PERTAMA,Local Currency Settlement ( LCS) menjadi bagian penting dari local content adalah sebuah keniscayaan. Azas kedaulatan dan kemandirian bisa tegak berdiri jika azas local content juga dijunjung tinggi sebagai national policy. Arahnya jelas yaitu mengurangi ketergantungan impor barang dan jasa, termasuk pengurangan penggunaan mata uang US$ untuk keperluan transaksi internasional.
KEDUA, penggunaan local currency dalam transaksi internasional nampaknya harus dimulai melalui kerjasama bilateral. Konsep Local Currency Settlement ( LCS), antara Indonesia dengan Jepang Malaysia Thailand, Tiongkok dan Korea Selatan sudah diperjanjikan untuk diterapkan sebagai awal dimulainya mengurangi ketergantungan terhadap US$ sebagai alat pembayaran dalam transaksi internasional. Diharapkan menyusul dapat diberlakukan secara regional di kawasan Asean, dan boleh jadi dapat diterapkan di antara negara -, negara G-20.
KETIGA kita berikan beberapa catatan terkait dengan lahirnya LCS tersebut dalam beberapa dimensi yang lebih luas, yakni : 1) pergeseran paradigma tentang globalisasi adalah lokalisasi memang terus bergulir dalam rangka meningkatkan kontribusi local content dalam perdagangan dunia. 2). satu fakta dapat dicatat bahwa aturan main globalisasi yang berjalan hingga kini@aq dinilai tidak adil. Kepentingan negara industri maju lebih diuntungkan daripada kepentingan negara berkembang. 3) pergeseran paradigma tersebut sudah lama diawali karena adanya aspirasi untuk menciptakan perdagangan global yang lebih adil 4) di saat yang sama muncul gagasan perlu mereformasi sistem cadangan devisa global. 5) upaya ini dilakukan untuk menyikapi globalisasi guna menuju dunia yang lebih baik dan lebih adil. 6) Hal yang tengah berlangsung sejatinya menjadi bagian penting dari upaya restrukturisasi tata ekonomi dunia baru agar tercipta titik keseimbangan baru dalam pengelolaan perekonomian dunia 7) yang pasti bahwa tata ekonomi dunia baru tersebut diharapkan dapat mengakomodasi kebangkitan kekuatan ekonomi Asia dan di berbagai belahan dunia yang lain di tahun – tahun mendatang.
KEEMPAT, tujuh catatan-catatan tersebut sudah lama bergaung tapi mewujudkan tata ekonomi baru yang lebih adil belum maksimal hasilnya, terbukti kesenjangan global celahnya masih lebar. Apalagi ketika isunya masuk ke ranah geopolitik, maka setiap upaya untuk melemahkan US$, pemerintah AS akan bereaksi keras karena dianggap dapat menggeser posisi hegemoni politik dan ekonominya di dunia. Waktu terjadi perang dagang antara AS dan Tiongkok saja, semua negara dibuat repot. Karena itu, soal LCS ini jangan diframing sebagai isu currency war. Kita tidak berharap ini terjadi, tapi sebuah realita harus bisa diterima bahwa dunia memang sudah membutuhkan tata ekonomi baru yang dapat menjamin stabilitas dan keadilan.
Perdagangan yang adil harus dimaknai bahwa semua transaksi internasional baik yang terjadi secara bilateral, regional harus bisa diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem perdagangan global. Ini berarti bahwa globalisasi harus bisa mengakomodasi sistem desentralisasi dan regionalisasi yang aturan mainnya secara independen dapat disepakati bersama oleh negara pihak,tanpa intervensi dari lembaga – lembaga multilateral seperti IMF, WTO dan sebagainya.
KELIMA, terkait dengan catatan – catatan tersebut, maka penerapan LCS secara bilateral seperti yang dilakukan Indonesia dengan sejumlah negara dapat menimbulkan sejumlah situasi baru yakni : 1) perhitungan FOB price produk ekspor dan CIF untuk barang impor akan mengalami perubahan nilai karena dihitung dalam mata uang masing – masing negara. 2) perubahan nilai tersebut dapat menjadi signifikan, terutama bagi Indonesia akibat tidak menggunakan US$ dalam transaksinya.Faktor selisih kurs menjadi penentunya yang saat ini untuk 1 US$ kursnya terhadap rupiah sekitar Rp 14. 700. Sementara itu, jika transaksi dengan Tiongkok menggunakan mata uang masing – masing yang kursnya saat ini sekitar Rp 2.127, 55 per 1 Yuan, maka nilai selisih kurs adalah Rp 12.572,45.3) Selisih kurs sebesar Rp 12. 572,45 tersebut selama ini dinikmati oleh AS sebagai pemilik US$, padahal kita tidak sedang melakukan transaksi dagang dengan AS. Jadi, negeri paman Sam ini hanya ongkang – ongkang kaki menikmati rente dari perputaran US$ nya dalam jumlah besar di dunia. Rente itu diperoleh dari setiap transaksi antar negara di berbagai belahan dunia yang pembayarannya menggunakan US$. 3). perputaran US$ tersebut dikendalikan oleh The Fed. Jika terjadi inflasi global, maka suku bunga acuan the Fed akan dinaikkan untuk meredam peredaran US$ sampai tingkat inflasinya melandai ke titik 2% yg dianggap inflasi normal bagi AS.
Kita bisa mengalami kerugian minimal dua kali karena cost of fund yang naik akibat kenaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap US$. Kerugian itu harus dibayar mahal ketika BI harus melepas cadangan dolarnya untuk menstabilkan rupiah.
KEENAM, sangatlah wajar jika De-Dolarisasi akan banyak dilakukan oleh banyak negara di dunia. Wajar karena menimbulkan ketidak adilan.
Wajar harus dilakukan karena adanya tuntutan agar terbentuk tata ekonomi baru yang makin berimbang. Catatannya adalah bahwa De-Dolarisasi butuh waktu lama karena prosesnya juga tidaklah mudah. Apalagi US$ dalam peredaran untuk mendukung transaksi internasional mencapai sekitar 70%,dan sebagian besar cadangan devisa global juga disimpan dalam mata uang yang sama. Kita hidup dalam situasi saling ketergantungan. Namun di saat yang sama semua negara berdaulat mempunyai hak untuk mengurangi ketergantungan, dan upaya ini merupakan janji pembangunan yang bersifat universal.
Kita harapkan progam LCS akan mampu mengubah postur ekonomi yang makin berstruktur kuat, khususnya bagi Indonesia. Salah satu keberhasilan LCS yang kita harapkan adalah makin rasional nya kurs rupiah terhadap US$ dan valas lain yang kuat dengan tingkat selisih kurs yang tidak lebar.
Bagaimanapun dunia masih membutuhkan US$ sebagai alat pembayaran internasional. Tapi dunia juga membutuhkan alat pembayaran internasional baru yang dapat dimulai melalui model LCS. Pada saatnya transaksi antar negara G-20. diharapkan dapat menggunakan mata uangnya masing – masing di waktu mendatang. Bagi Indonesia, menerapkan LCS bukan segala – galsnya.
Membangun daya saing bagi Indonesia adalah yang segala galanya. Tolok ukur capaiannya adalah bila local content ada di berbagai belahan dunia sebagai indikator bahwa kontribusi Indonesia dalam global value chain semakin besar.