Gemabisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dihimbau untuk mengembalikan pasar pasti (captive market) untuk beras Perum Bulog untuk mendorong agar Perum Bulog kembali bergairah melakukan pengadaan beras petani dan sekaligus membuat petani kembali bersemangat meningkatkan produksi padi, demikian diungkapkan pengamat perberasan yang juga pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Khudori dalam sebuah webinar bertema “Pengelolaan CPP dengan Mekanisme Synamic Stock” yang diselenggarakan oleh PATAKA hari ini, Selasa (30/8).
Khudori mengatakan penghapusan captive market beras Perum Bulog berupa program Raskin (Beras untuk Rakyat Miskin) yang kemudian diubah namanya menjadi Rastra (Bantuan Sosial Beras Sejahtera) telah menimbulkan dampak berantai yang sangat signifikan dalam dunia perberasan di tanah air.
Dampak langsung dari penghapusan captive market tersebut diantaranya penurunan penyaluran beras Perum Bulog ke masyarakat yang diikuti dengan menurunnya volume pengadaan beras petani oleh Perum Bulog. Akibatnya, petani pun mengalami hambatan dalam menjual beras ke pasar karena pembeli utamanya mengurangi pembelian. Hal ini telah mengakibatkan harga beras di tingkat petani menjadi lebih sering berada di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Meurut Khudori, sebelum program Raskin/Rastra dihapuskan yaitu pada periode 2014-2016 volume penyaluran beras oleh Bulog mencapai 3,3 juta ton per tahun (sekitar 2,9 juta ton diantaranya melalui program Raskin), sedangkan selama masa transisi penghapusan program Raskin/Rastra tahun 2017-2019 volume penyaluran beras oleh Bulog turun menjadi 1,9 juta ton/tahun dan pasca penghapusan program Raskin/Rastra pada tahun 2020-2021 volume penyaluran beras oleh Bulog menjadi tinggal 1,4 juta ton/tahun.
Sementara itu, sebelum program Raskin/Rastra dihapuskan, pada periode 2014-2016 volume pengadaan beras oleh Bulog dari dalam negeri mencapai 2,2 juta ton per tahun, sedangkan selama masa transisi penghapusan program Raskin/Rastra tahun 2017-2019 volume pengadaan beras oleh Bulog turun menjadi 1,4 juta ton/tahun dan pasca penghapusan program Raskin/Rastra pada tahun 2020-2021 volume pengadaan beras oleh Bulog menjadi tinggal 993.480 ton/tahun.
Penurunan volume pengadaan beras dalam negeri dan penyalurannya ke pasar domestik telah mengakibatkan harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani lebih sering berada di bawah HPP yang ditetapkan pemerintah. Ketika masih ada program Raskin/Rastra harga GKP di tingkat petani baru berada di bawah HPP ketika musim panen raya pada bulan Maret-April-Mei, pasca penghapusan program Raskin/Rastra harga GKP di tingkat petani hampir sepanjang tahun (setiap bulan) berada di bawah HPP dengan tingkat yang bervariasi.
Khudori mencontohkan pada bulan Maret 2018 harga rata-rata GKP di tingkat Petani berada 1,22% lebih rendah dari HPP-nya, pada bulan April 2018 lebih rendah 7,84% dari HPP-nya, sedangkan pada tahun 2020 hampir setiap bulan harga rata-rata GKP di tingkat petani lebih rendah dari HPP-nya, yaitu pada bulan April 2020 lebih rendah 17,69% dari HPP-nya, pada bulan Mei lebih rendah 17,89% dari HPP-nya. Pada tahun 2021 sepanjang tahun harga rata-rata GKP di tingkat petani lebih rendah dari HPP-nya dimana yang paling rendah terjadi pada bulan April 2021 yaitu lebih rendah 40,33% dari HPP-nya. Demikian juga pada tahu 2022 ini hingga bulan Juli 2022 harga GKP di tingkat petani selalu lebih rendah dari HPP-nya.
Walaupun pemerintah membuat program baru yaitu Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) sebagai pengganti program Operasi Pasar, namun volume penyaluran beras melalui program KPSH tersebut rata-rata hanya mencapai 739.254 ton/tahun, jauh di bawah volume penyaluran melalui program Raskin yang mencapai 2,9 juta ton/tahun atau rata-rata 240.00-250.000 ton/bulan.
Pemulihan kembali mekanisme captive market dalam penyaluran beras Bulog, tambah Khudori, sangat penting bagi operasionalisasi Cadangan Pangan Pemerintah melalui pelaksanaan Stok Dinamis (Dynamic Stock) yang akan dilaksanakan pemerintah di bawah koordinasi lembaga baru Badan Pangan Nasional (BAPANAS).
Sementara itu, Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Soetarto Alimoeso yang juga Dirut Bulog periode 2009-2014 mengatakan akibat lanjutan dari penurunan pengadaan beras Bulog dari petani selama ini adalah petani menjadi kurang bergairah memproduksi padi. Hal ini terlihat dengan terus menurunnya luas panen padi di tanah air yang diikuti dengan terus menurunnya surplus produksi beras nasional. Tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan jika dilihat dari sisi ketahanan pangan nasional.
Selain Khudori dan Soetarto Alimoeso, hadir pula sebagai pembicara dalam webinar tersebut Direktur Distrbusi dan Cadangan Pangan BAPANAS Rachmi Widiriani, Asisten Deputi Pangan Kemenko Perekonomian M. Saifulloh dan dosen IPB University Sam Herodian. (YS)