PERTAMA, ada pendapat mengatakan bahwa politik adalah kepentingan. Jika demikian, maka bisa dikatakan bahwa politik ekonomi pada dasarnya adalah soal yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Kepentingan siapa?.
Secara obyektif berarti kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang utama. Secara subyektif bisa dikatakan menjadi kepentingan para pemodal atau kelompok tertentu di masyarakat yang berkepentingan dengan urusan ekonomi.
KEDUA, secara obyektif, politik ekonomi Indonesia diatur dalam BAB XIV UUD 1945, yaitu Perekonomian nasional dan Kesejahteraan sosial. Dua pasal yang mengaturnya, yakni pasal 33 dan pasal 34. Secara obyektif pula maka seluruh rangkaian perencanaan pembangunan ekonomi nasional, strategi dan kebijakan yang ditempuh harus sejalan dengan pesan politik ekonomi yang diatur dalam pasal 33 dan 34.
Secara subyektif dan senyatanya, politik ekonomi secara pragmatis tunduk pada hukum pasar. Dan secara pragmatis pula terbentuk sebuah sistem ekonomi yang tunduk pada sistem kapitalisme dan liberalisme yang memberi ruang bagi pemodal menjadi penggerak utama ekonomi. Dalam praktek terjadi konflik kepentingan antara sistem ekonomi yang tunduk pada konstitusi ekonomi, dan yang tunduk pada hukum pasar yang kiblatnya adalah sistem kapitalisme dan liberalisme.
KETIGA, pada tataran perencanaan, strategi dan kebijakan bisa terjadi “ketegangan pada doktrin ekonomi”.Ketegangan ini bisa terjadi akibat adanya konflik kepentingan. Ketegangan yang sudah sama-sama kita fahami nampak pada tujuan pembangunan ekonomi.
Sistem ekonomi konstitusi jelas tujuannya yaitu growth through equity. Sedang sistem ekonomi pasar tunduk pada sistem kapitalisme dan liberalisme yang orientasinya adalah growth for growth atau pemupukan aset/kekayaan. Bias yang terjadi adalah pemupukan aset pada segelintir orang /pemilik modal, sehingga terjadi praktek monopoli, oligopi, dan sekarang ini kita mengenal ada kekuatan oligarki politik maupun ekonomi.
KEEMPAT, ada pendapat bahwa kondisi semacam itu terjadi karena muncul praktek akrobatik kebijakan yang melibatkan politisi, teknokrat, birokrat, dan kekuatan oligarki yang ujungnya menimbulkan “kesalahan” arah dalam penyelenggaraan kebijakan ekonomi. Banyak pendapat mengatakan bahwa kesalahan arah itu harus dikoreksi dengan tujuan agar penyelenggaraan kebijakan ekonomi dikembalikan pada politik ekonomi yang tunduk pada konstitusi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 dan 34 UUD 1945.
Policy dialogue antar seluruh komponen bangsa penting dilakukan untuk merumuskan politik ekonomi nasional. Para cendekiawan, generasi milenial politisi, teknokrat, birokrat dan para oligarki diajak berembug dalam penyusunan politik ekonomi yang selaras dengan konstitusi ekonomi yang kita anut. Policy dialogue politik ekonomi tersebut yang terbaik difasilitasi oleh MPR. Dan kesepakatannya dituangkan dalam Tap MPR tentang Politik Ekonomi Nasional 2025-2045.
KELIMA, hikmat kebijaksanaan ada dibalik proses pembentukan Tap MPR dimaksud. Barangkali inilah cara bangsa ini menggagas masa depan ekonomi Indonesia agar berdaulat dan mandiri.. Tanpa harus menggugat masa lalu, setiap perencanaan pembangunan ekonomi serta strategi dan kebijakan yang menyertainya sepanjang dinilai tidak tepat, memang harus diperbaiki.
Karya pembangunan bangsa yang sudah baik harus dirawat bersama sebagai aset nasional. Segala macam bentuk ketimpangan, seperti kesenjangan antar kelompok pendapatan, antar wilayah dan antar sektor harus diperbaiki. Re-alokasi dan re-distribusi sumber daya ekonomi memang harus dilakukan agar triple gap pembangunan ekonomi tersebut dapat diatasi.
Bersama kita bisa. Bercerai berai kita runtuh. Kita membutuhkan praktek kebijakan ekonomi yang bersifat afirmatif, fasilitatif, promotif dan protektif untuk melindungi kepentingan nasional.