Salah satu tolok ukur pertumbuhan suatu negara dapat dilihat dari GDP (Gross Domestic Product) nya. GDP merupakan statistika perekonomian yang paling diperhatikan karena dianggap ukuran tunggal terbaik mengenai kesejahteraan rakyat. Besaran GDP berpengaruh terhadap besaran cadangan devisa (Cadev) suatu negara.
Banyak kebijakan dan strategi yang dapat dilakukan suatu negara, terutama Indonesia, dalam membesarkan kue GDP dan Cadev nya.
PERTAMA, kue GDP dapat dibesarkan dengan menggunakan berbagai instrumen pasar. Mesin pompanya antara lain adalah komunikasi, negosiasi dan diplomasi ekonomi dan bisnis. Jika alat ini tidak digunakan, maka kue GDP tidak akan mengembang. Bila dibiarkan pasti akan menjadi gelembung dan kue GDP tersebut tidak akan bisa disantap sebagai hidangan lezat bagi seluruh rakyat .
Memasak kue GDP butuh chef yang bertangan dingin dan mengerti betul tentang cara membuat dan membesarkan kue GDP dengan adonan yang tepat, dan ketika matang dan berhasil dijual bisa langsung ludes, dan menghasilkan cuan banyak.
KEDUA, semua negara di dunia ber bisnis GDP. Semua berpacu dengan ekspektasi yang sama, yaitu cuan dalam bentuk income and profit. Lapak pasarnya juga sama menyebar dimana – mana di dalam negeri dan di mancanegara .
Kue GDP itu wujudnya hanya ada dua, yakni barang dan jasa.Indonesia baru mampu menghasilkan kue GDP sebesar US$ 1,2 triliun pada tahun 2021.Dari sebesar itu baru bisa menghasilkan cadangan devisa tidak lebih dari US$ 140 miliar . Ini persoalan serius. Kue GDP udah lumayan besar dan telah masuk 10 besar dunia, namun yang dijual di luar negeri hanya sekitar 20-25% dari total GDP.
Hal yang demikian dapat dibaca dan difahami bahwa 1) kita belum maksimal jualan. 2)DHE sebagai income masih perlu diperbesar agar paling tidak bisa mencapai 10 besar dunia. 3) boleh jadi kita masih lebih banyak menjual di dalam negeri,dan pada kondisi daya beli lemah dan saingan impor cukup besar ( legal/ilegal), sehingga produksi dalam negeri akan mengalami tekanan berat. 4) kondisi yang demikian menjadi tantangan sendiri karena economic of scale menjadi tidak optimal.
KETIGA, persoalan economic of scale tidak banyak yang mempersoalkan, padahal ini menjadi titik krusial dalam ekonomi industri. Catatan kritikalnya adalah :1) biaya produksi menjadi tinggi karena prosesnya high cost. 2) pertumbuhan GDP tidak maksimal, sehingga pemupukan pendapatan nasional menjadi kurang maksimal baik yang dinikmati oleh pelaku bisnis maupun oleh pemerintah, atau masyarakat. Sudah begitu, distribusinya jomplang sehingga isu ketimpangan nyaris sulit dibereskan. Kita sepertinya menghadapi trade off dalam soal memupuk pendapatan dan distribusinya. 3) sebagian ahli ekonomi industri ada yang berpendapat bahwa pasar dalam negeri segede apapun umumnya tidak cukup mempunyai energi besar guna mendukung efisiensi skala produksi, Berarti ada keterbatasan daya dorong untuk memacu pertumbuhan. Pasar dalam negeri bagi Indonesia tetap penting, tapi tidak bisa menjadi tempat bergantung.
KEEMPAT, karena itu, jika kue GDP mau dibesarkan, maka anjuranya adalah besarkan market obligasi di pasar global agar kue GDP yang membesar tidak berisi gelembung hampa, tapi berisi nilai tambah, income dan profit.
Barangkali kita harus pasang target bahwa barang dan jasa yang diproduksi di negeri ini apakah berupa bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi, serta jasa, 70% harus diekspor dan 30% dijual di pasar dalam negeri. Rasanya ini yang benar karena kalau bisnis GDP hanya dapat 20-25% sebagai hasil ekspor, maka sulit berharap mendapatkan DHE dalam jumlah besar sebagai sumber pendapatan nasional.
