PERTAMA, membicarakan APBN selalu menarik perhatian masyarakat luas. Hal yang esensial adalah bahwa pendapatan negara yang diperoleh dengan susah payah harus dibelanjakan secara efektif dan efisien. Kegiatan yang bersifat pemborosan dan business as usual harus dipangkas karena dalam setiap pelaksanaan APBN setiap tahun, pada prakteknya pemerintah sering menghadapi situasi ruang fiskal yang sempit dalam perspektif manajemen keuangan Arogansi sektoral acapkali menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya ruang fiskal yang sempit.
KEDUA, APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal, berdasarkan berbagai literasi, ternyata banyak aspek yang dapat digali sebagai media pembelajaran. Salah satunya adalah soal belanja berkualitas. Tema ini penting karena sebesar apapun APBN ditetapkan, sistem ini mempunyai keterbatasan. Pendapatan mempunyai keterbatasan, dan yang dapat dibelanjakan juga memiliki keterbatasan. Sebab itu, salah satu pilihan kebijakan yang ditawarkan adalah menerapkan prinsip belanja berkualitas ( quality of public spending).
KETIGA, belanja berkualitas adalah sebuah keniscayaan ketika kita sepakat bahwa APBN harus dikelola dengan baik. Pengguna anggaran harus menjunjung tinggi prinsip tersebut untuk mewujudkan anggaran yang berkualitas. Jika prinsip ini diabaikan, hampir dapat dipastikan APBN bisa jebol.
Pengelola kebijakan fiskal selalu berupaya menerapkan Performance Based Budgeting (PBB) , yaitu merupakan instrumen yang bisa membantu pemerintah untuk memonitor perencanaan dan pelaksanaan anggaran, serta memastikan tercapainya output maupun outcome kebijakan fiskal ( yang instrumen utamanya adalah APBN). Jika prinsip PBB tersebut tidak dilaksanakan, maka ini berarti sama saja membiarkan praktek belanja tidak berkualitas terus terjadi. Kita bisa bayangkan dampaknya jika kondisi ini terus berlangsung, maka APBN bisa menjadi tidak sehat.
KEEMPAT, apa sih yang dimaksud dengan belanja berkualitas? Satu definisi yang paling mudah difahami adalah belanja publik yang memenuhi kreteria antara lain : 1) clear link between financial and performance indicators. 2) focus on outcome instead of output.
Kreteria pertama dipakai untuk mengukur public sector cost effectiveness. Sedangkan kreteria kedua dipakai untuk mengukur nilai guna atau manfaat yang dihasilkan dari belanja publik ( value for money).
Bahasan tentang topik ini penting untuk menjadi perhatian para perencana dan pengguna anggaran di berbagai Kementrian /Lembaga. Biang kerok masalah perencanaan dan pelaksanaan anggaran sebagian besar ada pada persoalan quality of public spending tersebut.
Penulis mencermati ini, dan lembaga pengawas di internal K/L kedepan sebaiknya lebih banyak fokus ke audit untuk mengukur public sector cost effectiveness, dan mengukur nilai guna/manfaat yang dihasilkan dari belanja publik di masing – masing K/L. Di luar itu biar diurus oleh BPK dan BPKP.
KELIMA, di luar bahasan tentang belanja berkualitas, jika kita ingin mendalami mengenai APBN, tentu banyak hal yang bisa dipelajari agar perencanaan dan pelaksanaan anggaran terimplementasi secara efektif dan efisien.
Tujuan makro kebijakan fiskal sudah dibahas pada tulisan sebelum ini. Pada tinjauan yang lebih bersifat financial management, kita dapat membahasnya dalam banyak aspek,misal terkait pengelolaan utang/piutang, pengelolaan barang milik negara, pengelolaan investasi pemerintah dan lain – lain.
Pada akhirnya, kita harus mengetahui bahwa kebijakan fiskal sebagai bagian dari kebijakan ekonomi makro tidak bisa berdiri sendiri. Kebijakan fiskal harus berkoordinasi dengan kebijakan moneter. Pada sisi fiskal ( baca APBN), belanja publik yang berkualitas menjadi kunci penting karena setiap rupiah yang dibelanjakan harus berkontribusi terhadap pertumbuhan,stabilitas ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Agar public spending tidak high cost, maka dari sisi moneter, diharapkan dapat berkontribusi terhadap pengendalian inflasi, mengelola nilai tukar, dan menstimulasi investasi modal. Pada akhirnya, bersanding secara harmonis antara fiskal dan moneter sangat penting, karena stimulus fiskal dengan segala keterbatasan yang ada, baik dari sisi pendapatan dan belanja tidak bisa diharapkan menjadi kekuatan pendorong, apalagi menjadi kekuatan utama pertumbuhan ekonomi.
KEENAM, kita tahu bahwa sumbangan belanja pemerintah terhadap PDB, selama ini hanya sekitar 9-10%. Jika dipacu agar lebih dari itu, goverment expenditure bisa mengalami fiscal distress yang ujungnya defisit dan beban utang berpotensi membengkak.Faktor peningkatan permintaan agregat yang justru penting didorong adalah belanja investasi, konsumsi, dan ekspor agar kegiatan produksi barang dan jasa dapat maksimal.
Khusus goverment expenditure , hal yang perlu mendapat perhatian adalah penguatan kualitas belanja pada APBN yang diarahkan pada : 1) peningkatan kualitas belanja modal. 2) efisiensi belanja non prioritas (belanja barang, dan subsidi tepat sasaran).3) sinergi antar progam yang relevan. 4) re focusing anggaran prioritas. 5) peningkatan kualitas desentralisasi fiskal.