Gemabisnis.com, JAKARTA–Program mandatori biodiesel di Indonesia hingga saat ini sudah berjalan selama 14 tahun. Program tersebut memberikan pengaruh yang baik untuk ekonomi, masyarakat, dan lingkungan. Program biodiesel Indonesia juga menjadi yang terbesar, perpaduan tertinggi, dan terlama dibandingkan program mandatori sejenis di negara-negara lainnya.
Kebijakan program mandatori biodiesel sudah menunjukkan perkembangan menjanjikan, sehingga hal ini akan meningkatkan produksi biodiesel di Indonesia. Hal ini menjadi sinyal positif mengingat konsumsi biofuel di dunia juga akan semakin meningkat.
“Program mandatori biodiesel di negara kita merupakan inisiatif dan pencapaian yang luar biasa, dan bagaimana perkembangan ke depannya patut kita perhatikan. Bersama dengan negara-negara produsen minyak sawit lainnya, kami ingin menunjukkan mandatori biodiesel sebagai bagian dari event Road to G20 yang diadakan bersamaan dengan meeting G20 Energy Transitions Working Group di Yogyakarta,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam sambutannya secara virtual pada acara 3rd Palm Biodiesel Conference 2022, Kamis (24/03/2022).
Menko Airlangga menegaskan kembali bahwa Indonesia berkomitmen mengakselerasi transisi energi bersih melalui kebijakan biodiesel untuk meraih net zero emission. Komitmen menggunakan minyak sawit sebagai bahan dasar biofuel akan mendukung Indonesia mencapai target keamanan energi dan bauran energi sebesar 23% di 2025.
Dalam 21st United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 2015 di Paris, Presiden Joko Widodo juga telah menyatakan determinasi Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% melalui business as usual pada 2030, dan bisa mencapai 41% jika mendapatkan bantuan pihak internasional.
“Industri minyak sawit siap mendukung visi tersebut, karena penggunaan B30 di 2021 saja diperkirakan sudah menurunkan emisi GRK sebanyak 24,6 juta ton CO2, dan jumlah ini setara dengan 7,8% dari target pencapaian energi terbarukan di 2030,” jelas Menko Airlangga.
Produksi B30 di 2021 mencapai sekitar 9,4 juta kiloliter atau setara dengan 64,14 juta barel. Konversi dari CPO ke B20 telah meningkatkan nilai tambah hingga Rp13,19 triliun, untuk menjaga cadangan devisa senilai US$2,64 miliar, dari pengurangan impor bahan bakar fosil.
“Saya ingin menekankan peran kebijakan biodiesel yang berpengaruh terhadap ekonomi, misalnya untuk memenuhi permintaan dalam negeri, penciptaan lapangan kerja, ekonomi hijau, stabilitas harga minyak sawit, dan pendapatan petani kecil, yang nantinya akan berkontribusi dalam pencapaian United Nations 2030 Sustainable Development Goals,” papar Menko Airlangga.
Biodiesel, ungkap Menko Airlangga, tidak akan berhenti sampai B30 saja, tetapi juga tetap dikejar agar green fuel dapat menggantikan minyak diesel, lalu green gasoline dapat menggantikan gasoline, dan bioavtur dapat menggantikan fossil avtur.
Indonesia juga akan semakin memperkuat strategi di masa depan dengan berkolaborasi dengan negara-negara produsen minyak sawit lainnya, dan menggarisbawahi kemajuan serta kepemimpinan negara produsen utama seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Kolombia. Hal ini akan menguatkan mandat biodiesel sebagai bagian penting dalam industri minyak sawit.
“Saya juga ingin mendorong Council of Palm oil Producing Countries (CPOPC) supaya terus berkolaborasi dengan industri dan asosiasi, dalam penguatan kerja sama dengan negara produsen lainnya maupun negara konsumen, untuk memprioritaskan mandat biodiesel ke depannya. Mari kita gencarkan upaya dalam membangun pemahaman yang sama, dan juga penerimaan dari negara-negara konsumen, untuk menggunakan biodiesel berbasis kelapa sawit, karena ini berkelanjutan, bersih, dan terbarukan,” tutup Menko Airlangga.
Turut hadir dalam acara tersebut yakni antara lain Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Datuk Zuraida Kamaruddin, Direktur Eksekutif CPOPC Datuk Yusof Basiron, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) M. P. Tumanggor, dan Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan. (IK)