PERTAMA, semua negara dapat dipastikan membutuhkan current account (transaksi berjalan). Kebutuhan itu datang karena semua negara terlibat pada kegiatan transaksi internasional. Pada setiap transaksi yang berjalan diharapkan dapat menjamin bahwa setiap aktivitas yang dilakukan berkontribusi terhadap pertumbuhan, dan stabilitas perekonomian dalam negeri, serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Dengan cara pandang tersebut, maka arus devisa yang masuk dan keluar menjadi bagian tak terpisahkan dari pencapaian kinerja ekonomi domestik. Hukum besinya mengupayakan agar arus devisa yang masuk sebagai sumber pendapatan harus lebih besar dari arus devisa yang keluar sebagai sumber pembayaran, transfer dan repatriasi serta pembayaran yang lain.
KEDUA, itulah pakem yang berlaku universal. Proses akuntansinya sangat sederhana dan tidak rumit. Hal yang “memberatkan” sebagai effort justru ketika berhadapan dengan realita bahwa menghimpun pendapatan ternyata tidak semudah ketika kita melakukan sejumlah pembayaran sebagai konsekuensi dari berbagai kewajiban yang harus dipikul atau harus dibayar pada satu periode tertentu. Karena itu, pengelola neraca transaksi berjalan di BI dan bank-bank sentral umumnya selalu memperhatikan kinerja transaksi berjalannya sebagai satu faktor penting untuk dianalisis secara periodik. Tiga hal utama yang selalu direkamnya adalah : 1) transaksi ekspor impor barang dan jasa. 2). pos pendapatan primer. 3). pos pendapatan sekunder.
KETIGA, kinerja yang selalu menjadi harapan dan target, hanya satu, yaitu tidak mengalami defisit transaksi berjalan berkelanjutan. Hal yang sama juga kita harapkan agar anggaran negara terus menerus tidak mengalami defisit. Defisit diusahakan untuk dihindari karena paling tidak ada dua alasannya, yaitu beban liabilitas bertambah besar, dan mencari cara bagaimana beban itu bisa diubah menjadi manfaat. Jadi, jika kita ingin tahu lebih obyektif tentang kontribusi pada kegiatan ekonomi internasional, maka tidak cukup bagi para analis kebijakan hanya fokus menganalisis kinerja neraca perdagangan saja. Lebih dari itu harus juga melihat kinerja neraca transaksi berjalan. Arus devisa masuk pada dasarnya merupakan bagian dari penguatan likuiditas nasional. Arus devisa keluar dalam jumlah besar pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai faktor yang dapat menggerus kecukupan likuiditas untuk membiayai transaksi internasional. Karena itu, salah satu faktor untuk mengukur fundamental ekonomi kuat atau rapuh adalah besarnya cadangan devisa yang dimiliki suatu negara. Besar kecilnya tidak ada standar nominalnya. Yang penting cukup dapat mengcover pembiayaan internasional. Misal cukup untuk membiayai kebutuhan impor untuk 4 bulan sebagai standar internasional. Berarti lebih dari 4 bulan dianggap aman dan jika kurang dari 4 bulan, maka cadangan devisa posisinya dapat dinilai tidak aman.
