Gemabisnis.com, JAKARTA – Terjadinya kelangkaan produksi gula di berbagai negara produsen utama dunia menjadi momentum bagi industri gula berbasis tebu di dalam negeri untuk meningkatkan produksi nasional guna memenuhi kebutuhan di pasar domestik. Hal itu disampaikan Ketua Umum Gabungan Produsen Gula Indonesia (Gapgindo) Syukur Iwantoro kepada wartawan di kantornya, Rabu (30/8).
Dengan menjadikan situasi kelangkaan gula di pasar global sebagai momentum peningkatan produksi gula nasional Syukur berharap industri gula di dalam negeri tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan gula konsumsi (gula kristal putih) di pasar domestik, tetapi juga mampu memproduksi dan memasok gula kasar (raw sugar) kepada industri gula rafinasi nasional yang selama ini sangat tergantung kepada pasokan gula kasar dari luar negeri.
“Khusus untuk gula kosumsi sebetulnya kekurangan produksi kita tidak terlampau banyak. Dari kebutuhan gula konsumsi sebesar 3,2 juta ton pada tahun 2022 sudah mampu dipenuhi dari dalam negeri sebanyak 2,2-2,3 juta ton. Pekerjaan rumah yang lebih besar adalah bagaimana memenuhi kebutuhan raw sugar untuk industri gula rafinasi nasional yang mencapai 3,4 juta ton yang selama ini dipenuhi seluruhnya dari impor,” jelas Syukur.
Syukur mengatakan sejumlah negara penghasil gula utama dunia seperti Thailand, India, Australia dan Brazil kini mengalami penurunan produksi gula sehingga mereka mengurangi volume ekspor gulanya, bahkan beberapa negara telah mengumumkan menghentikan/melarang ekspor gula ke pasar internasional karena mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negerinya.
Pemerintah Thailand dan India, lanjut Syukur, telah mengumumkan produksi gula mereka mengalami penurunan akibat kekeringan yang melanda wilayah kedua negara tersebut yang dipicu fenomena cuaca El Nino tahun ini. Akibatnya, Thailand memutuskan untuk membatasi ekspor gulanya, demikian juga dengan India telah membatasi ekspor gulanya dan berencana untuk menghentikan ekspor sama sekali mulai Oktober mendatang.
Sontak saja kebijakan pembatasan dan penghentian ekspor tersebut mendongkrak harga gula di pasar global. Harga raw sugar yang dalam kondisi normal berada di level rata-rata US$16 sen/lbs kini melonjak menjadi US$25-26 sen/lbs. Lonjakan harga raw sugar ini tentu saja membuat industri gula rafinasi di berbagai negara yang menggunakan raw sugar sebagai bahan bakunya kelimpungan. Indonesia saja tahun ini diperkirakan membutuhkan 3,4 juta ton raw sugar untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi 11 industri gula rafinasi.
Lonjakan harga raw sugar di pasar global tersebut diperkirakan akan berbuntut pada kenaikan harga gula rafinasi yang di pasar domestik digunakan oleh industri makanan dan minuman. Dengan demikian, kenaikan harga gula rafinasi ini kemungkinan besar akan mengakibatkan naiknya harga produk makanan dan minuman yang menggunakan gula rafinasi sebagai salah satu bahan bakunya.
Karena itu, Syukur mengajak para pemangku kepentingan industri pergulaan di dalam negeri untuk menjawab tantangan pemenuhan gula di dalam negeri dewasa ini dengan menjadikannya sebagai momentum untuk meningkatkan produksi gula nasional. Tentu saja Syukur menyadari bahwa untuk melakukan hal itu bukanlah perkaraan gampang seperti membalikan telapak tangan. Banyak hal yang harus dilakukan baik di on-farm maupun off-farm seperti pemanfaatn/penguasaan teknologi produksi mulai dari teknologi pemanfaat lahan sesuai dengan kondisi yang ada, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk yang sesuai dengan kondisi lahan, teknologi pemanenan hingga teknologi pasca panen.
“Yang juga tidak kalah pentingnya adalah peranan pemerintah dalam menciptakan iklim industri pergulaan yang kondusif melalui penerbitan berbagai regulasi yang mendukung termasuk menyediakan berbagai insentif yang dibutuhkan pelaku usaha. Insentif yang kini dibutuhkan para pelaku usaha diantaranya insentif pembebasan pajak bagi pelaku industri pergulaan serta pembangunan infrastruktur khususnya jalan dari dan ke pabrik gula serta insfrastruktur jalan ke perkebunan tebu,” tegas Syukur.
Infrastruktur jalan menuju pabrik gula, lanjut Syukur, seharusnya jalan kelas I atau kelas II, karena jalan tersebut sering dilalui truk-truk besar pengangkut bahan baku tebu maupun hasil gulannya. Jika kualitas jalannya lebih rendah dari jalan kelas I atau II makan akan cepat rusak sehingga akan menggangu proses transportasi bahan baku maupun produk gulanya.
“Kami para pelaku industri pergulaan di dalam negeri telah siap untuk bahu-membahu bersama pemangku kepentingan lainnya termasuk pemerintah untuk meningkatkan produksi gula nasional. Kami harapkan pemerintah selaku regulator mampu menjadi dirijen yang dapat bersama-sama membawa seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan upaya peningkatan produksi gula ini sehingga swasembada gula yang telah dicanangkan dapat segera dicapai,” pungkas Syukur. (YS)