Gemabisnis.com, JAKARTA – PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) menyatakan kesiapannya untuk menjalan kebijakan baru pemerintah yang mengharuskan kegiatan perdagangan fisik minyak kelapa sawit melalui bursa berjangka komoditi, demikian disampaikan Direktur Utama (Dirut) BBJ Stephanus Paulus Lumintang kepada Gemabisnis.com di Jakarta, pekan lalu.
“Kami di PT BBJ secara teknis sudah sangat siap untuk menjalankan kebijakan baru pemerintah yang akan mewajibkan semua perdagangan fisik minyak kelapa sawit melalui bursa berjangka komoditi, baik untuk pasar di dalam negeri maupun untuk ekspor,” kata Paulus, sapaan akrab dirut PT BBJ tersebut.
Beleid mengenai perubahan kebijakan perdagangan minyak kelapa sawit itu belum lama ini disampaikan oleh Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan (Kemendag) Didit Noordiatmoko. Menurut Didid, pemerintah berencana akan mewajibkan seluruh perdagangan minyak kelapa sawit, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, melalui bursa berjangka komoditi terhitung mulai bulan Juni 2023.
Mengingat saat ini di Indonesia memiliki dua bursa berjangka komoditi (BBJ atau Jakarta Futures Exchange/JFX dan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia/BKDI atau Indonesia Commodity and Derivatives Exchange/ICDX), maka menurut Paulus, sebaiknya kedua bursa berjangka komoditi tersebut diberikan kesempatan yang sama (keduanya diberikan ijin) untuk menjadi bursa yang memperdagangan minyak kelapa sawit secara fisik.
“Biarkan nanti pelaku pasar sendiri yang menentukan untuk memperdagangkan minyak kelapa sawitnya di bursa yang mana sesuai dengan preferensi mereka. Diharapkan dengan diberikannya kesempatan yang sama maka masing-masing bursa akan berupaya untuk memberikan pelayanan terbaiknya bagi para pelanggan,” tutur Paulus.
Menurut Paulus, berdasarkan hasil diskusi dengan para pelaku pasar pun, mereka (pelaku pasar) menginginkan agar kedua bursa diberikan kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan kegiatan perdagangan minyak kelapa sawit secara fisik sehingga mereka dapat menilai sendiri pelayanan yang diberikan oleh masing-masing bursa.
Paulus mengatakan dengan diharuskannya perdagangan fisik minyak kelapa sawit melalui bursa maka pemerintah dan semua pemangku kepentingan industri minyak kelapa sawit akan mengetahui secara pasti dan transparan volume produksi, volume perdagangan berikut harga yang terjadi dalam transaksi melalui bursa tersebut.
Melalui perdagangan fisik di bursa, lanjut Paulus, pemerintah dan semua pemangku kepentingan juga akan bisa mendapatkan data yang lengkap dan akurat mengenai volume ekspor minyak kelapa sawit berikut nilainya (harga), nama buyer (pembeli), penjual, negara tujuan ekspor, nilai bea keluar dan pungutan ekspor yang dibayarkan eksportir, berikut informasi tentang dana hasil ekspornya.
“Semua bisa dimonitor dengan baik oleh pemerintah. Dengan demikian pemerintah juga akan lebih mudah dalam memonitor dan mengendalikan program Domestic Market Obligation (DMO) minyak kelapa sawit dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri,” jelas Paulus.
Apalagi, tambah Paulus, pemerintah telah memutuskan untuk meningkatkan pasokan minyak kelapa sawit ke dalam negeri dengan mengurangi jatah ekspor, dimana perbandingan antara pasokan ke dalam negeri dan untuk ekspor akan diperbesar dari sebelumnya 1:6 menjadi 1:2.
Sementara itu, menjawab adanya kekhawatiran dari para pelaku perdagangan minyak kelapa sawit mengenai akan timbulnya beban baru bagi para pelaku pasar berupa biaya transaksi di bursa, Paulus mengatakan walaupun memang akan ada biaya transaksi melalui bursa namun biaya transaksi tersebut tidak akan besar dan tidak akan menjadi beban bagi pelaku pasar mengingat bursa juga memberikan pelayanan yang prima kepada mereka.
“Besaran biaya transaksi itu bisa didiskusikan bersama antara bursa dan pelaku pasar. Melalui diskusi itu bisa ditentukan biaya transaksi yang wajar dan ideal. Bahkan, bisa ditentukan batas atas dan batas bawahnya sehingga tidak akan menjadi beban bagi para pelaku pasar,” pungkas Paulus. (YS)