Gemabisnis.com, JAKARTA–Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardhika menegaskan, Indonesia masih memiliki potensi besar untuk meningkatkan ekspor produk kakaonya karena utilisasi industri pengolahan kakao di dalam negeri masih rendah.
“Utilisasi industri pengolahan kakao rata-rata masih 54 persen, masih rendah,” kata Putu Juli Ardhika, pada Peringatan Hari Kakao Indonesia 2022 di Jakarta, Sabtu (12/11/2022).
Putu menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki 11 industri pengolahan kakao intermediate dengan kapasitas 739.250 ton per tahun dan terdapat 902 industri pengolahan cokelat dengan kapasitas 462.126 ton per tahun, serta 31 artisan cokelat per bean to bar dengan kapasitas 1.242 ton per tahun.
“Sekitar 85 persen dari produksi kakao intermediate diekspor kepada 96 negara dengan volume mencapai 319.431 ton pada 2021,” ujarnya.
Adapun nilai ekspor produk kakao intermediate seperti cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake dan cocoa powder mampu menyumbang devisa hingga 1,08 miliar dolar AS.
Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), pada 2021/2022 Indonesia menempati urutan ke-6 sebagai produsen biji kakao terbesar di dunia.
“Indonesia juga merupakan negara pengolah produk kakao olahan ke-3 dunia setelah Belanda dan Pantai Gading,” papar Putu.
Untuk meningkatkan ekspor kakao, Putu mengatakan pemerintah akan terus berupaya meningkatkan produktivitas industri kakao, antara lain dengan pembentukan rumah produksi cokelat di berbagai wilayah sentra produksi kakao yang dapat menampung hingga 75 Industri Kecil Menengah (IKM) cokelat.
Kemenperin juga terus mengidentifikasi kebutuhan investasi industri coklate dan memberikan insentif bagi investor berupa tax allowance dan super deduction tax.
“Kami juga mendorong dan memfasilitasi kemitraan antara industri pengolahan kakao dan kelompok tani, serta memfasilitasi promosi produk makanan dan minuman bertaraf internasional baik yang diselenggarakan di dalam negeri maupun luar negeri,” ucapnya.
Ketua Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo), Soetanto Abdoellah menjelaskan, masalah utama yang dihadapi industri pengolahan kakao di dalam negeri adalah adanya gap antara kebutuhan dan suplai dari dalam negeri.
“Di tahun 2021 saja, untuk memenuhi kebutuhan industri, Indonesia terpaksa impor biji kakao sekitar 253.000 ton,” paparnya.
Untuk itu, Soetanto meminta semua pihak untuk menyemangati petani kakao untuk terus melakukan budidaya kakao sehingga produksi kakao nasional bisa memenuhi kebutuhan di dalam negeri atau mengurangi impor.
Sementara itu Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementerian Pertanian Hendratmojo Bagus mengakui masih adanya sejumlah hambatan dalam kegiatan budidaya kakao di dalam negeri.
Dia mencontohkan, hasil budidaya kakao masih belum sepadan dengan komoditas lainnya. “Sehingga petani kakao berpindah ke budidaya komoditas lainnya,” ucapnya.
Selain itu panjangnya rantai pasok dari hulu ke hilir juga ikut berpengaruh pada kegiatan budidaya kakao oleh petani. Hendratmojo mengatakan, industri pengolahan kakao banyak tersebar di Pulau Jawa, sementara produksinya kebanyakan di Kalimantan dan Sulawesi.
Hambatan lainnya adalah fluktuasi harga kakao yang merugikan petani. Hendramojo menjelaskan, harga kakao ditentukan oleh harga internasional yang terkadang merugikan petani dalam negeri karena harga dan biaya produksi selisihnya sangat tipis.
“Selain itu, rendahnya sumber daya manusia dan minimnya akses ke permodalan ikut mempengaruhi tingkat produksi kakao di dalam negeri,” papar Hendratmojo Bagus.
Data Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan di tahun 2021 luas lahan kakao di Indonesia mencapai sekitar 1,5 juta hektar dengan 99 % diantaranya dimiliki oleh pekebun rakyat dan sisanya 1% lagi dikelola pemerintah.
Sementara tingkat produktivitas lahan kakao di dalam negeri masih rendah, dimana hanya mencapai sekitar 700-800 kilogram per hektar. Volume ini jauh dibandingkan dengan produtivitas lahan kakao di beberapa negara Afrika yang bisa mencapai 2 ton per hektar. (HN)