PERTAMA, setelah pandemi kita harapkan memasuki masa endemi. Setelah krisis ekonomi kini memasuki tahap pemulihan ekonomi. Habis gelap terbitlah terang. Inilah Business Cycle ( BC) yang secara umum kita kenal. Proses selanjutnya harus dikompensasi dengan tata kelola kebijakan yang baik untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Upaya ini pasti butuh modal, teknologi, pasar, kolaborasi , afirmasi,dan dukungan kebijakan pemerintah yang tepat.
KEDUA, fase pemulihan menuju pertumbuhan, stabilitas dan kesejahteraan tetap butuh ruang moneter dan fiskal yang pro pertumbuhan, pro stabilitas, dan pro peningkatan kesejahteraan rakyat. Peran pemerintah harus tut wuri handayani agar tiga tujuan tersebut dapat dicapai secara seimbang.
Bagi pemerintah, dunia usaha , dan masyarakat, ketiga tujuan tersebut sama pentingnya bagi terwujudnya perekonomian nasional yang adil dan berkelanjutan. Ketika kita mengamini bahwa inti pembangunan kemakmuran adalah nilai tambah, maka secara proporsional, nilai tambah tersebut harus dibagi dan bisa dinikmati oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam bentuk pendapatan.
KETIGA,pendapatan bagi pemerintah diterima dalam bentuk pajak dan PNBP. Bagi dunia usaha diterima dalam bentuk keuntungan. Dan bagi masyarakat diterima dalam bentuk gaji dan upah atau pendapatan lain yang sah agar memilki kemampuan daya beli yang memadai.
Recover together tengah berlangsung di dunia,setelah 2 tahun lebih menghadapi pandemi covid 19 dan krisis ekonomi. Tapi ekonomi global kini menghadapi goncangan baru akibat invasi militer Rusia ke Ukraina. Harga komoditas merangkak naik setinggi langit, seperti migas, batubara, CPO,dan gandum sehingga dunia menghadapi tekanan ekonomi baru,dan telah menimbulkan inflasi global. Indonesia terdampak akibat kondisi tersebut yang menimbulkan kenaikan harga minyak goreng, BBM pertamax, dan kelangkaan solar.
Sinyal yang muncul bahwa pemerintah juga sedang mengkaji rencana kenaikan harga LPG 3 kg,dan harga pertalite.Per 1 April tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%. Yang jadi soal adalah kita tahu bahwa dampak inflasi global jelas mnimbulkan efek imported inflation di dalam negeri, tapi ada kesan bahwa pembuat kebijakan seperti menghadapi ketidakmampuan untuk mengontrol kenaikan harga sehingga beban dari situasi itu dipikul oleh masyarakat menengah ke bawah yang daya belinya tengah terpuruk.
Tidak hanya itu, bahwa sejatinya dunia usaha pun menghadapi beban yang sama yaitu biaya produksi barang dan jasa secara umum meningkat akibat efek imported inflation
KEEMPAT, situasi itu menjadi dilema dan trade-off kebijakan ekonomi karena membiarkan harga bahan pangan dan BBM tertentu naik sesuai hukum pasar justru dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan, stabilisasi ekonomi, dan menekan perbaikan daya beli masyarakat khususnya menengah ke bawah.
Tidak hanya itu, bahwa situasi yang terbentuk akhirnya dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah. Kebijakan publik yang terbaca secara umum adalah tidak berhasil mengatasi masalah karena justru menimbulkan masalah baru yaitu keresahan sosial yang terjadi merata di seluruh wilayah tanah air. Tahun 2022,pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi sekitar 5% . Target ini cukup moderat, tapi mencapainya harus menempuh jalan yang terjal karena ketidakpastian global baru muncul yang dipicu oleh adanya invasi militer Russia ke Ukraina.
Tiga mesin pompa pertumbuhan ekonomi yang paling diharapkan maksimal adalah konsumsi,investasi dan ekspor. Belanja pemerintah tidak bisa diharapkan menjadi mesin pertumbuhan karena sumbangannya terhadap PDB hanya sekitar 9%.Tapi dalam kondisi perekonomian lesu, ia harus tampil sebagai dewa penyelamat perekonomian nasional dengan memberikan stimulus fiskal.
