Gemabisnis.com, JAKARTA– Kementerian Perindustrian telah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0, dengan salah satu sektor yang mendapat prioritas pengembangan adalah industri makanan dan minuman (mamin). Dalam peta jalan tersebut, industri mamin didorong untuk mengurangi impor dan meningkatkan ekspor.
“Making Indonesia 4.0 merupakan sebuah roadmap yang diinisiasi oleh Kemenperin dan diluncurkan secara resmi oleh Bapak Presiden Joko Widodo sejak tahun 2018 lalu, dengan tujuan untuk mengembangkan sektor industri manufaktur di tanah air agar bisa mengadopsi teknologi digital sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan berdaya saing global,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam sembutannya secara virtual pada Bimbingan Teknis Transformasi 4.0 untuk Koperasi dan Tempat Penerimaan Susu (TPS), Selasa (05/04/2022).
Menurut Agus Gumiwang, industri mamin merupakan salah satu motor penggerak utama terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, dengan didukung oleh sumber daya alam yang berlimpah dan permintaan domestik yang terus meningkat. “Walaupun terdampak pandemi Covid-19, PDB industri mamin masih mampu tumbuh positif sebesar 2,54% pada tahun 2021,” ungkapnya.
Bahkan, pada periode yang sama, industri mamin berkontribusi sebesar 38,05% terhadap PDB industri pengolahan nonmigas. “Capaian tersebut menjadikan industri mamin sebagai subsektor dengan kontribusi PDB paling besar,” imbuhnya.
Pada tahun 2021, nilai pengapalan industri mamin mencapai US$ 44,82 miliar atau berkontribusi sebesar 25,3 % terhadap ekspor industri pengolahan nonmigas. Neraca perdagangan industri mamin pada tahun 2021 surplus sebesar US$ 31,52 miliar. “Sementara itu, di sisi lain, minat investasi di bidang industri mamin di Indonesia juga masih cukup besar, yaitu mencapai Rp58,9 triliun di tahun 2021,” sebut Menperin.
Salah satu sektor penopang kinerja gemilang pada industri mamin adalah industri pengolahan susu, yang juga mendapat prioritas pengembangan sesuai Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.
“Namun demikian, industri ini masih dihadapkan pada tantangan pemenuhan bahan baku, karena sampai saat ini sekitar 0,87 juta ton atau 21 % bahan baku merupakan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN),” tutur Agus.
Bahan baku yang masih didatangkan dari luar negeri, di antaranya dalam bentuk skim milk, whole milk, anhydrous milk fat, butter milk, dan whey. “Dalam periode lima tahun terakhir, pasokan SSDN tumbuh rata-rata 0,9 % per tahun, sedangkan kebutuhan industrinya tumbuh hingga 6 % per tahun,” tandasnya.
Kemenperin mencatat, sebagian besar produksi SSDN berasal dari Pulau Jawa, terutama Jawa Timur sebesar 534 ribu ton (56 % dari total produksi SSDN), Jawa Barat 293 ribu ton (31 %), dan Jawa Tengah 100 ribu ton (11 %). Ketiga provinsi tersebut menyumbang produksi susu segar sebesar 98 persen dari produksi susu segar nasional.
Saat ini, Kemenperin terus berupaya untuk meningkatkan konsumsi susu masyarakat Indonesia yang masih sebesar 16,9 kg per kapita per tahun setara susu segar. “Seiring terus meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat dan makin tumbuhnya kelas menengah, akan memicu terjadinya transformasi gaya hidup masyarakat menjadi lebih sehat, yang berdampak terjadinya peningkatan permintaan terhadap produk bernutrisi tinggi termasuk produk olahan susu, sehingga kami meyakini peluang pasar dan tingkat konsumsi produk susu olahan akan terus tumbuh tinggi ke depannya,” papar Agus.
Tekan impor bahan baku susu
Lebih lanjut, dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku susu, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki alur rantai pasok bahan baku susu. Saat ini, transaksi yang terjadi antara para peternak dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) di tempat-tempat penerimaan susu (TPS) dan/atau Koperasi pada umumnya dilakukan secara manual atau konvensional.
