PERTAMA, sepanjang yang penulis pahami, pola hubungan proses politik, proses teknokratik, dan proses birokratik dalam perumusan kebijakan publik cenderung bersifat vertikal, horizontal, dan fungsional. Namun bisa juga dapat bersifat top down dan bottom up atau sebaliknya.
Pola hubungannya bersifat mengikat dengan pengertian bahwa ketiga proses tersebut dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang utuh. Tapi boleh jadi bisa bersifat tidak mengikat dalam arti kebijakan publik yang diputuskan tidak sepenuhnya sesuai dengan rekomendasi yang dibuat melalui proses teknokratik dan proses birokratik yang bersifat bottom up karena ada faktor kepentingan politik yang harus diakomodasi. Kita tahu bahwa politik adalah kepentingan. Dan juga kita paham bahwa kebijakan publik pada dasarnya sebuah produk keputusan politik yang dibuat pemerintah.
KEDUA, mari kita belajar dari kisah minyak goreng. Perkembangan penyelesaiannya dilakukan secara vertikal top down. Diawali oleh adanya “kebijakan” presiden bahwa bahan baku minyak goreng dan minyak goreng dilarang ekspor sementara. Kebijakan ini masih bersifat arah yang akan dituju, dan belum menjadi tindakan pemerintah yang dituangkan dalam produk hukum. Mekanisme ini mestinya turun ke proses teknokratik yang memformulasikan tentang apa yang dimaksud dengan bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, misalnya menurut HS code atau menurut pohon industri. Kemudian didalami posisi penawaran dan permintaan serta analisis dampak jika pelarangan ekspor dilakukan.
Saat bersamaan, proses birokratik berjalan mempersiapkan produk hukum, bisa berupa Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri.Umumnya hasil kerja dari dua proses tersebut dilaporkan ke presiden untuk diambil keputusan final dengan kemungkinan ada perubahan atau tidak ada perubahan sama sekali.
KETIGA, jika alur proses semacam itu ditempuh secara taat azas, mestinya tidak akan terjadi “kegaduhan” dalam proses perumusan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng sehingga beritanya menjadi headline di media main stream ( cetak dan TV), serta di medsos, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kegaduhan ini yang menimbulkan sentimen negatif di ruang publik, sehingga memunculkan kritik keras di ruang publik yang cenderung noice, dan pada akhirnya menjadi kontra produktif. Reputasi, dan kredibilitas kebijakan menjadi lemah. Bagi yang menekuni masalah kebijakan publik tentu menyayangkan kenapa harus seperti itu.
Satu persepsi publik yang muncul adalah terjadi konflik kepentingan yang cukup tajam dalam mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Tapi apa mau dikata bahwa masalah minyak goreng telah digoreng menjadi isu politik yang melebar kemana – mana.
KEEMPAT, yang perlu diberi catatan adalah mari kita tidak membuat preseden buruk yang merugikan masyarakat dan pemerintah sendiri sebagai pembuat kebijakan publik. Produk kebijakan yang on – off, atau terkesan hit and run, seperti aturan tata niaga minyak goreng tidak terulang lagi. Research base policy harusnya dilakukan melalui proses teknokratik untuk mendapatkan gambaran yg obyektif atas permasalahan yang dihadapi .
Proses kejar tayang dalam pembuatan kebijakan publik harus dihindari terutama yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat banyak. Sentimen negatif harus dihindari, apalagi jika produsen CPO dan produk turunnya adalah perusahaan Tbk yang listed di bursa saham.
Balik lagi bahwa ujungnya kita harus menyampaikan tentang pentingnya tata ulang policy framework mengenai agrobisnis dan agroindustri berbasis CPO dan turunannya. Policy Framework ini penting untuk menjadi guideline dalam proses investasi, industri, dan perdagangan CPO dan produk turunannya.
Kita dan dunia internasional harus bisa memahami filsafat ekonomi industri berbasis CPO tersebut. Bagi Indonesia hadirnya industri CPO dan turunannya adalah menjadi kepentingan nasional utama untuk melakukan transformasi ekonomi. Proses transformasi pasti memerlukan teknologi, modal, kebijakan publik, dan pengakuan.
KELIMA, lebih dari itu, maka sebagai harapan tentu yang menjadi pilihan adalah sebuah kebijakan publik yang efektif, dalam arti dapat mengatasi masalah yang menjadi beban masyarakat luas,tidak malah justru menimbulkan masalah baru yang lebih ruwet. Penulis dapat memahami proses-proses mekanik semacam itu dalam pembuatan kebijakan publik. Seperti diketahui bahwa akar kebijakan publik adalah politik.
Kita tahu bahwa politik hakekatnya penuh dengan orientasi pada peran kekuasaan untuk melakukan alokasi sumber daya langka dalam rangka mencapai tujuan politik tertentu Karena itu, Rian Nugroho D menyebutnya sebagai fenomena bahwa kebijakan publik seperti “ditakdirkan”berada dalam aras konflik. Dalam kasus pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng nuansa konflik kepentingan cukup bisa dirasakan. Dan lebih dari itu terbaca juga. seperti terjadi perebutan sumber daya politik, baik sumber daya politik yang berasal dari ekonomi, sosial budaya, dan lain – lain.
KEENAM, secara teknis membuat kebijakan publik tidaklah begitu sulit karena sudah ada ilmunya. Yang tidak mudah justru ketika kebijakan publik dituntut harus menghindar dari datangnya kelompok interventionist dan kelompok crony capitalist yang ingin menarik manfaat sebesar-besarnya dari adanya kebijakan publik di satu sektor atau di sejumlah sektor. Tidak heran jika terjadi sejumlah kebijakan publik digugat melalui MK karena dinilai bertentangan dengan konstitusi atau melalui PERATUN untuk dibatalkan atau agar dilakukan revisi. Akhirnya, kita bersepakat dengan pendapat para ahli bahwa kebijakan publik berisi tentang kepentingan publik, bukan kepentingan pemerintah, penguasa, apalagi elit politik.
Jadi sepanjang mempunyai nilai untuk meningkatkan kehidupan publik, maka inilah karakter esensial kebijakan publik. Prosesnya tetap akan dilakukan melalui proses politik, proses teknokratik, dan proses birokratik.
Pola hubungannya secara normatif bisa bersifat vertikal, horizontal dan fungsional, atau bisa juga melalui mekanisme top down dan bottom up atau sebaliknya dengan merujuk pada penerapan azas demokrasi dan desentralisasi.