PERTAMA, judul tersebut diformulasikan berdasarkan satu pemahaman bahwa ekonomi dunia mempunyai liability untuk bisa atasi 3 isu besar, yakni beban utang global, pemanasan global, dan sistem cadangan devisa global.
Ketiga isu tersebur cenderung permanen, dan harusnya forum G-20 dimanapun digelar, mestinya selalu membahas tiga topik utama tersebut. Agenda-agenda lainnya bisa saja dibahas karena dinamika lapangan memunculkan isu yang dianggap penting bagi dunia. Misalnya invasi Russia ke Ukraina yang telah menimbulkan dampak serius dalam hubungan politik dan ekonomi antar negara.
KEDUA, beban utang global sudah sangat tidak rasional diukur dengan ratio apapun. Selama masa pandemi COVID-19, utang global menggelembung menjadi 355 % terhadap PDB dunia. Nilai nominalnya adalah US$ 281 triliun. Data tersebut dihitung oleh Institute of International Finance (IIF). Padahal, menurut IMF, PDB global pada tahun 2021 hanya sekitar US$ 94 triliun. Pertanyaan awamnya adalah bagaimana cara bayarnya? Satu jawaban paling klasik adalah bayar pakai cadangan devisa.
Account Cadangan Devisa umumnya diisi dari dana pinjaman, capital inflow, dan dari hasil ekspor barang dan jasa. Jadi faktor kemampuan bayar menjadi variable utama ketimbang bersandar pada rasio yang ujungnya cenderung dilanggar karena kepepet butuh dana segar untuk mendukung belanja dan pembiayaan akibat defisit fiskalnya makin Iebar. Penyebab yang umum terjadi karena goverment failure atau private failure atau gabungan keduanya.
KETIGA, pemanasan global, ini telah menjadi isu paling menakutkan karena ancaman yang paling serius adalah alam seisinya akan punah jika pemanasan global tidak bisa diatasi bersama ( recover together).
Siklus ekonomi dan bisnis yang berputar cepat yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi, telah menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Ikhtiyar yang dicoba untuk mendinginkan pemanasan global butuh proses berkelanjutan. Disini jelas butuh likuiditas, teknologi, dan kerangka regulasi,serta sadar lingkungan dari penghuni bumi.
Karena terjadi dalam siklus ekonomi dan bisnis, maka semua negara harus punya tanggung jawab moral, intelektual, dan material untuk berkontribusi pada upaya pendinginan bumi.
Ekonomi menghadapi dua masalah besar overheating, yaitu overheating karena inflasi, dan overheating akibat pemanasan global. Kini para pemimpin dunia dibikin limbung dan keder melihat fenomena overheating karena jika gagal diatasi maka wes ewes bablas, dan bisa bar ji barbeh (bubar sini bubar kabeh) akibat sistem politik, ekonomi, dan budaya gagal menjawab tantangan yang ada. Karena itu, suka tidak suka harus DO IT TOGETHER, CUAN TOGETHER, STRONG TOGETHER.
KEEMPAT, keniscayaan yang tidak bisa diabaikan adalah bahwa semua negara harus mempunyai cadangan devisa dalam jumlah besar agar bisa bayar utang, dan bisa membenahi bumi yang memanas, dan harga berbagai barang dan jasa yang naik dan cenderung sulit turun.
Jangan pernah berpikir bahwa harga akan turun dan kembali seperti semula, Mengapa demikian? Karena seluruh komponen pembentuk harga barang dan jasa di muka bumi rata–rata mengalami kenaikan termakan inflasi atau karena sebab lain yang biasa disebut faktor non ekonomi.
Setiap terjadi titik keseimbangan baru, harga yang terbentuk tidak selalu harus kembali pada harga sebelumnya. Mengapa demikian? Karena semua variable pembentuk harga, nilainya cenderung ter-valuasi.
Valuasi terjadi dan harus dilakukan karena faktor beban biaya keekonomian, biaya sosial, dan biaya lingkungan secara gradual mengalami kenaikan. Misal , dulu tidak ada pajak karbon, sekarang akan diberlakukan pajak karbon.
Contoh lain misalnya ongkos pengelolaan lingkungan butuh pengadaan teknologi ramah lingkungan yang investasinya tidak murah. Karena itu, negara yang tidak memiliki cadangan devisa dlm jumlah besar (termasuk cadangan fiskal), hidupnya bisa tidak tenang, karena khawatir tidak sanggup bayar global liability maupun bayar liability di negaranya masing – masing.
Karena ingin survival, maka setiap negara dituntut harus memiliki cadangan devisa dan cadangan fiskal dalam jumlah lebih dari cukup, kalau tidak mau masuk jebakan utang. Tidak hanya itu, bahwa setiap negara juga harus mempunyai cadangan pangan dan energi.
KELIMA, persoalannya menjadi seru dan menimbulkan kecemburuan karena cadangan devisa sebagian besar disimpan dalam mata uang US$. Ini tidak adil, dan AS terkesan mau enak sendiri untuk memonopoli kedudukan US$ nya sebagai mata uang kuat di dunia hingga akhir zaman.
Bentuk monopoli yang dipertahankan adalah US$ tetap harus dipakai dalam transaksi global dan disimpan sebagai cadangan devisa . Wajar jika kini muncul ancaman perang currency untuk melawan dominasi US$ dalam transaksi internasional.
Misal, sejumlah negara mulai menerapkan perjanjian Local Currency Settlelment (LCS) secara bilateral. Jauh – jauh Stiglitz melihat bahwa fenomena itu tidak sehat, sehingga beliau menulis dalam bukunya berjudul Making Globalization Work yang salah satu topiknya membahas tentang pentingnya Reformasi Sistem Cadangan Devisa Global.
KEENAM, beban utang global, beban akibat pemanasan global dan reformasi sistem cadangan devisa global menjadi mendesak untuk dapat diatasi bersama oleh negara maju maupun negara berkembang.
Kishore Mahbubani menyampaikan bahwa waktunya untuk merestrikturisasi tata dunia baru telah datang. Kita harus melakukannya sekarang. Rasanya dunia memang butuh suasana baru atau semacam aturan main baru agar tiga isu global yang cenderung bersifat laten tersebut dapat diatasi bersama antara negara maju dan negara berkembang.
Menarik apa yang disampaikan PM India Mamon han Shingh, tahun 2006,yaitu 1) Perlu aturan main baru yang dapat memfasilitasi kebangkitan secara damai negara – negara baru di Asia. 2).Reformasi dan restrukturisasi lembaga – lembaga global perlu dilakukan bersama seperti PBB, dan Dewan Keamanan, serta manajemen sistem perdagangan multateral, proteksi lingkungan hidup, dan keamanan suplai pangan dan energi, dunia. 3).Restrukturisasi akan terbukti sulit, tetapi sekaligus juga mudah. Akan sulit karena tidak ada pemimpin natural untuk melakukan hal ini, sejak Barat menjadi bagian dari masalah. Not easy but very hard.
Inilah dilema dan trade off paling abadi dalam hubungan internasional antar negara di dunia,sehingga menciptakan zona damai dan zona makmur di dunia menjadi barang mahal. Trade off dalam 3 isu global terjadi antara asset and liability yang posturrnya tidak lagi berimbang.