PERTAMA, ketika kita mulai melek finansial, maka berarti akan makin banyak manusia di berbagai belahan dunia mengenal uang. Uang dikenal sebagai alat pembayaran yang sah di suatu negara dan uang adalah juga menjadi komoditas yang ditransaksikan. AS pemilik dolar adalah negara paling beruntung karena US$ nya dipakai oleh sekitar 70% transaksi global.
Pada volume yang kurang lebih sama, US$ juga dipakai untuk disimpan sebagai cadev akibat transaksi internasional sebagian besar dibayar pakai US$. Enak di luh , enggak enak di gue. Kelihatannya kedudukan monopoli ini akan dipertahankan. Sementara itu, dunia juga melihat bahwa kepemimpinan global AS mulai goyah ketika China muncul sebagai pesaing utamanya.
KEDUA, national office pengelola dan pencetak US$ di AS adalah Federal Reserve ( Bank Sentral AS atau The Fed). Menurut para ahli moneter dan para pengurus The Fed, jika dunia kelebihan US$ yang beredar, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi inflasi. Bila indikasinya memang terjadi inflasi, maka para pengurus The Fed pasti nggak bisa tidur. Karena itu suku bunganya harus dinaikkan agar dolar yang beredar dan berputar di berbagai belahan dunia berkurang dan diharapkan inflasinya terkendali. Sekarang ini yang sedang terjadi adalah itu, sehingga pengurus The Fed harus mengambil tindakan agar inflasi turun. Bagi AS harus turun hingga bisa kembali ke angka normal, misal 2% menurut teori mereka.
Inflasi di AS kini berada di angka sekitar 8%. Lucunya nggak mau turun, dan The Fed bingung sendiri. Lucunya lagi wong memegang monopoli peredaran di dunia, kok ketika diperintahkan untuk mudik ke AS mbalelo. Pasti mereka panik sambil ngumpat “sialan” luh, tuannya manggil kok nggak digubris. Dihajar lagi suku bunga dinaikkan, tapi tanda-tandanya tetap bandel, terbukti inflasi tak kunjung turun.
KETIGA, boleh jadi kontrol The Fed atas US$ nya yang berputar di seluruh jagad raya ini merasa nyaman hidup di rantau. Atau mungkin memang sudah waktunya turun tahta dan monopolinya harus digantikan oleh mata uang kuat lainnya di dunia.
Apa yang dapat kita analisis dengan fenomena The Fed belum berhasil mengendalikan inflasi. Sejumlah fakta yang dapat kita catat beberapa di antaranya adalah : 1) dunia sudah berubah. Imperium Inggris jatuh, dan digantikan AS setelah perang dunia kedua berakhir. Kini datang imperium baru sebagai pesaing utama dalam kedigdayaan ekonomi, teknologi maupun militer yakni China. 2) fakta yang terekam adalah neraca dagang dan neraca pembayaran AS cenderung defisit berkelanjutan ketika berhadapan dengan China. 3) gambarannya adalah bahwa China telah berhasil menjadi pemasok konsumen , dan sekaligus menjadi investor, kreditor, dan banker sehingga defisit ganda tersebut menghantui AS. 4) tekanan dari blok Timur semakin kuat agar tata dunia baru diubah dengan tujuan untuk membuat keseimbangan peran dalam pengelolaan lembaga – lembaga global seperti PBB, IMF dan sebagainya makin kencang.5) dari kalangan ekonom dunia seperti Stiglitz juga menawarkan pendapatnya bahwa reformasi sistem cadangan devisa global sudah saatnya harus dilakukan. 6) hal paling nyata adalah ancaman currency war, dimana sejumlah negara mulai meninggalkan dolar AS dalam transaksi internasional, dan menggantinya dengan mata uangnya masing – masing. Bahkan Rusia terang – terangan bahwa Rubelnya akan di back up dengan emas. 7) suku bunga yang tinggi dan kedudukan dolar AS yang lebih kuat selalu merupakan kombinasi yang mematikan bagi aset yang lemah. Terasa ini yang terjadi akhir-akhir ini, sehingga ancaman currency war tak terelakkan lagi. Secara halus sebenarnya mata uang Euro dibentuk merupakan suatu upaya membuat perimbangan terhadap US$ dalam transaksi antar 27 negara UE menggunakan uang Euro.
KEEMPAT, apakah peredaran dana global, khususnya US$ akan berkurang dengan langkah gaspol The Fed menaikkan suku bunga acuannya?.Rasanyanya tidak serta merta terjadi pengurangan karena inflasi sekarang ini terjadi bukan karena peredaran US$ di dunia mbludak,tapi lebih disebabkan akibat gangguan rantai pasok global dan sanksi ekonomi AS dan Barat ke Rusia yang berperang dengan Ukraina.
