Semua negara , termasuk Indonesia, saat ini berusaha menarik investor asing untuk berinvestasi di wilayahnya. Beragam tawaran yang kebanyakan berupa kemudahan-kemudahan dilayangkan kepada pemilik dana agar mau mendirikan industri di negara itu. Namun untuk menarik investor untuk berinvestasi tidaklah mudah. Banyak hal yang menjadi pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara.
PERTAMA, kita hidup dalam ekonomi global yang tidak hanya dicirikan oleh perdagangan bebas atas barang dan jasa, tetapi juga pergerakan modal yang berputar secara bebas. Angka suku bunga, nilai tukar mata uang, dan harga saham di berbagai negara saling mengkait satu sama lain. Peran pasar uang dan pasar modal global sangat besar memberi pengaruh pada perekonimian suatu negara.
KEDUA, peran modal untuk ditempatkan sebagai dana investasi di berbagai negara di dunia sudah sedemikian rupa besarnya. Dana tersebut akan ditempatkan di titik yang bisa mendatangkan profit besar. Bank Dunia mengatakan bahwa para investor akan menempatkan dananya di suatu negara yang dapat menjamin adanya stabilitas politik dan keamananan, serta kepastian hukum dan perundangan sebagai yang utama.
KETIGA dalam kondisi cetiris paribus, di pasar uang dan pasar modal sedunia terjadi perputaran uang dalam jumlah besar. Prosesnya cukup menakjubkan, yaitu menghisap dana ke lembaga – lembaga keuangan dan pasar, kemudian memompanya ke pasar uang dan pasar modal sedunia. Transmisi dana ini secara langsung dilepas dalam bentuk kredit dan investasi portofolio. Dan secara tidak langsung dilakukan melalui FDI oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
KEEMPAT, jika paradigma itu kita percayai sebagai fakta, maka dominasi investasi global digerakkan oleh kredit /dana pinjaman, dan investasi portofolio sebagai pilihan utama. Sedangkan FDI ditempatkan sebagai pilihan sekunder. Fakta ini dapat kita lihat di Indonesia sendiri bahwa peran kebijakan makro ekonomi lebih banyak didedikasikan pada upaya menjaga stabilisasi pergerakan pasar uang dan pasar modal di dalam negeri. Ini terjadi pasca krisis likuiditas Asia tahun 1997!1998.
Pergerakan modal melalui FDI, relatif tidak sekencang pada periode sebelum krisis tersebut karena sifatnya investasi jangka panjang. Ada pendapat mengatakan bahwa globalisasi di masa lalu adalah outsourcing. Global Industry cenderung mencari tempat yang murah untuk produksi barang dan jasa. Globalization saat ini adalah localization. Yaitu sebuah strategi investasi dengan menggunakan pendekatan bagaimana memanfaatkan kemampuan lokal sebaik baiknya agar tetap dapat memenangkan persaingan global.
Peran localize leaders menjadi sangat penting. Global industry meyakini bahwa sudah tidak zamannya lagi menempatkan dana besar untuk membangun pabrik baru karena mereka mempunyai pilihan dapat memilki pabrik baru melalui pembelian saham di pasar modal atau akuisisi. Atau akan melakukan investasi langsung dengan cara melakukan joint venture dengan localize leaders.
KELIMA, dinamika itu sangat bisa difahami. Satu pembenaran yang telah kita akui adalah bahwa global industry sudah bekerja dalam framing global value chain. Dari perspektif ini berarti bahwa industri industri lokal yang harus dibangun dan dikembangkan portofolio bisnisnya adalah cabang – cabang industri yang bisa tumbuh dan hidup dalam pohon industri global ( global family three industry). Sifat bisnisnya menjadi kolaborasi dan melakukan semacam pembagian kerja internasional (international division of labour).
Konsep ini dapat difahami sebagai strategi industri dan bisnis para pemain global industry. dengan melakukan kolaborasi untuk tetap bisa menjaga daya saing internasionalnya. The more, the world become global, the more local capabilities matter. Jaringan bisnis global industry tetap bisa ekspansif dengan menerapkan strategi global semacam itu untuk mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu tetap menjadi market leader, dan portofolio industrinya tetap bisa bervaluasi besar nilai asetnya. dan diupayakan fondamental bisnisnya harus kuat.
KEENAM, pilihan model industri dan bisnis lokal yang harus kita kembangkan semestinya dapat mengikuti paradigma dan fenomena yang kita bahas di atas. Satu catatan penting harus kita mengerti adalah bahwa global industry tidak banyak berhitung tentang “nasionalisme”. Mereka hanya mencari calon mitra strategis yang benar-benar telah siap untuk joint venture. Jika partner yang dicari di suatu negara,tidak ada, maka investor global industry akan mencari partner di negara lain.
Dari diskursus ini, maka shifting kebijakan industri perlu dilakukan. Strateginya dengan membangun industri-industri lokal yang dipersiapkan dapat masuk ke jaringan industri global untuk bersama-sama menghasilkan nilai tambah global melalui praktek semacam pembagian kerja internasional ( international division of labor).
Belajar dari pengalaman menguber-uber Tesla agar mau menanamkan modalnya di Indonesia, persoalannya menjadi tidak sederhana karena Tesla sejatinya juga tengah menjalankan paradigma industrialisasi mobil listriknya yang tunduk pada kebijakan industri dan bisnisnya yang telah diputuskan pada tingkat korporasi.
KETUJUH kemana Tesla pergi, maka yang dia cari adalah mencari mitra strategis yang dapat diajak kerjasama investasi dan berbagi risiko bisnis. Tesla butuh batery, tapi tidak selalu harus membangun pabrik batery sendiri karena Tesla sesungguhnya juga sedang mencoba menerapkan best practice baru, yaitu bahwa globalization adalah localization. Paling tidak sedang berusaha membangun kompetensi intinya di industri mobil listrik.
Catatan lain juga perlu disampaikan bahwa sumbangan industri nasional terhadap PDB rendah boleh jadi karena kontribusi industri nasional dalam global value chain juga rendah. Munculnya kembali fenomena de-industrialisasi, mungkin penyebabnya karena rendahnya kontribusi industri domestik dalam global value chain.
Sumbangan industri terhadap PDB yang rendah, boleh jadi telah membuat investor global industry mikir – mikir untuk melakukan kerjasama industri karena mungkin ada masalah economic of scale. Sebagai pendapat akhir dapat disampaikan bahwa cara berpikir seluruh family tree industry harus dibangun di dalam negeri sebaiknya harus ditinggalkan. Artinya harus kita pilih-pilih sesuai dengan kompetensi inti yang akan dikembangkan untuk bisa masuk dalam ekosistem global value chain . Semoga analisis ini bermanfaat bagi para analis kebijakan investasi industri dan perdagangan.