Dalam konstruksi ekonomi global, maka kita tidak bisa tidak harus meneguhkan keputusan bisnis bahwa membesarkan kue GDP adalah keniscayaan. Agar kue GDP membesar, maka kita harus bisa tampil sebagai market leader di dunia, minimal bisa masuk the big ten atau the big five. Target ini yang akan membuka peluang pendapatan dan profit dapat diperoleh dalam jumlah besar, yang dalam tradisi pasar internasional diwakili oleh perolehan DHE yang besar, sehingga cadangan devisa Indonesia akan bisa mencapai posisi 10 besar atau 5 besar di dunia.
Semua negara yang bermain di pasar global, selalu memasang target tidak hanya sekedar survival, tapi lebih dari itu harus bisa membentuk tabungan, cadangan dan investasi serta mampu melakukan akuisisi dan valuasi berbagai aset global untuk menjadi aset nasional.
Mindset ini yang mesti kita kerjakan bersama agar Indonesia tidak menjadi jarahan kapitalisme. Model akuisisi Freeport Indonesia harus dilakukan pada sektor-sektor lain agar nasionalisasi aset dapat terjadi dari waktu ke waktu.
KELIMA, dalam ekonomi global, fakta menunjukkan bahwa sistem kapitalisme global tampil sebagai pemegang kendali utama dalam perputaran uang/modal/ likuiditas, yang dipompakan keseluruh dunia dalam bentuk kredit, investasi portofolio dan FDI.
Tidaklah salah jika lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, ADB, the fed dll, yang menjadi perhatian utama mereka adalah besaran kue GDP, dan cadangan devisa ( cadev) negara- negara di dunia yang aktif bermain di pasar global.
Mengapa kok bisa sesederhana itu?. Jawabannya juga sederhana saja, yaitu : 1) semua negara yang ikut bisnis GDP global mempunyai kapasitas untuk membelanjakan kebutuhan impor minimal 4 bulan. 2) mempunyai kemampuan melunasi hutang pada saat jatuh tempo. 3) karena itu, semua negara dituntut harus dapat menyandang status sebagai investment grade ( memiliki kemampuan bayar yang tinggi, dan risiko gagal bayar yang rendah). Saat ini, negara emerging country cenderung dijadikan proxi system kapitalisme global untuk dieksploitasi aset nasionalnya.
KEENAM, persoalan teknokrasi, regulasi dan fasilitasi pasti terlibat dalam proses bisnis GDP. Tidak cukup dengan itu, kita butuh komunikasi, negosiasi dan diplomasi ekonomi dan bisnis yang efektif sebagai instrumen pasar yang semua negara melakukan dengan caranya masing – masing.
Apa yang akan dicapai, paling tidak ada empat hal, yaitu 1) berupaya menjadi market leader, paling tidak bisa masuk 10 besar atau 5 besar. 2) meningkatkan nilai portofolio ekonomi setiap negara. 3) berkontribusi maksimal dalam global supply chain dan/ atau global value chain. 4) nilai tambahnya dapat dinikmati sebesar besarnya untuk kepentingan dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah. di negara bersangkutan.
Data GDP sejumlah negara di Asia tahun 2021 menurut IMF adalah China US$ 17,9 triliun (, cadev US$ 3.232 miliar) Jepang US$ 5,1 triliun ( cadev US$ 1.424 miliar), India US$ 2,9 triliun ( cadev US$ 633,3 miliar), Korsel US$ 1,8 triliun ( cadev US$ 463,9 miliar), Indonesia US$ 1,2 triliun ( cadev sekitar 140 miliar).
Bagi Indonesia masih harus berusaha untuk mencapai prestasi ekonomi yang menjadi harapan kita bersama. Bisnis adalah “G A U L”, sebab itu, intensitas dan kualitas komunikasi, negosiasi dan diplomasi ekonomi dan bisnis dengan negara mitra dagang menjadi instrumen pasar penting guna menembus benteng proteksi ekonomi atas nama apapapun. Not easy but very hard. Ekonomi global makin sulit. Pendekatan diplomasi ekonomi secara bilateral jauh lebih penting daripada menembus pasar berskala multilateral dan regional.
Catatan kecil dari penulis adalah bahwa global supply chain mengalami gangguan bukan karena perang Rusia – Ukraina semata , tetapi akibat embargo ekonomi yang dilakukan oleh AS dan sekutunya.Jika embargo dibuka, Rusia dan Ukrania akan berhenti perang karena udah kehabisan energi.
Perang dan embargo telah menjadi senjata makan tuan dan dampaknya ekonomi global makin sulit. Bank Dunia memberi sinyal bahwa tahun 2023 ada potensi akan terjadi resesi global. Percaya atau tidak, monggo dipun pikir piyambak. Jika benar terjadi, yang untung adalah pemegang kendali sistem kapitalisme global. Hore kalian gue kerjain. 😂😂😂🇮🇩🙏