: Dari Kejayaan hingga Kemunduran
Sebagai latar belakang penting dalam novel ini, perkebunan tembakau Deli memainkan peran sentral dalam menggambarkan sejarah kolonial di Sumatera Utara. Pada akhir abad ke-19, tembakau Deli terkenal sebagai salah satu komoditas terbaik di dunia, terutama untuk bahan cerutu. Perkebunan ini dikelola oleh perusahaan-perusahaan Belanda yang mendatangkan kuli-kuli kontrak dari Tiongkok, India, dan Jawa untuk bekerja di bawah kondisi yang sangat keras.
“Bahkan Sarni, Nenek Marlina, yang wajahnya sangat mirip sempat di bawa ke Surinme dalam pelariannya karena membunuh mandor di Perkebunan Tembakau Deli,” ungkap Rizal.
Para kuli kontrak ini diikat dengan perjanjian yang memaksa mereka bekerja selama periode tertentu dengan upah rendah, di tengah pengawasan ketat dan perlakuan yang sering kali tidak manusiawi. Kondisi ini menimbulkan berbagai pemberontakan dan konflik antara kuli dan para pengelola perkebunan, yang sebagian besar direfleksikan dalam kisah Marlina saat dia menyaksikan perjuangan leluhurnya melawan penindasan di masa lalu.
Perkebunan tembakau Deli terus berkembang hingga awal abad ke-20, namun seiring berjalannya waktu, industri ini mengalami kemunduran. Kemajuan teknologi dan perubahan sosial-ekonomi di Indonesia pasca-kemerdekaan, serta meningkatnya persaingan dari negara lain, menyebabkan kejayaan tembakau Deli perlahan-lahan memudar. Bangsal tempat menjemur tembakau, seperti yang diungkapkan Rizal dalam risetnya, kini hanya tinggal puing-puing sejarah.
“Kabut Tanah Tembakau” menawarkan lebih dari sekadar cerita fiksi yang memikat. Da menggambarkan sejarah yang kaya, konflik yang kompleks, dan budaya yang hampir terlupakan. Dalam setiap lembarannya, Rizal Siregar tidak hanya mengajak pembaca untuk mengarungi perjalanan emosional Marlina, tetapi juga untuk merenungkan kembali sejarah dan warisan budaya yang membentuk identitas masyarakat Deli. Melalui novel ini, Rizal berharap generasi muda, terutama generasi G-Z, dapat belajar dari masa lalu dan terinspirasi untuk menjaga nilai-nilai budaya yang semakin tergerus oleh waktu. (YS)