Neraca barang dan jasa menjadi hal penting bagi suatu negara sebagai alat untuk mengukur kondisi ekonomi yang terkait dengan perdagangan internasional dan sebagai alat untuk melihat gambaran pengaruh transaksi luar negeri terhadap pendapatan nasional negara yang bersangkutan. Indonesia juga harus memiliki neraca barang dan jasa yang akurat. Mengapa neraca barang dan jasa begitu penting bagi Indonesia?
PERTAMA, barang dan jasa Indonesia ada di dunia, serta barang dan jasa dari dunia ada di Indonesia inilah hukum besi yang berlaku dalam transaksi global. Arusnya deras dan mengalir hilir mudik dengan leluasa yang tiap tahun dicatat dalam neraca transaksi berjalan ( current account). Sistem transaksinya ada yang bersifat FOB ( Free On Board) C&F(Cost & Freight) atau CIF ( Cost Insurance and Freight). Transaksinya sebagian besar menggunakan mata uang US$.
KEDUA, kita memilki banyak pelaku ekonomi yang bergerak di bidang produksi yang outputnya berupa barang dan jasa. Supaya dapat duit banyak dalam mata uang rupiah atau US$, maka nilai transaksi barang dan jasa yang diperoleh harus surplus.
Jika defisit, maka kita rugi karena US$ yang diperoleh dari hasil ekspor akan ludes untuk membiayai impor. Dan jika kita butuh US$ dalam jumlah besar, maka harus ngutang atau undang investasi baik portofolio atau FDI. Masuknya modal asing ini akan memperkuat posisi devisa yang kita peroleh, sehingga dapat membuat posisi current account menjadi surplus atau paling tidak aman.
Secara teoritis kita membutuhkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang kita peroleh jauh lebih besar dari devisa yang masuk melalui modal asing tersebut karena kita yang empunya DHE tersebut. Sementara itu, modal asing tetap milik mereka para pemodal asing.
Tatkala mudik mereka bisa bawa modalnya, bunganya, devidennya, dan keuntungannya. Saat mudik, rupiah biasanya lemah tak berdaya, nilai tukarnya terdepresiasi. Karena itu, ekosistem saving, investment, and export harus kita bangun. DHE dapat menjadi sumber dana pembangunan dan investasi di dalam negeri,utamanya pembiayaan hilirisasi industri.
KETIGA, tantangan ekonomi Indonesia yang sudah masuk dalam 10 penghasil PDB terbesar di dunia saat ini sebesar US$ 1,2 triliun adalah mengejar agar cadangan devisa Indonesia minimal juga bisa masuk 10 besar di dunia yang hingga saat ini hanya berada pada sekitar US$ 130 miliar -US$ 140 miliar.
Ekspor Indonesia rata-rata pada kisaran 25% terhadap PDB, nilai impornya juga berada pada kisaran yang sama. Pertumbuhan ekspor memang tinggi, namun pertumbuhan impor juga lebih tinggi, sehingga DHE yang dihasilkan habis terpakai untuk membiayai impor barang konsumsi ( sekitar 10% dari total impor), bahan baku penolong ( sekitar 70% dari total impor), dan barang modal ( sekitar 20% dari total impor).
Ekspor Indonesia umumnya FOB price sehingga DHEnya masih harus dipotong lagi biaya pengapalan dan asuransi yang sekarang ini semakin mahal akibat perang Rusia dan Ukraina, dan ketegangan di laut china selatan, dan selat Taiwan.
KEEMPAT, strategi Indonesia agar bisa mengambil posisi penting di global space adalah melakukan lompatan besar dalam meraih tempat dalam global supply chain dan global value chain dalam jumlah besar sehingga investasi dan ekspor Indonesia bisa mencapai minimal 40% dan 50% terhadap PDB. Tanpa pernah bisa mencapai titik optimal dan maksimal, maka fundamental ekonomi nasional tidak pernah kuat.
Secara sederhana kita bisa membuat satu posisi perbandingan agar current account sehat. Jika impor barang konsumsi rata-rata 10%.maka ekspor barang pada kelompok yang sama harus lebih besar 10%dari nilai impornya . Begitu pula jika impor bahan baku /penolong rata-rata 70%,dan barang modal rata-rata 20% dari total impor, maka ekspornya pada kelompok barang tersebut harus lebih tinggi dari 70% dan 20% Ini sekedar pendekatan pragmatis apple to apple untuk memahami konsep sederhana dalam praktek transaksi global.
