Pandemi COVID-19 telah membuat ekonomi global menjadi lesu. Kini seiring dengan melandainya peredaran virus itu, negara-negara di dunia berusaha memulihkan kembali perekonomiannya. Pemulihan ekonomi tentu membutuhkan banyak faktor. Di antaranya adalah faktor Income, Saving and Investment. Ada beberapa alasan mengapa ketiga faktor itu dibutuhkan.
PERTAMA, income, saving, and invesment adalah isu klasik dalam pembangunan ekonomi. Kita sebut saja sebagai faktor modal dasar pembangunan. Pendapatan menjadi penentu utama yang menentukan untuk menyelenggarakan saving and invesment. Tanpa saving, nyaris tak mungkin bisa menyelenggarakan investasi. Apakah mutlak seperti itu kondisinya? Tidak juga karena investasi tetap dapat dilakukan dengan cara menarik pinjaman atau mengundang modal asing.
KEDUA, jika itu premisnya, maka berarti bahwa dana pinjaman dan modal asing menjadi faktor utama penggerak ekonomi domestik. Paling tidak Debt Equity Rationya (DER) akan didominasi oleh beban utang yang begitu besar dibandingkan dengan ekuitasnya. Bahkan dalam praktek, faktor debtnya bisa mencapai 100%. Dampak dari situasi itu, maka bisa terjadi tiga kondisi, yakni. : 1) pendapatan yang berhasil dihimpun sebagian besar akan dicadangkan untuk bisa membayar utang dan liabilitas lainnya 2).potensial dapat menimbulkan ancaman debt trap atau gagal bayar, sehingga dapat muncul ancaman besar terjadinya debt crisis. 3) jika terjadi gagal bayar, maka secara potensial aset nasional bisa berubah menjadi aset global.
KETIGA, situasi tersebut kemudian membuat para pengelola kebijakan ekonomi hanya punya pilihan untuk mengambil posisi Invesment Grade. Tujuannya agar negara mempunyai status kemampuan bayar yang tinggi, dengan risiko gagal bayar yang rendah.
Income dapat dihasilkan dari siklus bisnis tetapi di depan mata sudah ditunggu berbagai liabilitas yang harus dibayar. Sebagian besar liabilitas tersebut adalah melunasi pokok pinjaman dan bunga. Siklus ini akan terus berulang, dan para kreditor dan investor hanya menunggu kerja lembaga pemeringkat utang bereputasi internasional, apakah negara debitur masih bisa mempertahankan status Invesment Grade pada periode tertentu.
KEEMPAT, paradigma pembangunan ekonomi yang akan kita tuju adalah membangun kemandirian. Panduan konstitusionalnya sudah jelas diatur dalam pasal 33 UUD 1945. Kemandirian berarti mengurangi peran modal asing.Peran mereka memang harus dikontrol. Salah satunya adalah dengan membatasi transfer dan repatriasi valas yang selama ini diliberalisasi dalam UU penanaman modal nomor 25.tahun 2007. Transfer dan repatriasi tersebut dapat dilakukan oleh pena penanam modal asing maupun dalam negeri.
KELIMA, saat ini kita sudah mulai membahas tentang konsep ekonomi inklusif dan sistem keuangan inklusi. Di sektor industri, kita mulai mengarah pada penerapan kebijakan substitusi impor, hilirisasi industri, Arahnya sudah benar dalam rangka mewujudkan kemandirian. Dalam hubungan ini,maka kita berarti dituntut agar siklus bisnis yang menghasilkan national income, hasilnya sebagian harus disisihkan untuk keperluan saving and invesment.
Belajar dari negara lain yang kaya SDA, sebagian DHEnya disisihkan sebagai dana Sovereign Wealth Fund ( SWF’s). Dana yang dikelolanya diinvestasikan pada obligasi negara yang diterbitkan negara lain, saham, dan investasi langsung. Dalam konteks Indonesia, investasi langsung ini bisa digunakan untuk membangun industri, sektor pangan dan energi, sektor maritim, dan infrastruktur pendukung.
KEENAM, jangan terlambat menetapkan kebijakan pengelolaan income, saving and investment. Jangan sampai kita terjebak pada fenomena dutch desease gara – gara kita merasa nyaman menikmati durian runtuh dari hasil ekspor SDA. Fenomena yang terjadi adalah meningkatnya DHE SDA. Pada saat terjadi peningkatan devisa, mata uang lokal nilai tukarnnya menguat.
Tanpa disadari bahwa meningkatnya nilai tukar mata uang lokal membuat biaya impor menjadi mahal. Mahalnya biaya impor, akan menekan sektor manufaktur negara tersebut yang tergantung bahan baku impor. Mundurnya sektor manufaktur akan menekan pertumbuhan ekonomi.
KETUJUH, kita harus bisa keluar dari jebakan Dutch desease syndrome karena kita sudah berniat menjadi negara industri. Penyisihan sebagian DHE SDA harus dilakukan untuk menjadi dana investasi yang tujuan penggunaannya pasti memerlukan kebijakan pemerintah.
Kita belum terlambat untuk membangun kemandirian ekonomi dan mengurangi ketergantungan impor dan modal asing. Arahnya sudah benar dan tepat. Yang kita butuhkan adalah tatanan regulasi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan yang sudah ditetapkan
KEDELAPAN, membicarakan peran SWF’s selalu menarik karena dapat menjadi solusi pengelolaan investasi pemerintah yang selama ini bergantung pada APBN yang dananya tidak akan pernah cukup karena ruang fiskal yang sempit.
Ada beberapa contoh sejumlah negara yang mengelola aset pemerintah melalui SWF’s, yaitu Norway Goverment Pension Fund Global Norwegia sebesar US$ 1,1 triliun. China Invesment Corporation, sebesar US$ 1 triliun. Abu Dhabi Invesment Authority UAE, sebesar US$ 579 miliar. Hongkong Monetary Authority Invesment Portofolio, sebesar US$ 576 miliar. Angka-angka tersebut boleh jadi sudah berubah.
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi spasial yang kini tetap timpang maka penulis berpendapat bahwa 6 koridor ekonomi Indonesia sudah waktunya perlu membentuk Papua Maluku Invesment Fund, Sulawesi Invesment Fund, Kalimantan Invesment Fund, Sumatera Invesment Fund, Bali Nusatenggara invesment Fund, dan Jawa Invesment Fund.
Kini saat yang tepat bicara tentang income, saving and invesment karena pemulihan ekonomi memerlukan pertumbuhan investasi.