Gemabisnis.com, JAKARTA–Puluhan lembaga sertifikasi produk (LSPro) swasta nasional kini berada di ambang kebangkrutan. Sejak awal tahun, aktivitas sertifikasi mereka terhenti akibat kebijakan baru Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang dinilai diskriminatif.
“Kami sudah kehilangan hingga 80 persen pendapatan, laboratorium hanya melakukan uji satu produk saja, dan sebagian karyawan terpaksa dirumahkan,” ungkap Dasriel Adnan Noeha, Direktur Eksekutif PT Ceprindo, salah satu anggota Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia (ALSI), di Jakarta, Kamis (16/10/2025).
“Kami ini anak bangsa yang membangun usaha dengan modal pribadi, bukan dana asing. Pada mulanya kami sangat gembira dapat Akreditasi KAN dengan 23 scope Produk. Kemudian keluar Kepmen Perindustrian bahwa LsPro harus memilik laboratorium untuk menunjang ls pro, kami hanya kebagian 4 jenis produk keluarga keramik saja Saat ini kami benar-benar terpukul munculnya Kepmen baru bahwa kami tidak ditunjuk lagi untuk 3 produk impor,” lanjutnya dengan nada getir. .
Sejak terbitnya 21 keputusan Menteri Perindustrian, hanya Balai Besar Standardisasi milik Kemenperin yang ditunjuk untuk menangani sertifikasi sejumlah produk impor tertentu. Sementara LSPro swasta hanya diberi ruang sempit untuk produk dalam negeri—yang jumlahnya jauh lebih kecil dan sebagian besar juga ditangani LSPro pemerintah.
Untuk diketahui, membangun sebuah LSPro dengan memiliki laboratorium uji mandiri, membutuhkan investasi besar. Satu laboratorium pengujian bisa menelan biaya Rp25–50 miliar, tergantung lingkup produknya. “Saya pribadi meminjam Rp35 miliar ke bank untuk membangun laboratorium bersertifikasi nasional. Kini, karena tidak ada lagi proyek, bank sudah mulai menagih. Aset kami terancam disita,” ujar Dasriel.
Berbeda dengan LSPro penanaman modal asing (PMA) yang bisa disokong dana oleh kantor pusatnya di luar negeri, LSPro penanaman modal dalam negeri (PMDN) seperti Ceprindo dan puluhan lainnya berjuang dengan keringat dan modal pribadi.
“Kami membangun bisnis ini demi mendukung industri nasional dan memastikan produk Indonesia memenuhi standar SNI. Tapi kini, justru kami yang tersisih,” imbuhnya.
Selama puluhan tahun, sekitar 80 LSPro swasta anggota ALSI telah menjadi mitra strategis Kemenperin dalam mengaudit dan memastikan produk dalam negeri maupun impor sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Mereka telah terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan memiliki laboratorium pengujian mandiri sesuai standar internasional ISO.
“Peran kami sangat penting dalam menjaga kualitas dan keselamatan produk di pasar. Kami ini garda depan penerapan SNI. Tapi keputusan sepihak ini membuat kami seperti tidak dihargai,” kata Ketua Umum ALSI, Nyoman Susila.
ALSI menilai keputusan Kemenperin dikeluarkan tanpa melibatkan pemangku kepentingan terkait.Menurut informasi ALSI, mereka tidak pernah diajak duduk bersama, tahu-tahu keluar surat keputusan. Saat mereka meminta penjelasan, malah dipingpong dari satu pejabat ke pejabat lain tanpa ada kejelasan .
Dia menilai kebijakan ini bertentangan dengan prinsip good governance, serta tidak mencerminkan semangat imparsialitas dan persaingan sehat sebagaimana diatur dalam standar internasional ISO dan WTO.
Dampak kebijakan tersebut kini mulai terasa. Beberapa produk impor tertahan di pelabuhan karena tidak bisa mendapat sertifikasi, padahal kontrak dagang sudah berjalan.
“Ini bukan hanya memukul LSPro swasta, tapi juga mengganggu rantai pasok dan merugikan pelaku usaha lain,” tegas Dasriel.
ALSI menilai kebijakan Menteri Perindustrian juga tidak sejalan dengan arah Presiden Prabowo Subianto yang mendorong penghapusan kuota impor dan kemudahan berusaha, serta inisiatif Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk membentuk tim penerima aduan dari pelaku usaha yang menghadapi hambatan regulasi.
Atas kondisi ini, ALSI telah mengadu ke Komisi VII DPR RI sejak Mei 2025. Mereka berharap DPR mendorong Kemenperin mencabut 21 keputusan yang dianggap diskriminatif atau mengembalikan pada kebijakan lama yang lebih adil.
“Kami hanya ingin diperlakukan setara. Anak bangsa yang berjuang membangun usaha dengan modal pribadi seharusnya di support sebagai stake holder standardisasi diperlakukan adil, “tutup Dasriel. BN