“Sehingga banyak memakan waktu dan perlu antrian panjang yang dapat berdampak terhadap kualitas susu yang disetor oleh para peternak, terlebih lagi untuk TPS-TPS yang belum dilengkapi dengan Cooling Unit yang memadai,” ungkap Menperin. Hal ini dapat menyebabkan harga pembelian susu menjadi tidak maksimal atau bahkan kualitas susu yang disetor tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh industri pengolahan susu.
Oleh karena itu, Kemenperin telah memacu beberapa IPS melakukan rintisan pembinaan dalam penerapan transformasi digital di TPS-TPS dan dihubungkan dengan koperasinya, antara lain di beberapa TPS di bawah Koperasi SAE Pujon Malang (binaan PT. Nestle) dan TPS-TPS di bawah KPBS Pengalengan (binaan PT. Frisian Flag Indonesia).
“TPS di kedua koperasi susu tersebut telah dilengkapi dengan timbangan digital dan peralatan pencatatan data peternak secara digital pula, sehingga proses transaksi setoran susu dapat berjalan lebih cepat dan transparan,” jelas Agus.
Melalui digitalisasi di TPS dan Koperasi, Menperin optimistis, akan berdampak positif baik bagi peternak maupun IPS. Bagi peternak, diyakini akan mendapatkan harga yang lebih tinggi dari peningkatan kualitas susu yang disetor dan meningkatnya transparansi yang akan meningkatkan trust peternak kepada koperasi atau industri.
Di sisi lain, bagi IPS akan mendapatkan bahan baku susu dengan kualitas yang lebih baik sehingga akan berpengaruh terhadap produk olahan susu yang dihasilkan. “Dari digitalisasi Koperasi dan TPS ini, lebih jauh dapat dimungkinkan untuk dilakukan kajian pemberian input (pakan dan perlakuan) vs output (produktivitas dan kualitas susu) yang dihasilkan, sehingga ke depan diharapkan dapat diketahui jenis dan komposisi pakan yang optimal untuk menghasilkan SSDN dengan produktivitas dan kualitas yang tinggi,” imbuhnya.
Saat ini, dari jumlah TPS sebanyak 949 unit, terdapat 338 unit yang sudah memiliki Cooling Unit dan 24 unit yang telah melakukan digitalisasi. “Kami akan mengakselerasi untuk dapat melakukan digitalisasi Koperasi Susu dan TPS secara nasional. Sementara itu, program digitalisasi TPS, baru dapat dilakukan, apabila TPS tersebut telah memiliki Cooling Unit yang memadai,” tegas Agus.
Guna mengukur kesiapan perusahaan dalam penerapan industri 4.0, Kemenperin telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pengukuran Tingkat Kesiapan Industri dalam Bertransformasi Menuju Industri 4.0.
Berdasarkan hasil asesmen terhadap 706 perusahaan dari 11 subsektor industri (industri makanan dan minuman, tekstil, kimia, otomotif, elektronika, dan lain-lain) yang dilakukan oleh PT. Sucofindo dan PT. Surveyor Indonesia dengan menggunakan INDI 4.0 (Indonesia Industry 4.0 Readiness Index), diketahui bahwa angka rata-rata INDI 4.0 sebesar 1,9 atau berada pada tingkat kesiapan “sedang”.
“Artinya sebagian besar perusahaan sudah aware dengan industri 4.0 dan ingin segera mengimplementasikannya untuk membuat perusahaannya menjadi lebih efektif, efisien dan lebih kompetitif. Namun demikian, untuk mitra IPS yang berada di hulu seperti koperasi, masih diperlukan kegiatan bimbingan teknis transformasi dgital agar mereka mampu mengimplementasikan industri 4.0 secara tepat, akurat, aman dan terukur,” terangnya.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika melaporkan bahwa kegiatan Launching Bimtek Digitalisasi Koperasi dan TPS diikuti secara online dan offline lebih dari 800 peserta yang merupakan perwakilan dari koperasi susu dan TPS.
“Untuk pelaksanaan bimteknya, akan dilakukan secara paralel dan supaya lebih efektif akan dibagi menjadi tiga room link zoom. Koperasi dan TPS tersebut merupakan mitra binaan Industri Pengolahan Susu, PT. Nestle Indonesia, PT. Frisian Flag Indonesia dan PT. Indolakto,” tuturnya.(NF)