Gemabisnis.com, JAKARTA – Rencana Uni Eropa (UE) untuk menerapkan Uji Tuntas (due diligence) untuk memastikan bahwa minyak kelapa sawit yang masuk ke wilayahnya bebas dari deforestasi sebaiknya ditanggapi secara positif oleh seluruh pemangku kepentingan industri sawit di tanah air.
Demikian disampaikan Mardi Minangsari, Presiden Perkumpulan Kaoem Telapak, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, dalam sebuah webinar hari ini Selasa (31/8) bertema “Menata Kebun Petani Sawit Mandiri: Tantangan dan Peluang Petani di Era Baru Kebijakan Komoditas Global” yang diselenggarakan atas kerjasama Mongabay Indonesia dan Perkumpulan Kaoem Telapak.
Menurut Mardi, pemerintah dan semua pemangku kepentingan industri perkelapasawitan di tanah air sebaiknya memandang rencana penerapan regulasi Uji Tuntas di UE itu sebagai sebuah peluang bagi Indonesia untuk menjadi pelopor perbaikan tata kelola sawit yang pada akhirnya akan meningkatkan reputasi sawit Indonesia secara global.
Klausul kemitraan dalam peraturan Uji Tuntas, lanjut Mardi, dapat digunakan untuk mendapatkan dukungan dalam upaya perbaikan tata kelola sawit. Namun demikian, Mardi menegaskan bahwa prasyarat utama perbaikan tata kelola sawit adalah political will yang kuat khususnya dari pemerintah.
Mardi juga mengakui bahwa upaya perbaikan tata kelola tersebut bukanlah hal baru bagi Indonesia karena selama ini pemerintah sudah memulai upaya tersebut. Karena itu, Mardi menyarankan agar pemerintah bersama semua pemangku kepentingan perkelapasawitan Indonesia untuk melanjutkan dan terus mendorong sejumlah inisiatif atau proses yang sudah berjalan seperti meneruskan moratorium dan evaluasi perizinan sawit yang ada, menyelesaikan masalah sawit di kawasan hutan dan penegakan hokum, perbaikan P&C ISPO dan pedoman pelaksanaan termasuk mekanisme penyelesaian keluhan sehingga menjadi kredibel.
Hal lainnya yang juga perlu terus didorong dan dilanjutkan prosesnya adalah peremajaan sawit rakyat, percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat, penyelesain konflik tenurial terkait perkebunan sawit dan transparansi dan perlibatan seluruh stakeholders dalam proses-proses perbaikan tata kelola tersebut, tambah Mardi.
Sebagaimana diketahui Komisi Eropa menerbitkan rancangan peraturan mengenai zero-deforestation pada November 2021 untuk meminimalkan konsumsi komoditas dan produk ‘berisiko deforestasi’. Sawit merupakan salah satu dari enam komoditas yang akan diatur dalam regulasi tersebut.
Peraturan tersebut mewajibkan seluruh operator dan trader melakukan Uji Tuntas untuk memastikan komoditas-komoditas tersebut legal dan tidak menyebabkan atau terasosiasi dengan deforestasi dan degradasi hutan sebelum memasukkannya ke pasar UE.
UE, tambah Mardi, juga akan menerapkan benchmarking atau penilaian risiko bagi Negara-negara pemasok. Komoditas yang berasal dari Negara berisiko tinggi akan diperiksa lebih sering. Selain itu, pembuktian ketertelusuran (traceability) akan menjadi poin penting dalam pemenuhan persyaratan Uji Tuntas.
“Pelanggaran terhadap pearturan peraturan ini dapat dikenai sanksi denda maupun penjara. Saat ini rancangan peraturan Uji Tuntas ini sedang dibahas di Parlemen Eropa dan diperkirakan peraturannya akan terbit pada akhir tahun ini,” tutur Mardi.
Menurut Mardi, regulasi baru UE itu berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap sawit Indonesia antara lain berupa tertutupnya pasar UE bagi produk-produk kelapa sawit yang tidak memenuhi level risiko nihil atau dapat diabaikan dalam Uji Tuntas.
Petani swadaya dapat menjadi pihak yang paling terkena dampak dari peraturan tersebut sehingga kehidupan atau matapencaharian petani swadaya yang masuk dalam rantai pasok sawit ke UE akan terancam. Selain itu, kemungkinan penerapan segregasi bahan baku berpotensi menimbulkan biaya tinggi.
Dampak negatif tersebut sangat mungkin terjadi karena masih banyaknya persoalan yang meliputi dunia perkelapasawitan Indonesia seperti masih rendahnya kepatuhan hukum (legal compliance) mulai dari proses perizinan yang bermasalah hingga pengelolaan perkebunan yang tidak sesuai dengan perundang-undangan.
Mardi mengatakan pengembangan kelapa sawit di Indonesia juga telah menyumbang deforestasi dan kehilangan keragaman hayati. Indonesia telah kehilangan 27,5 juta ha hutan selama 35 tahun terakhir dengan 7,5 juta ha diantaranya untuk pertanian (2,9 juta ha disebabkan ekspansi kelapa sawit).
Perkebunan kelapa sawit, lanjut Mardi, juga menjadi penyumbang konflik agraria terbesar. Dari tahun 2012 hingga 2021 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 3.537 konflik agraria dengan total 1.380 kasus terjadi di sektor perkebunan dimana kelapa sawit mendominasi sumber konflik (876 konflik). (YS)