Gemabisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Filipina mempertimbangkan pengenaan pajak atas ekspor bijih nikel yang merupakan salah satu opsi untuk mendorong perusahaan tambang nikel di negara pemasok bijih nikel terbesar kedua di dunia itu melakukan investasi di industri pengolahan dari pada hanya mengapalkan bahan mentah. Langkah tersebut sudah dilakukan Indonesia yang merupakan pemasok nikel terbesar di dunia dan berhasil.
“Kami ingin beralih dari hanya sekedar menjadi bagian dari rantai pasok tapi kami ingin menjadi bagian dari rantai nilai. Tanpa fasilitas pemoresan biji mineral, kitya hanya akan menjadi negara vendor. Dan kami tidak ingin menjadi negara vendor,” kata Sekretaris Lingkungan dan Sumber Daya Alam Antonia Yulo Loyzaga yang juga menangani sektor pertambangan dalam sebuah wawancara dengan www.mining.com di kantornya, Senin (30/1).
Pemerintah Presiden Ferdinand Marcos Jr. berupaya mendorong sektor pertambangan untuk semakin memacu perekonomian negara tersebut yang berhasil mencatat pertumbuhan paling tinggi dalam hampir lima dekade selama tahun lalu. Dengan tingkat cadangan nikel yang baru tertambang sebesar kurang dari 3% dari total 9 juta ha yang sudah teridentifikasi, Filipina memiliki potensi tambang nikel yang sangat besar. “Kami terbuka untuk bisnis,” tegasnya.
“Terdapat sejumlah langkah termasuk pajak ekspor progresif bijih nikel untuk mendorong investasi di industri pengolahan disini,” kata Loyzaga seraya menambahkan bahwa Biro Pertambangan dan Geology sebelumnya telah menyarankan agar Filipina mengambil langkah seperti Indonesia.
Indonesia dan Filipina adalah dua negara pemasok nikel terbesar dunia dan pemasok terbesar bagi pasar nikel terbesar China. Nikel banyak digunakan dalam pembuatan stainless steel dan merupakan komponen kunci dalam pembuatan baterai untuk mobil listrik. Namun Indonesia melarang ekspor bijih nikel pada tahun 2020 dan hanya memperbolehkan pengapalan hasil olahannya (logam nikel). Hal itu telah mendongkrak nilai ekspor nikel Indonesia dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam kurun waktu dua tahun seiring dengan masuknya perusahaan-perusahaan China untuk membangun failitas pengolahan dan peleburan nikel di sana.
Terinspirasi oleh keberhasilan Indonesia, Menteri Perdagangan Alfredo Pascual mengatakan lembaganya kini sedang emmpertimbangkan untuk menerapkan pajak ekspor atas ekspor nikel mentah atau sama sekali melarang pengapalan bijih nikel. Kendati mengakui adanya keprihatinan mengenai nasionalisme sumberdaya alam, Loyzaga mengatakan Filipina membutuhkan keseimbangan langkah dimana pemerintah Filipina akan membuka sektor tersebut dan meyakinkan bahwa Filipina tidak akan kehabisan sumberdaya.
Filipina kini memiliki 55 tambang mineral logam dan tujuh pabrik pengolahan mineral, termasuk dua fasilitas pengolahan nikel yang dioperasikan oleh Nickel Asia Corp yang sebagian sahamnya dimiliki perusahaan Jepang, Sumitomo Metal Mining Co. Loyzaga mengatakan targetnya adalah untuk menambah tiga lagi fasilitas pengolahan mineral selama masa jabatannya.
Menurut data terakhir yang dikeluarkan pemerintah, produksi nikel Filipina anjlok 17% menjadi 22,5 juta dry metric ton pada Januari-September 2022. Namun Loyzaga memperkirakan pengapalan ekspor akan meningkat tahun ini di tengah kuatnya permintaan nikel di pasar dunia.
Setelah terjadi pembenahan usaha pertambangan pada masa awal pemerintahannya dan menutup sebagian besar pertambangan di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte, (pendahulu Marcos) yang pernah mengatakan bahwa Filipina bisa bertahan hidup tanpa industri pertambangan, akhirnya memperbolehkan dibukanya pertambangan baru dan mencabut larangan pertambangan terbuka (open-pit mining) pada tahun 2021.
“Sejauh ini kami telah melakukan pemeriksaan kepada mereka dan kami menemukan bahwa mereka menjalankan usaha pertambangan dengan bertanggung jawab,” tutur Loyzaga menggambar bagaimana perusahaan pertambangan beroperasi kini.
Pemerintah Filipina, lanjut Loyzaga, kini sedang melakukan pembicaraan dengan beberapa perusahaan pertambangan skala besar dari Kanada dan Australia yang tertarik untuk menjalankan bisnis pertambangan di negara tersebut. Namun demikian dia tidak bersedia memberikan keterangan lebih jauh mengenai hal tersebut. Pemerintah juga kini terus mendorong beroperasinya sejumlah proyek pertambangan yang sempat terhenti beberapa tahun akibat perubahan kebijakan pertambangan sebelumnya seperti pertambangan Tampakan di bagian selatan Pulau Mindanao.
Pertambangan tersebut merupakan salah satu sumber mineral terbesar di Asia Tenggara yang hingga kini belum dieksploitasi yang diperkirakan dapat menghasilkan 375.000 ton tembaga dan 360.000 ons emas dalam bentuk konsentrat setiap tahunnya selama periode 17 tahun. Proyek pertambangan tersebut terkatung-katung akibat kebijakan larangan pertambangan terbuka yang mendorong Glencore Plc menghentikan proyek tersebut pada tahun 2015.
Loyzaga dijadwalkan bertemu para pejabat lokal di Mindanao minggu ini dan diharapkan dapat mengatasi sejumlah hambatan yang dihadapai dalam pengembangan proyek Tampakan. “Kami harus bergerak maju,” tegas Loyzaga seperti dikutip www.mining.com. (YS)