PERTAMA, industri disebut sebagai penggerak utama ekonomi karena ia adalah sebagai mesin pencetak pendapatan nasional. Sejak dibangun dengan menempatkan modal, teknologi, dan dukungan public policy, industri hadir sebagai kekuatan ekonomi pencetak income and profit.
Sebab itu, industri harus beroperasi efisien sebagai pusat produktifitas sehingga minimal ekosistem pembentuknya harus berbiaya rendah. Di antaranya biaya investasi dengan cost of fund yang rendah, biaya proses yang paling efisien, biaya logistik yang kompetitif, dan biaya transaksi yang bersaing. Ini syarat yang harus bisa dipenuhi, sehingga ketika masuk dalam institusi pasar, setiap industri yang hadir memiliki kesempatan pertama untuk menjadi pemimpin pasar agar nilai portofolio bisnisnya meningkat.
KEDUA, apa makna dibalik pola pikir itu? Satu jawaban yang pasti karena jika syarat-syarat tersebut tidak bisa dipenuhi, maka industri akan menjadi tidak optimal pertumbuhannya karena lingkungannya sangat high cost. Akhirnya sulit diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai mesin pencetak pendapatan nasional.
Lingkungan ekonomi dan bisnis yang high cost tentu tidak begitu menarik investor untuk menanamkan modalnya di sektor industri yang sifat investasinya berjangka panjang. Terlalu sayang untuk bakar uang pada bidang usaha yang imbal hasilnya rendah,dan high cost serta high risk karena biaya investasinya relatif mahal.
Angka ICOR di Indonesia pada kisaran 5-6. Angka-angka makro industri menjawab asumsi tersebut, misal kontribusi industri terhadap PDB rendah, hanya sekitar 20%.pertumbuhannya juga rendah, yang sejak krisis 1997/1998 tidak pernah di atas pertumbuhan ekonomi. Misal jika pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun 5%, maka pertumbuhan industri hanya sekitar 4-4,5%
KETIGA, kini industri tumbuh di bawah tekanan akibat pelambatan ekonomi global. Secara eksternal penyebabnya karena inflasi global, gangguan rantai pasok akibat perang Rusia-Ukraina. Persoalan di internal adalah high cost economy. Berarti kena pukulan dua kali. Industri berarti harus membayar mahal atas situasi itu. Wajar bila industri umumnya meminta pembebasan/keringanan pajak untuk mengkompensasi atas beban biaya produksi langsung dan biaya produksi tidak langsung yang tinggi akibat high cost. Pemerintah bisa menikmati pajak yang dibayar industri, misal PPN, atau sejumlah PPh yang dipungut di depan, meskipun PPh badan belum tentu bisa ditarik karena perusahaan industri mengalami kerugian usaha.
KEEMPAT, situasi itu menjadi semakin menarik untuk di dalami karena distribusi nilai tambah mengalami trade off. Haknya pemerintah sudah bisa ditarik sebagai pendapatan, haknya pekerja juga harus dibayarkan tiap bulan, termasuk BPJS ketenagakerjaan. Sedangkan haknya investor belum tentu bisa dibayar karena tidak ada pembagian deviden. Pembentukan dana cadangan untuk re-investasi atau untuk keperluan lain belum tentu juga dapat disisihkan. Jika semua kewajiban harus diselesaikan pada satu waktu bersamaan, maka beban cash flow akan berat. Karena kebutuhan belanja operasional tidak bisa ditunda maka mau tidak mau cash flow perusahaan harus terjaga dengan cara menarik working capital dari bank untuk menjaga likuiditas perusahaan yang suku bunganya relatif tinggi.
KELIMA, jika faktor-faktor tersebut kita anggap sebagai masalah, maka kita harus mengatasinya ketika industri dituntut untuk tumbuh dan tangguh. Saatnya kita harus mulai ngulik ke persoalan-persoalan makro industri /mikro industri karena disitulah dapat kita temukan problem industri dan bisnis yang sebenarnya. Persoalan makro kita menghadapi trade off pertumbuhan rendah Pada persoalan mikro kita menghadapi trade off biaya dan manfaat. Problem ini bisa dilacak oleh tenaga – tenaga profesional analis data dan analis kebijakan. Soal pertumbuhan rendah bisa dilacak melalui analisis indeks kontribusi industri terhadap pemenuhan kebutuhan pengeluaran belanja konsumen, investasi, belanja pemerintah dan ekspor,maupun kontribusi industri dalam global value chain.
KEENAM, semua pembenahan itu pada akhirnya akan membantu menekan beban industri sebagai mesin pencetak pendapatan dan profit. Karena itu, pembenahannya bisa dilakukan melalui pendekatan makro industri maupun mikro industri.
Sebagai mesin pencetak pendapatan nasional dan profit, maka industri harus menjadi penyumbang terbesar penerimaan devisa hasil ekspor, peningkatan kemampuan daya beli masyarakat, pendapatan perusahaan untuk dibagi dalam bentuk dividen dan dana cadangan, serta menyumbang penerimaan pajak.
PNBP yang dipungut oleh berbagai Kementrian/Lembaga agar dibatasi karena berpotensi menimbulkan beban high cost. Penulis berpendapat bahwa distribusi nilai tambah yang menjadi haknya pemerintah dalam bentuk pajak dan PNBP serta retribusi daerah harus dibatasi setinggi – tingginya komulatif 15% terhadap PDB industri atau 20% terhadap PDB ekonomi. Selebihnya sekitar 80-85% yang menjadi haknya investor, perusahaan dan masyarakat tidak diganggu gugat.
Pada aspek yang lain konsep low cost economy akan memberikan kesempatan bagi industri dapat memberikan kontribusi maksimal pada pembentukan surplus neraca perdagangan dan surplus neraca transaksi berjalan serta kontribusi dalam global value chain sehingga industri pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap stabilitas nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS maupun valas lain yang kuat.
Kerjasama investasi, industri dan perdagangan dengan sejumlah negara harus diupayakan dapat menghasilkan surplus pada kedua neraca tersebut dan kontribusi yang optimal pada global supply chain.