Gemabisnis.com, JAKARTA – Volume produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia selama tahun 2022 mengalami penurunan sebesar 0,34% menjadi 46,729 juta ton dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 46,888 juta ton akibat berbagai faktor langsung dan tidak langsung yang sangat berpengaruh pada realisasi produksi.
Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam keterangan persnya hari ini menyatakan industri perkelapasawitan Indonesia di tahun 2022 diwarnai dengan berbagai kejadian yang tidak biasa. Berbagai kejadian tersebut diantaranya cuaca yang ekstrim basah, lonjakan kasus COVID-19 di bulan Februari, dimulainya perang Ukraina-Rusia di bulan Februari, harga minyak nabati termasuk minyak sawit yang sangat tinggi, harga minyak bumi yang sangat tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah 28 April-23 Mei, harga pupuk yang tinggi dan sangat rendahnya pencapaian program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
“Kejadian tidak biasa tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja industri sawit Indonesia baik dalam produksi, konsumsi, maupun ekspor,” tutur Mukti.
Secara teknis, lanjut Mukti, cuaca ekstrim basah mengganggu aktivitas serangga penyerbuk dan kegiatan panen, pupuk yang mahal dan sulit diperoleh mengganggu kegiatan pemeliharaan tanaman, pelarangan ekspor menyebabkan buah tidak dipanen tidak hanya pada periode pelarangan tetapi juga beberapa bulan sesudahnya ketika stok masih sangat tinggi. Sementara itu, program PSR tidak mencapai target dan pertambahan luas areal yang secara total hanya 600.000 ha dalam lima tahun terakhir akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit, menyebabkan hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru.
“Harga yang sangat tinggi juga menyebabkan penundaan replanting oleh banyak pekebun sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya lebih rendah menjadi lebih banyak,” tembahnya.
Kondisi tersebut berkontribusi terhadap pencapaian produksi CPO tahun 2022 sebesar 46,729 juta ton yang lebih rendah dari produksi tahun 2021 sebesar 46,888 juta ton dan merupakan tahun ke-4 berturut-turut dimana produksi cenderung terus turun/stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia.
Menurut Mukti, volume ekspor CPO dan produk turunannya selama tahun 2022 juga mengalami penurunan signifikan menjadi 30,803 juta ton, lebih rendah dari tahun 2021 sebesar 33,674 juta ton, dan merupakan tahun ke-4 berturut-turut dimana ekspor turun dari tahun ke tahun.
Namun demikian, nilai ekspor CPO dan produk turunannya pada tahun 2022 mengalami kenaikan menjadi US$39,28 miliar (CPO, olahan dan turunannya), lebih tinggi dari tahun 2021 yang mencapai US$35,5 miliar. Hal ini terjadi karena harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari harga tahun 2021. Sepuluh negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia berturut-turut adalah China, India, USA, Pakistan, Malaysia, Belanda, Bangladesh, Mesir, Rusia dan Italia. Peringkat USA naik dari peringkat 5 pada tahun 2020 menjadi peringkat 3 sebagai negara pengimpor utama produk sawit Indonesia pada tahun 2022.
Di sisi lain konsumsi CPO dan produk turunnnya di pasar dalam negeri selama tahun 2022 mencapai 20,968 juta ton, lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 18,422 juta ton. Konsumsi didominasi untuk industri pangan sebesar 9,941 juta ton yang lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 8,954 juta ton dan lebih tinggi dari 2019 sebelum pandemi sebesar 9,860 juta ton. Konsumsi untuk industri oleokimia mencapai 2,185 juta ton yang hanya 2,8% sedikit lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 2,126 juta ton dan jauh lebih rendah dari kenaikan konsumsi 2019-2020 sebesar 25,4% dan 2018-2019 sebesar 60% yang diduga berhubungan dengan situasi pandemi COVID-19. Konsumsi untuk biodiesel 2022 mencapai 8,842 juta ton yang lebih tinggi dari konsumsi 2021 sebesar 7,342 juta ton.
Mukti mengatakan dengan realisasi produksi, konsumsi dan ekspor minyak sawit tersebut, maka stok minyak sawit di dalam negeri di akhir tahun 2022 diperkirakan mencapai 3,658 juta ton. Berdasarkan laju pertumbuhan produksi dan konsumsi, maka faktor-faktor penghambat pertumbuhan produksi harus segera diatasi.
Menurut Mukti, kondisi yang mempengaruhi industri sawit sepanjang tahun 2022 diperkirakan masih akan mempengaruhi kinerja sawit tahun 2023. Produksi diperkirakan masih belum akan meningkat, sementara konsumsi dalam negeri diperkirakan akan meningkat akibat penerapan kewajiban B35 mulai 1 Februari 2023. (YS)