Indonesia saat ini tengah berusaha meningkatkan Gross Domestic Product (GDP). Di antaranya gencar menarik investor asing untuk berpoduksi di Indonesia. Namun apakah hal itu jadi jalan terbaik untuk meningkatkan GDP? Apakah ada cara lain yang lebih menguntungkan dan dapat dinikmati semua rakyat Indonesia?
PERTAMA, kita sedang bisnis GDP global. Menurut data IMF tahun 2021, GDP global berada di angka US$ 94 triliun. Share Indonesia tidak lebih dari 2%. Menuju target, capaian GDP Indonesia akan menjadi US$ 3 triliun di tahun 2030 sebuah perjalanan panjang berliku dan menghadapi ketidakpastian yang pasti untuk mencapai target tersebut.
Sisi produksi harus dipacu, dan sisi permintaan harus diburu. Jika yang kita produksi Toyota, Samsung dan sebaagainya, maka kita adalah ATPM mereka. Strategi bisnis mereka benar. Datang bawa modal, teknologi, bahan baku dan keahlian untuk merebut pasar.
PT Toyota Indonesia adalah ATPM mereka di Indonesia. Pendapatan bisnis mereka di Indonesia bisa mereka bawa pulang 100% ke negaranya kapan mereka mau dalam bentuk valuta asing. Devisa Hasil Ekspor (DHE) tidak disimpan di Indonesia, tapi disimpan di negara dimana mereka mau. Pasti sebagian besar disimpan di negaranya karena DHE dapat menjadi sumber dana investasi.
KEDUA, perspektif itu adalah konsep bisnis GDP yang telah dilakukan oleh Jepang, Korea Selatan, China dan lainnya. Strategi mereka jelas yaitu menyatukan kekuatan sumber daya yang mereka miliki dan kuasai untuk menguasai GDP negara mitra bisnis.
Boleh jadi output produksi dan pasar Toyota di Indonesia sudah memberi sumbangan besar terhadap GDP manufaktur di negeri ini. Mereka menikmati itu, dan hasil tersebut di bawa pulang ke kampungnya. ATPMnya hanya menikmati gaji upah, bahkan malah ATPM yang bayar pajak.
Kalau cara berpikirlnya dalam framing global minded seperti itu, boleh jadi no problem. Tapi jika mindsetnya kita tempatkan dalam framing national interest boleh jadi salah karena dalam distribusi nilai tambah kita hanya kebagian sisanya. Jadi, ATPM bekerja untuk kepentingan global industry. That’s business choice. Namun boleh jadi bisa menjadi problem jika upaya semacam itu menjadi bagian dari politik industri nasional.
KETIGA, cita – cita kita tidak seperti itu ? Yang benar sebagai cita – cita besar dan luhur adalah melakukan usaha bersama untuk membangun cabang – cabang produksi yang penting bagi bangsa dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat sebagai pemegang saham mayoritas, dan pemilik negeri ini.
Panduannya cukup jelas, tajam dan terpercaya serta clean and clear. Itulah mengapa penulis berani mengatakan bahwa mindset globalnya Jepang, Korea Selatan, China, bahkan India adalah benar. Benar karena mereka berpikir benar, yaitu bahwa nilai tambah ekonomi dan bisnis yang dilakukan dimana – mana, mereka usahakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran seluruh rakyatnya yang hidup di dalam negerinya, maupun di luar negeri.
KEEMPAT, karena itu, langkah besar yang perlu dilakukan bangsa ini adalah menempatkan mindset tersebut sebagai bagian dari strategi membangun kekayaan bangsa, berupa kekayaan spiritual, kekayaan intelektual, dan kekayaan material.