KELIMA, kartu kebijakan fiskal nampaknya tetap menjadi instrumen yang harus memikul beban paling besar untuk mengatasi gejolak baru ekonomi yang lahir justru di saat era recover together tengah berlangsung.
Masa pemulihan untuk menggenjot pertumbuhan mestinya menjadi porsi kebijakan moneter dan perbankan, melalui relaksasi suku bunga dan penggelontoran kredit. Namun karena yg dihadapi adalah kenaikan inflasi, dan sebentar lagi ada kenaikan suku bunga the fed, maka relaksasi suku bunga acuan BI boleh jadi akan tertunda,karena bunganya akan naik.
Sehingga progam penggelontoran kredit menjadi tertahan lajunya. Jika ini terjadi, maka laju pertumbuhan ekonomi akan tertahan. Target pertumbuhan ekonomi 5% tahun bisa tidak tercapai. Situasi ini dapat kita sebut bahwa kondisi perekonomian tengah “memanas” (overheating). Dalam kondisi seperti ini, mestinya kebijaksaan fiskal harus bisa mendinginkan perekonomian melalui kontraksi APBN.
Kontraksi APBN berarti harus bisa berhemat, dan re-focusing, re-scheduling pelaksanaan PSN, pergeseran anggaran, mengurangi pagu anggaran negara, menggunakan sisa anggaran lebih untuk mendukung progam jaring pengaman sosial. Berarti yang dibutuhkan sekarang adalah anggaran stimulus fiskal untuk mendukung progam jaring pengaman sosial, bukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
KEENAM, apa yang kita catat hingga kini potretnya tidak seperti itu, karena sebagian kebijakan fiskal justru ikut berkontribusi yang membuat ekonomi overheating. Misal kenaikan PPN menjadi 11%, kenaikan harga pertamax, menyusul kemungkinan kenaikan harga LPG 3kg, dan pertalite. Subsidi minyak goreng akhirnya juga tidak efektif.
Kita hanya bisa menunggu apakah Pemerintah akan melakukan revisi APBN akibat melakukan tindakan kontraksi atau postur APBN akan tetap seperti apa adanya., dan tetap cenderung “ekspansif”.
Hal lain yang kita tunggu adalah membatalkan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11%, karena momennya tidak tepat. Penulis pernah usulkan agar kenaikannya tidak pakai periode transisi , tapi langsung naik menjadi 12% pada tahun 2025 seperti amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Ini semua kita bicara pada level kebijakan.
Satu hal yang kita harapkan adalah bahwa setiap kebijakan adalah efektifitasnya, bisa mengatasi masalah atau sebaliknya menimbulkan masalah baru yang makin ruwet. Policy adalah pemberi jalan, bukan sebaliknya malah menimbulkan overheating perekonomian. Artinya tidak mengobati tapi malah menambah demamnya naik.
KETUJUH, tapi ini bukan soal benar atau salah, dan penulis selalu melihatnya bahwa ini adalah salah satu dilema dan trade-off kebijakan. Not easy but very hard.
Ekonomi global kini menghadapi ancaman dan tantangan baru yang makin sulit. Pertumbuhan ekonomi akan sulit mencapai target. Stabilitas ekonomi juga sulit diharapkan terjadi karena ancaman di wilayah geopolitik global masih bergejolak sejak invasi militer Rusia-Ukraina.
Di wilayah geoekonomi, proses pemulihan ekonomi global menghadapi ancaman baru yang lebih rumit mengatasinya karena beririsan langsung dengan konflik di wilayah geoplitik. Perang dagang sudah pernah berlangsung, perang militer kini tengah berlangsung antara Rusia-Ukraina, dan perang currency juga sedang dimulai untuk melawan kedigdayaan dolar AS yang dalam transaksi global sekitar 70% menggunakan dolar. Demikian pula cadangan devisa global sebagian besar disimpan dalam US$. Kesejahteraan rakyat harus sabar menanti karena harus ada kinerja positif pada pertumbuhan dan stabilisasi ekonomi.