KEEMPAT, itulah diskursus kebijakan moneter, bahkan pada ranah kebijakan fiskal yang paling sederhana untuk difahami. Satu hal yang bisa difahami relasi antara kebijakan moneter dan fiskal adalah bahwa kedua kebijakan tersebut menempatkan faktor pentingnya pendapatan negara sebagai sumber pembiayaan. Dimensi posturnya juga hanya ada dua, yakni soal surplus atau defisit pada neraca transaksi berjalan, dan pada kebijakan fiskal, kita juga dapat disuguhi neraca APBN yang bisa defisit, bisa berimbang, dan bisa juga surplus. Sebagai diskursus lain yang bersifat pragmatis juga dapat difahami bahwa dengan membaca dan memahami profil neraca dagang, neraca transaksi berjalan/neraca pembayaran, dan neraca keuangan negara, kita sebenarnya sudah tahu tentang profil ekonomi pada periode tertentu. Dari situ seluruh unsurnya dapat dianalisis sesuai kebutuhan dengan menggunakan metodologi dan parameter yang tersedia. Pandangan ini ada benarnya, dan ketika penulis membaca satu tulisan, menemukan sebuah pendapat bahwa ketika sektor manufaktur AS mengalami kemunduran akibat daya saingnya kalah dari produk China, maka data makronya langsung terbaca pada neraca dagang, neraca pembayaran, dan APBNnya mengalami defisit. Apa yang terjadi dari situasi tersebut. Satu informasi memberikan jawaban bahwa China sebagai pesaing utama AS berhasil tampil unggul di banyak lini, yakni menjadi pemasok, kreditor, sekaligus menjadi investor dan banker untuk konsumen dan pemerintah AS.
KELIMA, kinerja ekonomi Indonesia dilihat dari profil neraca dagang neraca transaksi berjalan/neraca pembayaran, dan APBN harus terbaca sehat. Jika mengalami defisit, harus dapat dipastikan bahwa defisitnya tetap dapat terjaga atau masih dalam ambang batas aman. Meskipun demikian, defisit adalah beban, jika berlanjut tentu bisa berdampak buruk karena mengancam struktur likuiditas dan menjadi indikator ekonomi tidak sehat. Karena itu, bagi bank sentral seperti BI selalu menaruh perhatian pada kinerja transaksi berjalan. Defisit pada neraca ini bisa membuat rasa tidak aman dalam mengelola Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Sebab itu, BI selalu menaruh harapan besar agar kebijakan investasi, industri dan ekspor harus dikelola dengan sebaik baiknya agar transaksi berjalan tidak terancam defisit.
KEENAM, sebab itu, sebagai para analis kebijakan, mereka harus mendalami tiga aspek sekaligus yaitu transaksi berjalan, transaksi modal dan transaksi finansial. Berarti para analis kebijakan investasi, industri dan perdagangan juga harus memiliki kompetensi untuk menganalisis tentang transaksi berjalan, transaksi modal, dan transaksi finansial. Sebagai catatan dapat disampaikan bahwa seperti halnya rupiah, devisa juga penting harus kita himpun karena keduanya menjadi sumber likuiditas penting bagi pembiayaan pembangunan dan investasi.
Ke depan, FDI yang kita undang masuk harus menjadi penyumbang DHE yang besar dari ekspor barang dan jasa. Kalau FDI masuk ke Indonesia hanya mau menguasai pasar dalam negeri, maka investor model ini, sebaiknya tidak layak diberikan karpet merah kedatangannya karena akan membuat posisi transaksi berjalan selalu terancam defisit. Defisit transaksi berjalan sudah berlangsung sejak tahun 2011 Kurs rupiah pada tahun 2011 Rp 9.000/US$. Defisit transaksi berjalan yang tak kunjung menjadi surplus, kurs rupiah terhadap US$ merangkak naik menjadi Rp 14.445/US$ pada tahun 2019. Atau dalam kurun waktu sekitar 8 tahun mengalami pelemahan nilai tukar 60,5%. Tidak salah jika BI bersama pemerintah berniat agar DHE dapat ditempatkan di dalam negeri dalam waktu yang relatif lama untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Di sisi lain, nampaknya pemerintah juga berkepentingan untuk menjaga status rating utang agar berada pada posisi Invesment Grade. Padahal sesungguhnya juga diperlukan bahwa DHE dapat pula ditempatkan sebagian pada Rekening Dana Investasi Pemerintah untuk membangun industri strategis guna menekan penggunaan devisa. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali posisi neraca transaksi berjalan harus selalu surplus. Suka tidak suka, impor barang dan jasa harus bisa dikontrol. Pun demikian, secara terbatas arus keluar devisa juga perlu dikontrol. Misal, semua hasil investasi asing di dalam negeri, sebagian harus diinvestasikan kembali untuk ekspansi bisnis.