PERTAMA, komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) dari sisi pengeluaran adalah konsumsi, investasi, belanja pemerintah, ekspor dan impor. Mereka berada dalam satu kesatuan sistem ekonomi yang dikelola dengan menggunakan instrumen kebijakan ekonomi untuk menghasilkan output berupa barang dan jasa.
Pola hubungannya bersifat saling ketergantungan. Pertanyaannya kenapa diawali dengan konsumsi?.Jawabannya yang paling mendasar karena dengan konsumsi, orang akan bisa bertahan hidup. Indonesia beruntung, rumah tangga masyarakatnya tiap tahun dapat menyumbang rata-rata 56% terhadap PDB. Nilainya saat ini sekitar Rp 9.000 triliun.
KEDUA, jika sepertiganya disisihkan sebagai dana investasi, maka masyarakat mampu menyediakan ekuitas sebesar Rp 3.000 triliun sebagai dana investasi. Kita tinggal hitung berapa dana investasi yang dibutuhkan untuk membangun industri, pertanian, pertambangan (migas dan non migas), maritim,dan infrastruktur.
Jika sekarang sumbangan investasi sekitar 30% terhadap PDB, kira-kira Rp 5.000 triliun tiap tahun, dan angka ini kita asumsikan sebagai kebutuhan dana investasi, maka Rp 2.000 triliun kekurangannya dapat ditutup dengan dengan dana pinjaman. Dana investasi yang Rp 5.000 tersebut bisa dipakai untuk membangun industri, pertanian, pertambangan, maritim dan Infrastrukktur ( hard dan soft infrastructure) yang kemudian akan menghasilkan barang dan jasa yang bernilai tambah tinggi untuk diekspor dan sebagian untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Semua kegiatan transaksi di pasar dalam negeri dan pasar internasional harus menguntungkan agar bisa dihimpun kembali sebagai pendapatan nasional, yang sebagian bisa dipakai untuk konsumsi, sebagian lagi ditabung sebagai pembentuk dana investasi baru, dan sebagian lagi digunakan sebagai dana cadangan.
KETIGA, hal yang kita bahas ini adalah prinsip yang berlaku universal. Penyederhanaan berpikir semacam itu penulis utarakan bahwa sebagai ekosistem universal akan berjalan dengan baik jika diimbangi dengan penegakan prinsip tata kelola kebijakan yang baik.
Dunia menjadi tidak bisa berbuat banyak ketika utang ditempatkan sebagai king maker penggerak ekonomi. Akibatnya semua negara ketakutan karena menghadapi bed debt, dan gagal bayar. Padahal panduan umumnya memberikan diskursus bahwa utang sebaiknya digunakan sebagai pelengkap bukan sebagai yang utama.
Yang utama adalah ekuitas atau modal sendiri, sehingga lahir panduan debt equity ratio, misalnya 60/70% berupa ekuitas, dan 40/30% berupa utang. Tapi prakteknya, kaidah sederhana ini dilanggar habis – habiskan agar kapitalisme bisa hidup mewah, bisa mengusai dunia dan kekuasaan. Bed debt ataupun gagal bayar adalah harapan mereka.
Praktek ini melembaga dan para debitur harus pasrah menghadapi ancaman debt crises karena tak mampu bayar utang. Uang, modal, dan total control adalah platform politik ekonomi kapitalisme yang captive marketnya adalah negara-negara emerging economy, termasuk Indonesia. Mereka tidak pelit memberi status invesment grade dan credit rating yang baik – baik di sejumlah emerging economy karena negara-negara ini haus dana pembangunan dan investasi.
KEEMPAT, dengan perspektifnya masing – masing, kita bisa mengutarakan cara pandang secara obyektif maupun subyektif tentang apa yang seharusnya dan apa faktanya.Yang seharusnya adalah 60/70% adalah ekuitas, dan 40/30% adalah utang. Faktanya secara umum yang terjadi sebaliknya, yaitu 60/70 % berupa utang, bahkan ada yang 100% utang. Jika anda percaya dengan fakta ini maka ketika semua negara memasang RATIO utang terhadap PDB maksimum 60% dianggap wajar, ya boleh jadi faktor nya bersumber dari fakta itu.
KELIMA, mari kembali ke laptop bahwa sistem ekonomi yang bergerak normal menjadi sumber penghidupan bagi konsumen, investor,produsen,, dan para pedagang. Mereka semua adalah pelaku pasar. Pemerintah adalah penjaga pasar. Fungsinya sebagai regulator dan fasilitator adalah menjamin ekosistem agar mereka mampu menjadi pelaku pasar yang efisien dan produktif.
Cara kita menekan utang luar negeri pemerintah atau swasta adalah hanya satu, yaitu debt equity rationya harus dikelola dengan taat azas, tidak boleh overstretch sehingga jumlah utangnya lebih besar dari utangnya, atau 60/70% utang,, dan equitynya hanya 40/30%.
Penulis bisa memahami jika menteri keuangan Sri Mulyani pernah menggagas bahwa sistem keuangan inklusif harus dibesarkan volume dan nilainya untuk mengatasi masalah klasik, yaitu saving and invesment gap. Atau jika menggunakan alur fikir kebijakan fiskal dimaksudkan untuk menekan defisit keseimbangan primer.
KEENAM, upaya ini berarti mendorong mobilisasi dana masyarakat sebagai sumber dana investasi di dalam negeri. Saving and invesment gap, selama ini selalu ditutup dengan utang. Ke depan, gap tersebut harus ditutup dengan dana masyarakat di dalam negeri. Berarti bahwa sebagian pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga yang mencapai rata-rata 56% terhadap PDB, saat ini sekitar Rp 9.000 triliun sebagian digeser menjadi dana investasi langsung untuk memproduksi barang dan jasa di dalam negeri.
Dana yang dipakai untuk konsumsi dapat menjadi obyek PPN, dan yang ditempatkan sebagai dana investasi harus bebas PPN. Mari kita tata ulang policy frameworknya secara lengkap dalam satu mata rantai untuk mewujudkan pola hubungan antara komponen pembentuk PDB. Sehingga pengerahan sumber daya domestik untuk menggerakkan konsumsi, investasi, produksi, ekspor tidak lagi sepenuhnya bergantung pada sumber daya eksternal yang sekarang ini biayanya semakin mahal. Sederhana bukan? Gitu saja kok repot.