Strategi bisnisnya adalah memasarkan berbagai karya kekayaan tersebut untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Yang dipasarkan pasti berupa barang dan jasa. Dalam kelompok jasa ini bisa berupa jasa perekayasaan dan rancang bangun, jasa pendidikan kesehatan, jasa pariwisata dan sebagainya. Yang berupa barang adalah hasil pertanian, perkebunan, perikanan, tambang dan mineral, serta produk-produk olahannya berupa bahan pangan, energi, bahan baku, barang modal dan barang konsumsi. Pemerintah menyiapkan afirmatif policy untuk semuanya itu, dan menyediakan dana pinjaman dengan bunga rendah atau joint investment dengan perusahaan venture capital yang model bisnisnya tunduk pada platform investasi collaborative.
Jepang, Korsel, China dan India membangun ekonomi bangsanya dengan cara seperti itu. Nah kita sudah seperti itu, tapi yang diafirmasi adalah investor global. Tidak salah sih, tapi salah kaprah. Hehe😁, karena yang perlu afirmasi adalah 🇮🇩.
KELIMA, GDP adalah output ekonomi. Pendapatan, profit adalah outcomenya. Pertumbuhan, stabilitas dan kesejahteraan rakyat adalah dampaknya. Mari kita bergerak ke arah itu dengan strategi dan kebijakan yang benar – benar kita butuhkan.
Ada dua hal yang strategis perlu dikerjakan , yakni : 1) Membangun Kekayaan Bangsa. 2) Memasarkan Kekayaan Bangsa. Kedua strategi tersebut akan bermuara pada dua hal juga, yaitu 1) membesarkan kue GDP. 2) membesarkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) agar cadangan devisa juga ikut membesar.
KEENAM, jika GDP menjadi ladang bisnis, maka AS adalah negara yang harus kita target sebagai mitra dagang utama dengan GDP sebesar US$ 22, 9 triliun. Menyusul China US$ 16,9 triliun. Di bawah itu ada Jepang US$ 5,1 triliun, German US$ 4,2 triliun, UK US$ 3,1 triliun dan seterusnya. Semuanya adalah data IMF tahun 2021. Ladang bisnis itu hanya bisa diburu dengan meningkatkan ekspor ke negara – negara tersebut. Yang kita jual adalah barang dan jasa karya anak bangsa bukan karya bangsa lain seperti Toyota Hyundai dan lain-lain.
Sebab itu, peran ITPC, Atdag harus kita ubah menjadi semacam ATPM Indonesia di berbagai kawasan. Jadi mereka kita ubah fungsinya bukan sebagai birokrat, tapi menjadi pemasar aktif brand Indonesia. Kelembagaannya minimal seperti BLU ++ yang bisa menerima fee ( fee base income). Bersama konsulat jenderal, atase industri dan investasi digabung menjadi ATPM Indonesia. Gaji mereka standar BUMN. Misi investasi dan ekspor secara komersial menjadi urusan lembaga tersebut. Sedang misi diplomasi investasi dan ekspor menjadi urusan sepenuhnya KBRI.
Barangkali itu pikiran yang dapat kita bahas sebagai bagian dari upaya untuk melakukan Structural Adjustment. Perubahan kerangka regulasi agar lebih market friendly sangat diperlukan untuk mendapatkan posisi terbaik dalam bisnis GDP global. Ini sebuah pertarungan sengit dalam bisnis GDP. Income yang besar menjadi target utama karena semua negara ketika tersandera CVID- 19 memikul beban utang yang begitu besar.
Menurut Institute of International Finance (IIF) utang global selama masa pandemi covid 19 mencapai US$ 281 triliun, dan ratio utang global terhadap GDP global mencapai 355%. Belum lagi harus membiayai progam pemulihan kerusakan lingkungan menuju zero carbon dan sebagainya. Dengan demikian di bagian hilir, Indonesia mempunyai dua ujung tombak yang tajam dan terpercaya, yaitu ATPM Indonesia yang mengurus bisnis GDP, B TO B, dan yang menangani diplomasi yaitu KBRI yang urus kegiatan yang bersifat G to G. Terkait dengan ini, maka secara makro target progam P3DN adalah meningkatkan nilai ekspor Indonesia minimal 50% terhadap GDP
Bukalah pintumu, aku akan masuk, dan kita bisa bekerjasama untuk kemanusiaan kedamaian, kemakmuran, dan keadilan.