PERTAMA, kehidupan di muka bumi dihadapkan pada sebuah realita bahwa ekonomi dengan segala dinamikanya harus menerima kenyataan bahwa ia akan terjebak pada banyak trade off. Trade off yang coba penulis angkat adalah bahwa pertumbuhan ekonomi tengah ikut berpacu dalam melodi dengan perubahan iklim.
Tanggung jawab ekonomi sungguh sangat berat, yakni harus ikut berperan dalam penyelamatan bumi. Ongkos yang harus dibayar lebih besar dari biaya pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID- 19 dan anak cucunya.
Di sini saja sudah ada trade off antara siklus ekonomi dan pendapatan nasional. Bahkan di negeri ini,biaya untuk pemulihan lingkungan boleh jadi bisa lebih besar dari ratio utang terhadap GDP Indonesia yang kini mencapai 40%.
KEDUA, CEO Deloitte Asia Tenggara, Philip Yuen mengatakan bahwa PBB telah memperingatkan untuk menjaga pemanasan global mendekati 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra industri “.Kondisi ini akan sulit dijangkau” dalam 2 dekade mendatang, kecuali jika tindakan segera diambil untuk mengurangi emisi karbon.
Ada urgensi bagi negara dan pemerintah untuk bertindak cepat dalam 10 tahun kedepan untuk menghindari kerusakan permanen akibat perubahan iklim. Jumlah yang dibelanjakan negara untuk dekarbonisasi akan hampir segera diimbangi dengan pengembalian positif dalam modal dan teknologi.
Kita mempunyai kesempatan untuk menciptakan mesin baru untuk kemakmuran ekonomi yang berkelanjutan. Pada saat yang sama, kita harus mencegah konsekwensi yang lebih buruk dunia yang memanas.
KETIGA, dari cerita itu, kita menemukan kondisi ekonomi dalam narasi yang berbeda, yakni economic overheating yang membuat inflasi meningkat dan bumi yang memanas akibat ekonomi yang tidak eco friendly.
Maju kena mundur kena ekonomi di abad ini untuk mengurus dirinya. Apa yang secara garis besar dihadapi oleh ekonomi? Minimal ada 3 situasi yang harus direspon, yaitu, 1) beban utang global,2) penyelamatan bumi, 3) digital distrubtion.
Ketiganya adalah dampak dari kemajuan peradaban. Dan jika dampak tersebut kita sepakati sebagai kondisi yang harus dimitigasi, maka di depan mata yang muncul hanya ada tiga instrumen utama yang dapat membantu agar bisa melakukan mitigasi, yaitu, KKEBIJAKAN PEMERINTAH,MODAL dan TEKNOLOGI.
KEEMPAT, praktis di muka bumi pada abad ini, kita hanya punya dua judul film kehidupan yang narasinya bercerita tentang RISIKO dan MITIGASI. Konten dan konteksnya hanya berada pada 3 strategi dan kebijakan sebagai new mainstream, yaitu 1) Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan, 2) Strategi dan kebijakan pembiayaan dan teknologi, 3) strategi dan kebijakan mitigasi risiko dengan biaya yang paling efisien. Mudah-mudahan anda sepakat dengan tiga isu strategi dan kebijakan tersebut sebagai arus utama baru.
Pemikiran ini dengan nada sedikit narsis ,barangkali dapat menjadi keputusan penting pertemuan G-20 tahun ini di Bali. Pra kondisi yang harus dibentuk dan disepakati para pemimpin dunia adalah dimana bumi dipijak disitu harus menjadi ZONA DAMAI dan ZONA MAKMUR yang eco friendly dan berkeadilan bagi 7 miliar penduduk bumi dan mahluk hidup lainnya.
KELIMA, sedikit informasi ada penjelasan dari Delloite bahwa jika dinamikanya terlambat direspon, maka Asia Tenggara akan bisa merugi US$ 28 triliun. Asia Tenggara adalah rumah bagi setengah miliar penduduk tinggal dan memilki GDP sebesar US$ 3 triliun.
Indonesia harus menyusul negara-negara lain menjalankan upaya dan langkah sistemik menuju ZERO CARBON. Bila meningkatkan upaya perubahan iklim dan mengurangi emisi karbon dapat dilakukan dengan cepat,maka Asia Tenggara dapat mencapai keuntungan ekonomi sebesar US$ 12,5 ttiliun dengan pertumbuhan GDP rata-rata 3,5% tiap tahun selama 50 tahun ke depan.
Jika gagal melakukannya, dapat menyebabkan pemanasan global lebih dari 3 derajat Celsius pada 2070.Ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi kawasan senilai US$ 28 triliun untuk valuasi saat ini dalam 50 tahun mendatang, dan mengurangi pertumbuhan GDP sebesar rata-rata 7,5% setiap tahun pada periode yang sama. Fondasi kemakmuran kawasan ini adalah sumber daya alam, dan manusia yang berada dalam “RISIKO”.Perubahan iklim akan menyebabkan gangguan besar karena hilangnya mata pencaharian akibat naiknya permukaan laut dan bencana alam.
KEENAM, ekonomi telah berada dalam satu ancaman yang bersifat fundamental dan terkepung dalam tiga tantangan besar seperti dijelaskan di atas. Ekonomi tetap harus tumbuh tapi harus banyak yang harus dibiayakan sebagai kompensasi kerugian atas terjadinya perubahan iklim.
Oleh karena itu, barangkali kita harus menambahkan lagi satu komponen pengeluaran dalam perhitungan GDP, yaitu pengeluaran untuk pemulihan dan pemuliaan lingkungan hidup di bumi, di air dan di udara, sehingga formula barunya menjadi Y= C+G+I+(X-M) – biaya lingkungan. Tujuannya agar keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan biaya pemulihan lingkungan bisa langsung terbaca dalam dasboard perhitungan GDP.
Akhirnya yang kita perlukan adalah 3 alat utama untuk merespon penyelamatan bumi, yaitu, STRATEGY AND POLICY, CAPITAL , and TECHNOLOGY. Kita lupakan growth for growth tapi kita memasuki era normal baru dengan paradigma baru yakni growth through equity dan penyelamatan bumi.
IMF harus mereformasi sistem cadangan devisa global agar sebagian dananya dapat dipakai untuk modal pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan oleh setiap negara yang menghasilkan devisa hasil ekspor yang menjadi haknya penuh sebagai pendapatan nasional.