Menurut pendapat pribadi penulis langkah gaspol The Fed menaikkan suku bunga acuannya justru malah menjadi tindakan bunuh diri.Ingat daya saing ekonomi AS tidak sekuat dulu.Sektor manufakturnya turun kinerjanya karena kalah bersaing dengan produk – produk China. Satu hal upaya agresif dan gaspol menaikkan suku bunga The Fed mempercepat ekonomi AS kolaps (mengalami stagflasi).
Pada sisi lain, para pemegang US$ di banyak negara tidak membiarkan mata uang ini mudik, tapi hanya ditahan dan disimpan. Transaksi di dalam negerinya dilakukan dengan menggunakan mata uangnya sendiri. Begitu juga yang telah menerapkan LCS, perdagangan bilateralnya tidak lagi menggunakan US$. Komplikasinya tetap ada, tapi melawan kemapanan sistem yang merugikan kepentingan banyak negara memang harus dilakukan untuk menciptakan keseimbangan praktek perekonomian yang selama ini tidak adil.
Globalisasi secara alami tengah menghadapi tekanan kuat dari praktek Lokalisasi. Sistem multilateralasi telah bergeser menjadi rezim regionalisasi, dan pergeseran paradigma ini terus bergerak menuju tumbuhnya hubungan kerjasama ekonomi. bilateral yang transaksinya dapat menggunakan mata uangnya sendiri.
KELIMA, disadari bahwa ini not easy but very hard. Paradigma globalisasi adalah lokalisasi terimalah sebagai keniscayaan karena negara – negara pinggiran yang menyandang emerging economy adalah sebuah kekuatan baru yang harus diberi ruang tumbuh dalam global space setara dengan kekuatan ekonomi adidaya yang selama ini bersifat hegemoni. Kekuatan hegemoni. ini selalu berusaha menahan munculnya pesaing potensial baru yang notabene mereka itu adalah the new emerging force dalam perekonomian dunia yang pada waktunya akan mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin ekonomi dunia baru. Tidak hanya China, dibelakangnya ada India, Rusia, Brasil, Mexico, Indonesia dan sejumlah negara lain.
Jadi bisa dibilang bahwa agresivitas The Fed menaikkan suku bunga acuan menimbulkan dua situasi buruk, yakni : 1) ekonomi AS terancam stagflasi dan 2) ekonomi global yang tergantung pada US$ terkena pukulan dalam bentuk aktivitas ekonominya melambat karena bank – bank sentralnya ikutan menaikkan suku bunga acuannya. Ini pertanda bahwa pengaruh US$ dalam transaksi internasional masih kuat
KEENAM, ekonomi AS bisa tambah runyam, jika misalnya China melepas seluruh obligasi AS yang nilainya mencapai 1 triliun US$ lebih. Boleh jadi juga akan melepas sebagian cadevnya dalam USD untuk memborong emas. Kita tahu bahwa China dan Rusia lebih suka memborong emas ketimbang memborong obligasi AS. Beberapa tahun lalu, menurut data World Gold Money Research, China rajin belanja emas lebih cepat sambil melepas US Treasurynya. Tiap bulan negeri tirai bambu ini memborong emas rata-rata 15 ton. Langkah ini diikuti Rusia, Qatar, Kolombia dan Filipina.
Kita bisa bayangkan jika langkah serupa diikuti oleh banyak negara di.dunia, US$ sebagai aset minim risiko, nilainya akan tersungkur di pasar keuangan global. Ketika membaca buku history of money, Ada catatan tulisan bahwa sebelum JP Morgan wafat tahun 1912, dihadapan konggres AS, beliau mengatakan bahwa emas adalah mata uang yang sebenarnya. Sedangkan mata uang lainnya hanyalah kredit (kepercayaan). US$ saat ini tidak di back up emas. Namun demikian AS adalah kolektor emas terbesar di dunia yang jumlahnya mencapai 8.133,5 ton setara dengan 75,2% cadangan devisanya. Jerman 3.369,7ton setara dengan 70% cadangan devisanya. Italia 3.451,8 ton setara dengan 67,9% cadangan devisanya.
Pertanyaannya apakah semua kerunyamam ekonomi global saat ini bisa diatasi.? Harusnya bisa, dan mestinya kelompok arisan G20 harus lantang berucap YES WE CAN. Menjadi sulit karena banyak jebakan yang disebut konflik geopolitik. Mau tidak mau, para pengelola kebijakan makro ekonomi sedunia, baik bersama-sama atau di setiap negara harus bisa menjawab tantangan besar, yaitu 1) menangani inflasi? . 2) menstimulasi investasi modal? . 3) mengelola nilai tukar? 4) menangani pengangguran? 5) mengelola kebijakan fiskal?, dan 6) menangani kejutan dari luar ( eksternal)? . Siapapun gubernur bank sentral dan menteri keuangannya, dan dari manapun negaranya, maka yang berhasil menjawab 6 tantangan tersebut layak dipercaya menjabat sebagai pucuk pimpinan IMF. Masalahnya ada satu tantangan yang paling mengkhawatirkan di luar portofolio makro ekonomi, yaitu konflik geopolitik yang dapat menjelma menjadi perang militer yang meluas.