Gemabisnis.com, JAKARTA – Untuk mendukung pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) bumbu masak, terutama untuk komoditas lada, Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (Ditjen IKMA) Kementerian Perindustrian terus memfasilitasi para pelaku IKM dalam hal peningkatan teknologi dan kapasitas produksi.
Direktur Jenderal IKMA, Kemenperin, Reni Yanita, di Jakarta, Senin (25/9) mengatakan upaya pengembangan IKM lada tersebut dilakukan melalui program restrukturisasi mesin dan/atau peralatan, peningkatan kualitas kemasan produk, peningkatan sistem keamanan pangan melalui sertifikasi HACCP, peningkatan nilai tambah komoditas rempah di sentra penghasil, serta fasilitasi promosi melalui pameran untuk perluasan pasar.
“Pembinaan dari Ditjen IKMA terus dilakukan dari hulu ke hilir. Kami tidak hanya memperhatikan dari sisi tempat produksinya, tetapi juga sarana dan prasarana, kualitas produk, manajemen dan standar produk ekspor, hingga strategi promosinya,” tegas Reni.
Ditjen IKMA juga terus menggenjot peningkatan nilai tambah komoditas rempah di sentra-sentra penghasil rempah, yaitu melalui revitalisasi sentra dengan Dana Alokasi Khusus, antara lain pengembangan Sentra IKM Olahan Lada di Kabupaten Bangka dan Kabupaten Sambas melalui DAK tahun anggaran 2022.
Sentra Lada Kabupaten Bangka berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri Jelitik dengan luas 1200 m2. Adapun pembangunan revitalisasi gedung sentra dilakukan dengan menggunakan anggaran DAK fisik, termasuk untuk pengadaan mesin dan peralatan pendukung.
Tak hanya di dua kabupaten tersebut, Ditjen IKMA juga turut mengembangkan Sentra IKM Lada Kabupaten Lampung Timur sejak tahun lalu melalui bimtek produksi dan sistem keamanan pangan, serta fasilitasi bantuan mesin dan peralatan. Sentra IKM Lada Kabupaten Lampung Timur juga telah ditetapkan sebagai Desa Devisa yang merupakan hasil kerja sama antara Ditjen IKMA dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor Indonesia (Indonesia Eximbank).
“Dalam pola pengembangan sentra IKM hilirisasi lada melalui DAK, Ditjen IKMA memfasilitasi pembentukan ekosistem yang melibatkan petani lada, industri pengolahan, serta eksportir untuk mampu menghasilkan olahan lada yang berkualitas dan siap dipasarkan ke industri besar, retail premium, serta ke sektor hotel, restoran, dan kafe atau sektor horeka,” terang Reni.
Reni menambahkan, di dalam ekosistem ini, Ditjen IKMA menjalankan sejumlah program untuk menggenjot daya saing hilirisasi industri, seperti branding, pendampingan manajemen usaha, pendampingan sistem mutu dan teknologi produksi, kemasan, serta peningkatan traceability produk akhir.
Sementara itu, Direktur IKM Pangan, Furnitur, dan Bahan Bangunan Yedi Sabaryadi mengungkapkan, salah satu IKM penghasil olahan rempah, termasuk lada, menjadi bumbu masak dan racikan, yang telah mendapatkan fasilitasi Ditjen IKMA untuk pengembangan produk dan usahanya yaitu CV Samara Micron Saleronell. Perusahaan asal Bandung yang telah 55 tahun memproduksi bumbu rempah dan bumbu racik masakan ini menerima bantuan reimbursement mesin dan/atau peralatan dari program restrukturisasi Ditjen IKMA.
Samara Micron juga mendapatkan pendampingan sistem keamanan pangan HACCP, serta difasilitasi untuk berpartisipasi dalam Pameran Trade Expo Indonesia 2022 dan Pameran Adirasa Nusantara 2022. “Partisipasi IKM dalam pameran berskala nasional dan internasional tersebut bertujuan untuk mendongkrak potensi ekspor komoditas bumbu dan rempah kita,” kata Yedi.
Program pengembangan IKM rempah Ditjen IKMA Kemenperin ini sejalan dengan program kolaboratif pemerintah, Indonesia Spice Up The World (ISUTW), yang bertujuan mengangkat nilai ekspor kekayaan rempah, bumbu masakan, sekaligus mempromosikan budaya dan pariwisata Indonesia. Program ini adalah bentuk gastropdiplomasi Indonesia, dengan menargetkan peningkatan nilai ekspor rempah dan bumbu sebesar US$2 miliar, dan mengaktivasi sebanyak 4.000 restoran Indonesia di berbagai negara pada tahun 2024.
Rempah-rempah Indonesia telah menjadi komoditas perdagangan internasional, yang sekaligus membuat Indonesia diperhitungkan sebagai jalur rempah dunia. Rempah segar dari berbagai wilayah Nusantara, seperti lada, pala, cengkeh, jahe, kayu manis, dan vanili banyak diminati konsumen mancanegara dan tren nilai ekspornya terus meningkat.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) bahkan mencatat Indonesia sebagai salah satu dari lima negara penghasil lada terbesar di dunia. Indonesia pernah menempati urutan kedua negara produsen lada terbesar setelah Vietnam pada 2016.
“Kejayaan perdagangan rempah-rempah Indonesia, terutama untuk komoditas lada perlu terus dipertahankan dan semakin dikembangkan dengan mengusung konsep hilirisasi industri seperti yang digaungkan oleh Bapak Presiden Joko Widodo. Industri kecil dan menengah berperan penting untuk menghasilkan produk untuk meningkatkan nilai tambah lada,” kata.
Reni mengungkapkan, pengembangan produk olahan lada di berbagai daerah penghasil, seperti di Bangka dan Lampung Timur, menghadapi berbagai tantangan. Misalnya ketersediaan bahan baku yang fluktuatif, teknologi dan permesinan yang terbatas dan kurang memenuhi standar, serta SDM yang kurang mumpuni. Selain itu, masih banyak bangunan, peralatan, serta sanitasi di tempat usaha IKM pengolahan lada yang kurang menerapkan standardisasi dan sistem keamanan pangan.
“Hal tersebut menyebabkan spesifikasi produk akhir tidak konsisten. Oleh sebab itu, diperlukan pedoman yang mengatur tata cara pengolahan agar dapat menghasilkan produk yang aman, bermutu, dan layak konsumsi sesuai standar Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP),” paparnya.
Dirjen IKMA mengemukakan, harga jual lada yang tak menentu membuat nilai ekspor lada terkadang tercatat menurun. “Harga jual fluktuatif sehingga walaupun volume ekspor meningkat, dari sisi nilai masih mengalami penurunan. Penting untuk melakukan hilirisasi demi meningkatkan nilai tambah lada. Misal diekspor dalam bentuk bumbu racik,” pungkasnya. (YS)