Gemabisnis.com, JAKARTA – Perang Rusia di Ukraina tidak akan menimbulkan dampak yang seragam di kawasan Asia Tenggara, kata Anthony Nafte dari CLSA.
Banyak negara di kawasan Asia Tenggara merupakan negara net importir minyak bumi dan diperkirakan akan mengalami banyak tekanan, kata Nafte kepada CNBC dalam acara ‘Street Signs Asia’ hari Rabu. Dia mencatat kenaikan harga komoditi akhir-akhir ini lebih tinggi dari yang diantisipasi dan berpotensi akan tetap bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama.
Harga-harga komoditi telah meningkat sejak Rusia menginvasi Ukraina dengan harga minyak bumi menyentuh level tertinggi sejak tahun 2008. Rusia merupakan salah satu negara pemasok utama minyak bumi sedangkan Ukraina merupakan salah satu eksportir komoditi lainnya seperti gandum dan jagung.
Indonesia sebetulnya masih bisa berbuat yang terbaik dalam situasi dewasa ini karena ekonominya yang bertumpu pada komoditi, kata Nafte yang merupakan ekonom senior di CLSA..
“Lebih dari 50% dari ekspor Indonesia berasal dari komoditas dan sekarang and mendapatkan posisi dimana harga komoditi anda akan tetap bertahan tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama,” kata dia.
Sebagai contoh, tambah dia, Rusia yang saat ini menempati posisi sebagai pemasok kedua terbesar batubara ke China dan ganguan ekspor Rusia akan mendorong China untuk beralih ke Indonesia untuk mengisi kekosongan pasokan.
“Indonesia akan mendapatkan keuntungan dari dampak kenaikan harga dan kenaikan volume,” kata Nafte.
Ekonomi Thailand di sisi lain, akan berada di sisi lain yang berlawanan dengan Indonesia, kata dia.
Kondisi saat ini memberikan dampak yang tidak menguntungkan sepanjang tahun ini bagi ekspor dan pariwisata yang merupakan pendorong ekonomi terbesar bagi Thailand, kata sang ekonom.
“Gangguan terhadap perdagangan global ini akan berdampak negatif bagi ekspor, sedangkan pemulihan pariwisata saya kira terlalu dini jika terjadi pada tahun 2022 ini. Masih banyak persoalan yang yang harus diatasi,” tuturnya.
Neraca pembayaran Thailand juga menghadapi kerentanan paling besar diantara negara-negara Asia Tenggara lainnya yang sedang berkembang, tambahnya.
“Thailand kini menghadapi defisit neraca berjalan yang besar tahun lalu akibat hilangnya pendapatan dari pariwisata dan nilai tukar mata uangnya juga tampak sangat rentan,” kata Nafte. (YS)