PERTAMA, ancaman dan tantangan pembangunan ekonomi telah sedemikian kompleks dihadapi oleh hampir semua negara di dunia. Jika aktivitas ekonomi dianggap menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan, maka isu globalnya telah sampai pada fase bagaimana penyelamatan bumi harus dilakukan. Penguasaan sain dan teknologi diharapkan dapat membantu aktivitas ekonomi menghadapi kerusakan lingkungan yang kini sudah menimbulkan masalah perubahan iklim dan pemanasan global.
KEDUA, aktivitas ekonomi yang selalu didorong sebagai mesin pertumbuhan, kini menghadapi trade off. Hal yang dapat dianggap sebagai trade off adalah bahwa aktivitas ekonomi harus berkontribusi terhadap upaya penyelamatan bumi. Berarti bisa dikatakan bahwa kegiatan dan proses ekonomi harus tetap berjalan dengan syarat harus berkontribusi terhadap pemulihan lingkungan yang rusak. Syarat ini diminta karena ada tambahan beban liabilitas baru yaitu penyelamatan bumi. Yang berarti pula harus ada spending yang harus disisihkan sebagai biaya,seperti halnya beban utang global yang membengkak pasca pandemi COVID-19. Beban utang global, berdasarkan data IIF tahun 2021 mencapai lebih 355% terhadap PDB global.. Beban kerusakan lingkungan global yang telah menimbulkan perubahan iklim dan pemanasan global boleh jadi tidak lebih sedikit dari ratio utang global terhadap PDB tersebut.
KETIGA, apa yang dapat dicatat dari situasi itu?. Satu hal nampak bahwa antara aset dan liabilities sudah sangar tidak seimbang. PDB global yang kita catat sebagai pendapatan global sekitar US$ 100 triliun tidak akan cukup untuk menutup utang global yang mencapai sekitar 355% terhadap PDB global. Makin lebar ketimpangannya ketika faktor utang kepada lingkungan diperhitungkan sebagai liability yang harus dibayar. Pertanyaannya adalah masihkah ada harapan dunia akan menjadi lebih baik. Sebagai doa dan harapan tentu masih ada ruang untuk melunasi dua kewajiban besar, yaitu masalah beban utang, dan masalah penyelamatan bumi. Jika kita bicaranya dari aspek aset dan liabilitas seperti itu, maka jawabannya mudah saja, yaitu perbesar keseluruhan nilai aset agar bisa membayar kewajiban. Disini peran sain dan teknologi akan bisa membantu, terutama dalam hubungannya dengan upaya peningkatan efisiensi, produktifitas, dan inovasi, serta sejumlah teknologi yang mampu memberi kontribusi besar terhadap upaya mengurangi kerusakan lingkungan yang sudah semakin parah. Kita tahu bahwa utang menyebabkan beban berat bagi negara negara yang berhutang. IIF mengatakan bahwa pertumbuhan utang global mencapai rata-rata 12,3% selama pandemi COVID-19.Beban berat itu dirasakan pada perjuangan suatu negara untuk menghindari kegagalan pengangsuran. Terkait dengan beban utang terhadap upaya penyelamatan bumi, sebenarnya ada keengganan membayar untuk memperbaikinya karena biayanya besar.
KEEMPAT,begitu beratnya beban output ekonomi global yang ternyata harus memikul beban kewajiban yang jauh lebih besar dari output ekonomi yang telah dihasilkan . Berapa lama waktu yang diperlukan untuk memompa output ekonomi global agar bisa mencapai angka capaian 2 kali lipat atau lebih dari capaian saat ini, yaitu sekitar USD 100 triliun. Dan mengapa harus bisa tumbuh tinggi? Mudah saja jawabnya, yaitu karena beban kewajiban yang harus dibayar jauh lebih besar. Mungkinkah
kekayaan sebesar itu dilakukan valuasi agar nilanya naik. Tentu bisa saja dilakukan karena metodenya sudah ada. Pendek kata, semua negara dituntut untuk melakukan upaya bersama agar dapat menyelesaikan segala kewajibannya tersebut dengan risiko gagal bayar serendah mungkin Semua negara harus bertindak secara kongkrit untuk penyelamatan bumi. Tidak dibenarkan jika ada yang mencoba menjadi parasit dari upaya yang dilakukan oleh negara lain, sehingga usaha bersama harus dilakukan oleh semua negara. Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan global yang monumental dibuat untuk menghadapi perubahan iklim. Kontribusi negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determind Contribution 2020-2030. Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dengan target : 1) pemangkasan 29% emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 dengan usaha sendiri. 2) atau penurunan 41% bila mendapat dukungan internasional. 3) pemerintah telah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).Berdasarkan update report tahu 2018 yang lalu, Indonesia butuh dana sebesar US$ 247,2 miliar atau setara Rp 3.461 triliun untuk memenuhi perjanjian Paris. Setiap tahun paling tidak diperlukan dana sebesar Rp 266,2 triliun. Angka ini bisa berubah sesuai kemampuan keuangan negara.
KELIMA, situasi global space sudah sebegitu rupa. Bagaimanapun, aktivitas ekonomi harus tetap berjalan sepanjang kehidupan di muka bumi masih membutuhkan barang dan jasa untuk menopang kehidupan umat manusia. Sain dan teknologi menyatu dalam seluruh rangkaian kegiatan dan proses ekonomi yang siklusnya harus terus berputar untuk menghasilkan pendapatan nasional Kerangka kerja kebijakannya berarti harus terintegrasi antara kebijakan ekonomi dengan kebijakan sain dan teknologi serta kebijakan penyelamatan bumi yang rusak lingkungannya, dan kini menimbulkan masalah perubahan iklim dan pemanasan global. Pada level kegiatan dan proses, maka kebijakan, investasi, industri dan perdagsngan pada akhirnya juga mengemban misi serupa untuk berkontribusi terhadap upaya penyelamatan bumi dan mengurangi beban utang. Integrasi di tingkat policy menjadi keniscayaan karena kondisi di lapangan membutuhkannya.Kebijakan ekonomi ke depan berarti harus berjalan seiring dengan kebijakan di bidang sain dan teknologi dan pelestarian lingkungan hidup.. Sistem ekonomi pasar tetap harus dikelola yang output, outcome dan dampaknya harus memberikan sentimen positif terhadap upaya perbaikan lingkungan hidup yang ekosistemnya sudah rusak. Barang dan jasa yang beredar di pasar manapun di dunia berarti harus eco-friendly. Ketika bicara tentang konsep keseimbangan maka titik keseimbanganb baru itu adalah terbentuknys ekosistem yang solid bersifat timbal balik antara ekonomi, iptek, dan lingkungan hidup yang saling memberikan manfaat.