Pada sektor jasa tentu bisa dibuat dengan formula semacam itu. Karena itu, kita lebih membutuhkan potret yang utuh dengan menampilkan Neraca Transaksi Berjalan ketimbang potret setengah badan, yaitu Neraca Perdagangan saja karena lapangan usaha yang tumbuh di negeri ini secara statistik ada yang bergerak disektor produksi penghasil barang dan ada pula penghasil jasa – jasa.
KELIMA, jadi penggunaan modal, teknologi, dan support public policy yang kita butuhkan adalah agar Indonesia menempati posisi penting dalam global supply chain dan global value chain yang akan memberikan kontribusi besar tidak hanya pada pembentukan PDB, tetapi lebih dari itu adalah dalam menghasilkan surplus pada neraca transaksi berjalan setiap tahun.
Dalam proses makro dan mikro ekonomi, neraca adalah jejak rekam kinerja ekonomi yang dapat dibaca dan difahami oleh siapa saja. Kita kenal ada berbagai neraca dalam sistem ekonomi, yaitu neraca dagang, neraca transaksi berjalan, neraca pembayaran, dan neraca keuangan. Jika semua neraca tersebut baik dan selalu surplus, maka ini pertanda bahwa kinerja ekonomi adalah baik. Bila sebaliknya, maka ini pertanda bahwa kinerja ekonomi tidak baik – baik saja.
Ekonomi Amerika Serikat tertekan oleh kekuatan ekonomi China karena tampilan neraca tidak baik. Hal yang paling nampak adalah terjadi defisit ganda pada neraca dagang, neraca pembayaran dan APBNnya berkelanjutan. Akibat dari itu, sektor manufaktur AS langsung memburuk kinerjanya, dan berdampak pada penurunan kinerja emiten perusahaan industri yang melantai di bursa wall street. Neraca pada dasarnya adalah rapor, jika merah pasti jelek, dan jika biru semua pertanda baik. Sebab itu, penulis selalu mencoba memahami kinerja ekonomi dari neraca – neraca tersebut, baik yang masih berstatus unaudited maupun yang sudah audited.
KEENAM, Indonesia dengan PDB yang telah masuk dalam 10 besar di dunia pada tahun 2021 versi IMF harus bisa menjelmakan diri menjadi penghasil DHE yang besar juga di dunia sebagai sumber pendapatan maupun dapat difungsikan sebagai sumber dana pembangunan dan investasi.
PDB yang besar tanpa sumbangan DHE yang besar hanya akan menjadi beban karena biaya untuk pembangunan dan investasi harus bergantung pada sumber pembiayaan eksternal terus menerus sehingga menjadi ancaman serius bagi kesehatan Neraca Pembayaran Indonesia.
Surplus neraca transaksi berjalan (NTB) secara berkelanjutan adalah harapan kita. Ketika terjadi defisit,lampu kuning Bank Sentral akan langsung menyala. Sejak tahun 2011 dalam kurun panjang hingga tahun 2019 NTB mengalami defisit. Kita tahu bahwa NTB menjadi fondasi yang sangat penting bagi stabilitas nilai tukar mata uang. Sebagai contoh kurs rupiah terhadap US$ tahun 2011 adalah Rp9.000,-.Pada mei 2019, kursnya naik menjadi Rp 14.445 per US$ ( naik 60,6%) akibat defisit NTB yang panjang.
Satu diskursus dari moneteris, kita diberikan catatan penting bahwa Current Account Deficit ( CAD) adalah fenomena sektor riil. Bagi Bank Sentral ( BI) CAD harus “diusir” dengan menggunakan salah satu instrumennya, yaitu menaikkan suku bunga acuan. Tujuannya agar kegiatan ekonomi dapat diperlambat, dengan harapan dapat menekan laju pertumbuhan impor barang dan jasa.
Jika CAD tidak bisa diredam, dan kian melebar, maka instrumen berbasis rupiah menjadi tidak menarik dan akan terjadi rugi kurs bagi investor asing akan makin melebar. Bulan agustus 2022 adalah bulan baik karena neraca dagang Indonesia 7 bulan berturut-turut mengalami surplus US$ 5,76 miliar .
Sebagai harapan kepada BPS, dalam rilis data ekspor impor berikutnya hendaknya dapat menjelaskan tentang neraca jasa, sehingga kita punya informasi lengkap tentang posisi NTB Indonesia pada setiap periode, bisa bulanan, kuartalan , semesteran dan tahunan.
Laporan BPS tentang PDB mencatat seluruh nilai produksi barang dan jasa pada periode tertentu. Padanannya kita harapkan BPS dapat melaporkan kinerja perdagangan internasional dalam bentuk Neraca Transaksi Berjalan yang mencatat nilai perdagangan barang dan jasa pada periode tertentu.