SETELAH dilanda badai COVID-19, perekonomian negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, berusaha bangkit lagi. Agar perekonomian kembali pulih dan bangkit lebih cepat, pemerintah telah meluncurkan sejumlah strategi dan kebijakan. Namun, upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi tidaklah mudah dilakukan. Ada sejumlah kondisi yang menyandera pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Apa saja yang menjadi penghalang itu?
PERTAMA, apakah ekonomi domestik mengalami overheating ? Mestinya tidak karena saat ini sedang menuju pemulihan COVID 19 bahkan cenderung tidak terlalu bergairah . Memang ada inflasi yang berada pada angka 5%. Inflasi memang bisa membuat ekonomi memanas (overheating). Otoritas moneter tidak mengatakan bahwa ekonomi dalam negeri memanas. Tapi betul ada beban inflasi yang masih sulit turun, sehingga secara teoritis, bank sentral harus menjalankan hukum besinya dengan menaikkan suku bunga acuan, yang kini berada di angka 5,75%. Apalagi inflasi saat ini bersifat global, yang remedynya sedang diotak atik The Fed tapi otak atiknya tidak gatuk,terkesan kapasitas teknokratik The Fed menjadi lemah yang berpotensi bisa membuat reputasi lembaga tersebut turun. Sudah 425 basis poin suku bunga acuan The Fed dinaikkan, inflasi AS yang berdampak global tak kunjung turun. Targetnya kembali normal yaitu menuju angka 2%.
KEDUA, fakta yang dapat kita catat berarti bahwa ekonomi Indonesia tengah berada dalam dilema dan trade off. Situasinya adalah pemulihan, dan pertumbuhan rkonomi yang sedang berjalan terganjal oleh inflasi dan suku bunga tinggi. Kondisi riilnya adalah : 1). pemulihan dan pertumbuhan ekonomi harus dibayar mahal akibat inflasi dan kenaikan suku bunga. Bahkan dapat terancam dampak resesi global yang bisa terjadi di tahun ini. Secara sadar berarti ekonomi domestik direlakan harus menanggung beban high cost. 2). Pemulihan dan pertumbuhan ekonomi selalu membutuhkan tingkat inflasi yang rendah, suku bunga rendah, dan nilai tukar mata uang yang stabil, tapi kondisi idial ini belum terpenuhi. 3) Jika merujuk dari berbagai pemberitaan, nampaknya upaya untuk menekan laju inflasi butuh energi besar Orang pinter sedunia harus putar otak untuk mengatasi inflasi yang sepertinya sulit untuk diturunkan dalam tempo singkat karena penyebabnya tidak hanya berada pada area ekonomi, tapi juga karena faktor geopolitik.
KETIGA, kita tahu bahwa biang terjadinya inflasi global kali ini ada dua penyebab, yakni :1) pasar kelebihan pasokan US$. 2). rantai pasok global mengalami gangguan serius akibat perang Rusia – Ukraina sehingga harga bahan pangan dan energi meningkat tajam. Dalam sejumlah pemberitaan dilansir bahwa jumlah US$ yang beredar di pasar per 11/1/2023 mencapai US$ 8,5 triliun. Normalnya berada pada kisaran US$ 4 triliun. Berarti terjadi kelebihan pasok sebesar US$ 4,5 triliun,sehingga The Fed harus berjibaku menaikkan suku bunga acuannya. Upaya ini belum membuahkan hasil karena faktanya The Fed hanya mampu nyedot sebesar US$ 400 miliar, padahal lembaga ini sudah menaikkan bunga 425 basis poin menjadi 4,25-4,5%.
Analisis pasar memberikan hitung-hitungan bahwa secara linier suku bunga acuan berarti harus naik di sepanjang tahun 2023 menyedot kelebihan peredaran US$ di pasar. Wow, mampus deh, gile atuh, berarti stagflasi dan resesi kompak membuat kegiatan ekonomi macet. Bila prediksi itu benar, maka berapa lagi suku bunga acuan BI akan dinaikkan. Wow gawat deh jika tidak ada remedy alternatif yang mampu mengatasi inflasi yang sedang turun gunung menuju stagflasi dan resesi. Mengatasi inflasi saat ini terkesan tidak mudah. Sampai presiden Jokowi memerintahkan jajarannya di pusat dan daerah untuk mengkroyok memadamkan api inflasi yang tak kunjung padam.
KEEMPAT, situasinya memang begitu adanya. Sejak perang dunia II, sistem ekonomi internasional telah berkembang menjadi sistem ekonomi yang benar – benar global. Yakni suatu sistem ekonomi yang saling tergantung dalam perdagangan, penanaman modal, dan pembangunan yang bisa menghubungkan hampir semua daerah di dunia.Artinya, ketergantungan eksternal menjadi faktor penting yang pada situasi dan kondisi apapun dapat membentuk dan mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara.
Kesalingtergantungan global telah menjadi keniscayaan. Di saat yang sama, kita tidak boleh “meleng” mencermati fenomena dan dinamika yang berkembang. Terkait dengan ini, maka penulis berpendapat bahwa tantangan kebijakan makro ekonomi yang utama sebagai faktor yang harus diseksamai adalah menangani kejutan dari luar yang kapan saja bisa datang dan pergi.
KELIMA, pendalaman substantifnya berada di wilayah geoekonomi dan geopolitik. Analisisnya dapat dipakai sebagai landasan untuk bertindak menangani inflasi, menstimulasi investasi, mengelola nilai tukar mata uang, menangani pengangguran, dan mengelola kebijakan fiskal.
Berat memang beban yang harus dipikul karena sangat komplek, dan berbagai tantangan tersebut saling berkaitan satu sama lain. Pada sisi lain, banyak juga isu-isu domestik yang juga harus ditangani di luar aspek makro ekonomi, seperti kepastian hukum,serta stabilitas politik dan keamanan .
Dunia berharap agar semua negara tidak melakukan tindakan yang bersifat unilateral dan proteksi, tapi nyaris sulit dihindari untuk tidak melakukan kedua tindakan tersebut demi penyelamatan ekonomi dalam negeri.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi masih bisa tumbuh 5% tahun ini. Ekonomi global diprediksi oleh WB hanya akan tumbuh 1,7% tahun ini. Lebih dari itu akan minus, yang berarti memasuki resesi. Jika ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi nasional akan mengalami tekanan berat dan akan terkoreksi karena permintaan agregat global akan turun drastis. Satu-satunya cara adalah mengoptimalkan pasar dalam negeri dengan menekan impor, termasuk menghemat penggunaan cadangan devisa. Transaksi dalam negeri wajib menggunakan rupiah. Utang luar dalam denominasi US$ sebaiknya tidak dilakukan. Proyek-proyek strategis nasional ber konten impor tinggi dan pembiayaannya bersumber dari pinjaman luar negeri agar ditunda pelaksanaannya.
Kita berada dalam situasi antara bersikap pesimisme dan optimisme. Tapi yang bijaksana adalah jika kita bisa bersikap realistis karena situasinya memang not easy but very hard. Ekonomi global makin sulit.
Ancaman kegagalan menangani inflasi tentu sangat serius bagi perkembangan ekonomi. Sebaliknya jika yang terjadi deflasi dan juga gagal diatasi, maka hal ini akan mengancam perkembangan ekonomi.
Ternyata, hal yang paling mahal harus dibayar dalam sistem ekonomi pasar adalah menciptakan dan menjaga stabilitas ekonomi.Berarti bahwa pemulihan dan pertumbuhan ekonomi hanya membutuhkan satu faktor kunci, yaitu stabilitas yang berkelanjutan