PERTAMA, konsumsi rumah tangga di Indonesia penyumbang terbesar PDB, yang nilainya rata-rata 55% per tahun. Jika PDB ekonomi sekitar Rp 19.000 triliun, maka pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per tahun sekitar Rp 10.450 triliun. Jumlah yang tidak kecil, dan lembaga survei internasional beberapa tahun lalu memprediksi bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga kelas menengah Indonesia bisa mencapai US$ 2,5 triliun pada tahun 2030.Terbesar nomor 4 di dunia, sehingga wajar jika negeri ini selalu menarik investor global untuk doing business.
KEDUA, pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar itu, sudah pasti merupakan buying power yang tidak kaleng-kaleng.Dan ini menjadi indikasi bahwa di balik itu ada kekuatan pendapatan yang cukup memadai.
Bisa kita bayangkan bahwa pendapatan dan pengeluaran sebesar itu bukankah dapat menjadi sumber likuiditas? Jawabnya tentu bisa karena , dananya bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Kebutuhan itu, jika kita bagi dalam 4 bagian besar,maka dana sebesar itu selain dapat untuk menutup kebutuhan konsumsi itu sendiri , sesungguhnya juga dapat dialokasikan untuk keperluan tabungan, dibiayakan sebagai dana investasi, serta dapat disisihkan untuk dana filantropi
KETIGA, coba jika anda sebagai warga bangsa bisa berpikir seperti itu, maka tidak mustahil buying power mereka akan makin besar terkapitalisasi, dan sebab itu, tidaklah berlebihan jika belanja konsumsi rumah tangga Indonesia pada tahun 2030 diprediksi bisa mencapai US$ 2,5 triliun yang berarti 2 kali lipat dari PDB Indonesia saat ini sebesar US$ 1,2 triliun .
Tidak ada maksud apa-apa mengantarkan pikiran sederhana semacam itu. Tapi menarik jika kotak pandoranya kita. buka karena di balik pengeluaran konsumsi rumah tangga ada potensi discretionary income yang dapat dimobilisasi sebagai dana tabungan, investasi, dan filantropi .
Hal yang digambarkan di atas sekedar ilustrasi secara makro, tapi dengan konsep seperti itu,sejatinya Indonesia dapat membangun negaranya tanpa harus bergantung pada sumber daya dari luar. Memobilisasi sumber daya dalam negeri untuk membangun kemakmuran bangsa adalah niscaya, dan faktanya kita memang punya kekuatan besar yang bisa didayagunakan secara optimal.
KEEMPAT, memang jika kita bedah secara mikro, ceritanya bisa menjadi lain karena kita bisa menemukan berbagai paradoks yang terjadi. Salah satu isu yang telah kita fahami adalah tentang kesenjangan antar kelompok pendapatan di masyarakat.
Bicara buying power tentu umumnya dimiliki oleh golongan kelas menengah tengah dan atas. Sedangkan pada kelompok menengah bawah buying powernya terbatas. Konsep tentang konsumsi, tabungan, investasi dan filantropi sesungguhnya bersifat universal dan bisa berkembang dalam satu ekosistem.
Teori ekonomi-pun juga memberikan pembelajaran sebagai panduan bahwa hidup ber-ekonomi yang berkeadilan sosial dapat diwujudkan jika ekosistem tersebut dikelola dengan benar . Berdasarkan konsep kebijakan, hal seperti itu bisa dipandu oleh produk kebijakan yang memfasilitasinya karena pemerintah juga berkepentingan agar sebagian belanja konsumsi bisa bermigrasi menjadi tabungan, investasi dan filantropi. Dan jika kita cek ke pasal 33 dan 34 UUD 1945,negara memberikan jalan agar migrasi tersebut dapat terwujud. Kedua pasal itu adalah merupakan kanalisasi untuk mengatasi kesenjangan antar kelompok pendapatan dan/atau kesenjangan antar sektor dan wilayah. Esensi growth through equity ada disitu, sehingga tema besarnya dapat disebut sebagai upaya membangun perekonomian nasional yang berkeadilan sosial.
KELIMA, karena itu jika pemerintah berkehendak untuk mewujudkan sistem keuangan inklusif, panduan pikiran, konsep, dan bentuk kebijakan yang harus dibuat pada dasarnya harus bisa mengantarkan proses transformasi dan migrasi buying powers menjadi kekuatan baru yang mana sebagian dana belanja konsumsi dapat didayagunakan sebagai pembentuk dana tabungan, investasi, dan filantropi.
Dilihat dari aspek kelembagaan, maka sesungguhnya Indonesia membutuhkan paling tidak 3 sistem utama yaitu lembaga yang mengelola tabungan masyarakat, lembaga pengelola dana investasi masyarakat, dan lembaga yang mengelola dana filantropi masyarakat. Sistem ini bukan hal baru karena sudah lama tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Faktor penting yang harus diberi catatan adalah bahwa sistem itu membutuhkan public trust yang tinggi, dan good governance. Praktek casino capitalism adalah musuh kita bersama karena praktek ini yang seringkali menjadi salah satu sebab terjadinya krisis dalam dimensi luas.
KEENAM, kisah sedih dari great depression 1929, krisis utang 2008/2009 di UE dan AS dan krisis likuiditas Asia 1997/1998, adalah peristiwa serupa tak sama terjadi karena krisis kepercayaan, dan akibat dari tata kelola yang buruk. Dan kemudian yang dianggap sebagai biang kerok penyebabnya adalah goverment failure dan private failure.
Sebagai catatan akhir adalah bahwa literasi dan edukasi kepada masyarakat luas bahkan di sekolah dan universitas tentang keuangan inklusif berbasis konstitusi ekonomi harus diberikan. Jangan dicekoki dengan sistem kapitalisme liberal sebagai idiologi ekonomi yang paling benar. Kita punya sistem sendiri seperti yang diatur dalam pasal 33 dan 34 UUD 1945.
Di balik pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga yang besar sebagai buying power, ternyata menyimpan kekuatan yang jika dimobilisasi dengan benar dan bertanggung jawab dapat menjadi sumber dana tabungan, investasi, dan filantropi yang besar untuk membangun Masyarakat Ekonomi Indonesia( MEI) yang kuat dan mandiri tanpa bergantung pada sumber-sumber eksternal dalam jumlah besar. Dan ikhtiyar ini tidak harus mulai dari nol karena sistemnya sudah berjalan. Yang belum baik dan belum memenuhi harapan harus diperbaiki.
KETUJUH, dengan konsep seperti itu, maka MEI bisa membangun cabang – cabang produksi yang penting bagi bangsa dan negara, tanpa harus susah payah mengundang FDI masuk ke Indonesia. Komunitas STEAM ( science, teknologi, engineering, art, dan mathematic) dengan usaha bersama bisa membangun startup industri yang bangsa dan negara ini butuhkan. Lembaga-lembaga investasi di pusat dan di daerah bisa menjadi partner bisnis mereka guna membesarkan bisnis inti yang dirancang bangun mereka hingga mampu go global.