Gemabisnis.com, JAKARTA – Pemerintah akan segera mengubah tarif pungutan ekspor kelapa sawit yang dipungut oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Bea Keluar kelapa sawit yang dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dalam rangka meningkatkan perolehan penerimaan di tengah terus menguatnya harga komoditas tersebut.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan di bawah kebijakan yang saat ini berlaku, pemerintah dan BPDPKS hanya mengoleksi US$375 untuk setiap ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang diekspor ke luar negeri walaupun harganya di pasar dunia terus menanjak di tengah pandemi dan konflik Rusia-Ukraina.
Dengan perubahan tarif pungutan ekspor BPDPKS dan Bea Keluar Ditjen Bea dan Cukai tersebut, maka total dana yang dipungut dari setiap ton ekspor CPO akan naik menjadi US$675 atau naik US$300 dari US$375/ton sebelumnya, tegas Mendag.
Mendag menjelaskan kenaikan jumlah dana tersebut dilakukan pemerintah dengan menaikkan kisaran harga CPO tertinggi yang terkena pungutan ekspor dan bea keluar menjadi US$1.500/ton ke atas dari sebelumnya US$1.000/ton ke atas untuk pungutan ekspor BPDPKS dan US$1.250/ton ke atas untuk bea keluar. Untuk pungutan ekspor BPDPKS jika harga CPO di atas US$1.000 maka setiap terjadi kenaikan harga CPO US$50/ton tarif pungutannya naik US$20. Demikian juga untuk Bea Keluar, jika harga CPO di atas US$1.250/ton maka setiap terjadi kenaikan harga US$50/ton, tarif Bea Keluarnya naik US$20/ton.
Dengan kondisi harga CPO saat ini yang berada di atas US$1.600/ton maka setiap ton ekspor CPO akan terkena pungutan ekspor sebesar US$375/ton yang dipungut oleh BPDPKS dan Bea Keluar sebesar US$300/ton yang dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai. Dengan demikian eksportir CPO harus membayar total pungutan sebesar US$675 untuk setiap ton CPO yang diekspornya (naik US$300/ton dari US$375/ton sebelumnya).
Menurut Mendag, tambahan dana sebesar itu dapat digunakan pemerintah untuk membiayai subsidi minyak goreng curah di masyarakat yang harganya ditetapkan pemerintah maksimum sebesar Rp 14.000/kg atau sekitar Rp 15.500/kg.
Kebijakan pemberian subsidi diambil pemerintah setelah kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dinilai banyak pihak (termasuk kalangan anggota DPR RI) mengalami kegagalan total dengan tetap melambungnya harga minyak goreng di pasar domestik dan bahkan terjadi kelangkaan (produk menghilang) di pasar. Karena itu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mencabut kebijakan DMO dan Harga Eceran Tertinggi (HET) alias DPO dan menggantinya dengan kebijakan subsidi harga minyak goreng curah.
Untuk minyak goreng dalam kemasan pemerintah memutuskan untuk menyerahkan pembentukan harganya ke mekanisme pasar atau dengan kata lain mengikuti harga keekonomian. (YS)