PERTAMA, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah disahkan oleh DPR menjadi UU. Salah satunya menetapkan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang berlaku per 1 April 2022. Dan per 1 Januari 2025 , pada saat kabinet baru, tarifnya akan dinaikkan lagi menjadi 12%.
Secara pragmatis narasinya bisa dibaca bahwa dari awal pemerintah memang akan menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12% . Tapi rupanya diterapkan periode transisi bahwa per 1 April 2022 dinaikkan 1 basis poin persen menjadi 11%.
KEDUA, yo wis lah, kok njur kabeh podo mundak ( ya sudah lah semua kok jadi pada naik). Penulis melihat secara psikologis momennya bisa dikatakan tidak tepat ketika harga minyak goreng naik, kedelai naik, LPG non subsidi naik, BBM naik, dan listrik konon juga bakal naik.
Posisi penulis dari awal jelas, yaitu sebaiknya tarif PPN tidak dinaikkan sebagai pajak atas konsumsi barang dan jasa. Bahkan justru menaruh asa, lebih tepat diturunkan dari 10% menjadi 5% atau 7%.Ketika daya beli masyarakat kelas menengah bawah belum sepenuhnya membaik, maka segala keputusan yang menambah beban bagi masyarakat adalah tindakan yang tidak bijaksana .
KETIGA, pemerintah punya target ambisius untuk mengejar kenaikan tax ratio dari single digit sekitar 8-9% dari PDB saat ini menjadi double digit, bisa menjadi katakan 15% terhadap PDB. Kita tahu beban keuangan negara sudah sangat berat akibat pengeluaran lebih besar dari pendapatan sejak pandemi COVID- 19 dan krisis ekonomi.
PPN sebagai pajak atas konsumsi berarti konsep dasarnya dapat difahami bahwa seluruh pengeluaran atas konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pengeluaran investasi pemerintah dan swasta, serta ekspor dan impor semuanya dapat menjadi obyek PPN barang jasa
Jika kita nisbahkan terhadap PDB tahun 2021 sebesar Rp 16 700 triliun, maka potensi PPN yang akan menjadi kas negara adalah Rp 1.690 triliun dengan tarif 10% , dan naik menjadi Rp 1.859 triliun jika tarifnya 11% Hitungan kasar per tahun fiskal April hingga Maret 2023 rata-rata PPN yang dapat menjadi kas negara adalah Rp 1 774,5 triliun.
KEEMPAT, konsep pikir sederhana itu memberikan suatu perspektif bahwa dengan tarif tengah 11% ( antara 10% dan 12% ), nilai tambah yang dinikmati pemerintah dari PPN adalah Rp 1774,5 triliun, belum lagi yang akan diterima dari PPh badan dan perorangan dan dari sumber lain berupa PNBP. Pemahaman ini dilatarbelakangi oleh suatu konsep universal bahwa nilai tambah didistribusikan kepada para pemilik faktor produksi yang terlibat langsung dan tidak langsung untuk meningkatkan nilai dari suatu produk dan layanan, serta pengaruhnya terhadap pendapatan yang mereka terima. Dalam hubungan ini, secara garis besar ada pendapatan yang diterima oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
KELIMA, secara praktis berarti bahwa yang menjadi obyek PPN ini pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam setiap transaksi tanpa pernah memandang besar kecilnya nilai tambah yang dihasilkan. Karena itu sesungguhnya praktek PPN ini sebenarnya lebih pas kita sebut sebagai pajak atas barang dan jasa ( Good and Services Tax/GST) yang tarifnya final.
Penulis jujur, belum membaca UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Namun jika praktek PPN masih memakai mekanisme kredit pajak, maka sektor manufaktur bebannya akan lebih berat dibandingkan dengan sektor jasa.
Restitusi pajak akan menjadi fokus perhatian para pembayar PPN, khususnya para fabrikan karena waktu belanja bahan input sudah dipungut PPN yang potensial bisa menjadi beban cost of money karena PPN outputnya baru dihitung setelah produk yang dihasilkan dijual.
Dalam prakteknya maka akhirnya yang menjadi final statusnya adalah soal lebih bayar dan kurang bayar. Lain halnya kalau kita menerapkan sistem GST sejak transaksi sudah menjadi final. Restitusi PPN selalu rawan, yang paling klasik adalah potensial terjadi moral hazard.
Secara potensial uang yang tertahan, dananya tidak cukup untuk bayar restitusi karena negara/ pemerintah butuh dana cash untuk membayar berbagai kewajiban. Ini bisa difahami bahwa dunia usaha atau masyarakat justru memberikan semacam dana talangan( bailout) kepada pemerintah yang likuiditasnya terbatas.
KEENAM, jika masih boleh berharap, maka penulis ingin sampaikan kepada pemerintah agar pemberlakuan kenaikan tarif PPN per 1 April 2022 sebesar 11% dibatalkan saja. Artinya tidak perlu ada “masa transisi” menuju pemberlakuan tarif 12% pada 1 Januari 2025.Berarti hingga tahun 2024 tidak ada kenaikan tarif PPN.
Berikan ruang dan waktu kepada aktivitas ekonomi melakukan pemulihan dan konsolidasi. Beban dunia usaha dan masyarakat harus ditahan dulu kenaikannya yang kini bertubi-tubi beban itu datang seperti air bah.
Sangat bijaksana jika pemerintah mengambil langkah tersebut agar, kegiatan dan proses ekonomi di dalam negeri berputar normal kembali untuk mengumpulkan pendapatan dan profit taking yang wajar.
Naik-naik ke puncak gunung memang penting tapi sekarang lebih baik tidak dilakukan karena cuaca ekstrim. Menaikkan PPN saat ini bukan waktu yang tepat karena beban dunia usaha dan masyarakat berlipat-lipat. Buat belanja bahan baku/ penolong bagi industri saja berat akibat konflik Rusia-Ukraina. Belanja dapur apalagi. Ojo kesusu, lan ojo dumeh.