PERTAMA, kita sudah sering mendapatkan diskursus macam-macam tentang krisis ekonomi. Salah satunya dikatakan bahwa tidak ada satupun pakar yang bisa memperkirakan kapan krisis ekonomi akan terjadi. Juga tidak ada yang bisa memprediksi seberapa besar dampaknya, seberapa cepat efek penularannya, dan kapan akan usai.
KEDUA, krisis sebagai penyakit kambuhan boleh jadi benar karena kita anggap sebagai siklus ekonomi biasa. Mudah kambuh karena para penderita krisis tidak pernah kapok atau tidak pernah disiplin, dan mau berkomplentasi bahwa penyakit krisis itu adalah seringkali membuat derita bagi pemerintah,dunia usaha, dan masyarakat luas.
Derita yang paling menyakitkan adalah potensial membangkrutkan. Tapi harap dicatat bahwa krisis dapat dikatakan sengsara membawa nikmat. Nikmat bagi para pengelola sistem kapitalisme global. Mereka datang menawarkan dana talangan untuk para korban krisis.
Karena krisis sebagai penyakit kambuhan, maka saking sudah hafal dengan penyakitnya, para dokter langsung bisa bikin resep penyelamatan menurut konsep yang mereka yakini benar dan tepat Obatnya adalah generik, yaitu liberalisasi, dan Structural Ajusment Progam (SAP) . Resep ini ada dalam “farmakologi” IMF. yang disebut dengan sebutan Washington Concensus.
KETIGA, sengsara bagi korban karena krisis bisa menjatuhkan nilai mata uang sebuah negara, membuat negara menjadi miskin, sektor manufaktur menjadi bangkrut, harga properti berjatuhan,harga saham tidak ada nilainya, dan dapat mengeringkan likuiditas nasional suatu negara.
Sekarang ini, kalau menurut hemat penulis krisis ekonomi global itu sudah terjadi, tanpa harus menunggu pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut. Yang jelas dampak dari perang Rusia – Ukraina, rantai pasok yang mengalami gangguan, dan harga komoditas yang meningkat, khususnya harga bahan pangan dan energi yang naik signifikan, aktivitas perekonomian global telah mengalami penurunan signifikan.
Penyakit kambuhan ini sudah parah.Jika harus menunggu pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut, maka aktivitas ekonomi global sudah keburu kolaps dan memakan banyak korban. Pimpinan IMF sendiri mengatakan bahwa perekonomian dunia telah.gelap gulita, dan tahun 2023 krisis ekonomi global akan terjadi.Apakah gelap gulita = krisis,ini pertanyaan kita.
KEEMPAT, fakta yang dunia hadapi ini sejak COVID- 19 bertaburan di bumi dan merusak sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi penduduk dunia, aktivitas ekonomi praktis tidak bisa bergerak. Baru mau pulih sudah sakit lagi. Biaya pemulihan sudah milyaran dolar AS digelontorkan, hasilnya tidak maksimal karena kini datang lagi krisis serupa dan lebih kompleks.
Tidak hanya sekedar krisis keuangan saja, tapi juga mencakup krisis pangan dan energi, krisis kesehatan, dan yang paling ditakuti adalah krisis kepercayaan yang berpotensi menimbulkan kegelisahan sosial. Berarti duit lagi harus disiapkan untuk memitigasi risiko yang timbul. Boleh jadi lebih besar dari krisis 1997/1998.Hanya negara yang memiliki dana kontijensi dalam jumlah besar yang bisa mengatasi krisis secara mandiri.
Bagi yang tidak mempunyai cadangan dana, pasti akan mengandalkan sumber dana mitigasi yang berasal dari pinjaman.Akhirnya ketemu lagi jebakan utang. Kita tahu sejak pandemi COVID-19, jumlah utang global telah mencapai US$ 281 triliun atau sekitar 355% terhadap PDB global (data IIF) . Meningkat rata-rata 12,5% dibandingkan dengan kondisi sebelum ada pandemi COVID- 19.
KELIMA, krisis bagi golongan berpunya relatif cenderung tidak menjadi masalah, meskipun nilai asetnya tergerus oleh inflasi. Bagi kalangan tak mampu atau marginal tentu bebannya sangat berat,sehingga kelompok ini harus disubsidi oleh pemerintah agar mereka tetap survival sehingga dapat dicegah terjadinya kegelisahan sosial.
Institusi – institusi ekonomi yang bergerak di berbagai bidang usaha, baik BUMN /BUMD/BUMDES maupun usaha swasta dan UMKM harus diselamatkan untuk menghindari kebangkrutan massal yang.bisa menimbulkan PHK dan angka pengangguran absolut akan bertambah. Fundamental ekonomi bisa rontok jika erupsi krisisnya besar.
KEENAM, jika prediksinya krisis ekonomi akan terjadi di AS dan efek penularannya menyebar ke seluruh dunia , maka negeri ini yang akan selamat duluan karena diselamatkan oleh the fed. US$ kini telah berada di lumbungnya.
Cukup lama US$ akan menikmati masa “liburan” di kampungnya.. Mudiknya US$ menjadi bencana bagi nilai tukar mata uang negara-negara emerging economy karena mengalami pelemahan cukup tajam.
Likuiditas mata uang lokalnya bisa terkuras ketika hendak belanja barang dan jasa impor dan membayar cicilan utang pokok dan bunganya yang jatuh tempo. Pendapatan nasional dalam denominasi uang lokal nilai riilnya turun termakan inflasi. Karena itu, di saat seperti sekarang ini, banyak institusi bisnis dan masyarakat kelas menengah tengah tengah dan atas lebih merasa nyaman pegang US$ daripada pegang mata uang lokalnya.
KETUJUH, begitu tabiat krisis ekonomi dari waktu ke waktu. Kita tidak perlu repot-repot buat perbandingan antara krisis 1998, 2008,dan 2020 karena ujungnya akan menjadi sengsara membawa nikmat. Ujungnya perlu penyelamatan, butuh stimulus, dan bailout.
Jika pemulihan sudah terjadi,maka pasar modal akan mulai rame lagi, dan investor akan memborong kembali saham – saham yang harganya rontok pada saat krisis terjadi. Sekarang ini dana global berbasis US$ sedang ditarik dari emerging economy ke pusat kendalinya di AS.
Setelah itu dipompa kembali ke negara – negara emerging economy dalam bungkus stimulus dana talangan dan sebagainya. Yang ngatur distribusinya adalah IMF, WB setelah mendengar kajian lembaga rating internasional. Sudah balik dapat untung lagi,yaitu berasal dari bunga yang diterima dan laba kurs.
Setelah itu, the fed akan printing money untuk memperkuat likuiditas internationalnya di negara – negara emerging economy yang disalurkan melalui proxi – proxinya, baik sebagai state actor maupun non state actor.