Kasus Corona (COVID-19) di tengah penyebaran varian Omicron terus melonjak. Di Indonesia pekan lalu masih 16 ribuan kasus, kini kasus warga yang terpapar virus tersebut jumlahnya sudah 37 ribuan/ harinya.
Jika awal Pebruari 2022 jumlah kasus Corona di Indonesia masih mencapai 16.021/hari, maka pada pekan kedua, tepatnya tanggal 08 Pebruari 2020, jumlah kasus hariannya sudah mencapai 37.492 kasus.
Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten menjadi kontributor terbesar dengan menyumbangkan sekitar 80 % dari jumlah kasus yang muncul.
Diperkirakan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia akan meningkat seiring dengan percepatan penularan varian Omicron.
Merebaknya kembali kasus COVID itu langsung berdampak negatif bagi pergerakan masyarakat dan kegiatan ekonomi. Melihat perkembangan kasus COVID-19, pemerintah langsung menaikkan status daerah-daerah yang banyak bermunculan kasus itu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa wilayah aglomerasi Jabodetabek, DI Yogyakarta, Bali dan Bandung Raya akan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3.
Dengan dinaikkannya status menjadi level 3, tentunya ada konsekuensi yang harus dilakukan oleh daerah-daerah itu. Pengunjung mal, restoran, tempat hiburan maupun tempat ibadah dibatasi jumlahnya.
Pembatasan pergerakan masyarakat dan kegiatan usaha merupakan hal yang tidak disukai masyarakat dan pemerintah karena hal itu akan membuat kegiatan ekonomi yang sudah mulai pulih kembali melemah.
Pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) akan kembali terpukul dengan adanya pembatasan pergerakan dan kegiatan usaha akibat merebaknya kembali COVID-19.
Hal ini sudah terlihat dengan ditutupnya sekolah-sekolah, pedagang makanan, kantin sekolah terpaksa ikut menutup usahnya juga. Kondisi ini juga terjadi pada pedagang makanan dan minuman di perkantoran yang kembali menerapkan work from home (WFH) terhadap karyawannya.
Makin Berat
Beban masyarakat kecil dalam menghadapi penyebaran COVID-19 kali ini juga terancam makin berat mengingat program pemerintah untuk membantu ekonomi warga yang terdampak oleh meluasnya kasus COVID-19 di tahun 2022 ini tidak sebesar tahun sebelumnya.
Di tahun 2020 dan 2021, pemerintah banyak mengelontorkan program bantuan untuk mengurangi beban masyarakat akibat pandemi COVID-19. Bantuan berupa bahan pangan maupun permodalan tidak hanya diberikan oleh pemerintah pusat saja tetapi juga dikucurkan oleh pemerintah daerah.
Di tahun 2022, program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang menjadi dasar bagi pemberian bantuan ke masyarakat, memang masih ada. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengalokasikan Rp 455,62 triliun untuk program PEN di tahun 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa anggaran PEN tersebut akan akan dialokasikan untuk kesehatan sebanyak Rp 122,5 triliun, perlindungan sosial Rp 154,8 triliun, dan penguatan ekonomi Rp 178,3 triliun.
Dana yang dialokasikan untuk PEN tahun 2022 ini lebih kecil dari tahun 2021 yang mencapai Rp 699,43 triliun.
Dengan adanya pengurangan anggaran, tentunya akan berkurang juga program bantuan untuk masyarakat.
Merebaknya kembali COVID-19 yang dipicu varian Omicron bagaikan buah simalakama bagi pelaku UMKM. Jika dimakan ibu mati dan tidak dimakan bapak mati.
Artinya, jika mereka ikut aturan pemerintah, usaha mereka terancam gulung tikar. Sementara jika mengabaikan aturan, nyawa yang jadi taruhannya.
Namun, buah simalakama itu tidak perlu ada jika pemerintah mampu memberikan fasilitas dukungan dan kemudahan usaha serta pelaku usaha pandai memanfaatkan fasilitas tersebut. Selain itu pelaku UMKM harus jeli menerapkan strategi usahanya agar mampu menghadapi ancaman gelombang ketiga wabah COVID-19 ini.
Dalam menghadapi COVID-19, banyak negara yang sudah menerapkan pelonggaran kebijakan walaupun jumlah kasus virus Corona di negara tersebut menunjukkan peningkatan.
Negara Denmark, Prancis , Swiss, Inggris, Belanda dan sejumlah negara di kawasan Nordik sudah tidak lagi melakukan pengetatan kebijakan. Tidak ada lagi kewajiban memakai masker dan kegiatan di ruang publik serta perkantoran juga menuju normal lagi.
Rakyat dan Pemerintah Indonesia juga pasti ingin mengikuti jejak negara-negara di atas agar kehidupan kembali normal. Yang jadi pertanyaan, apakah kondisi kesehatan rakyat Indonesia sudah sekuat rakyat di negara-negara itu? Apakah fasilitas kesehatan yang kita miliki sudah siap menampung dan menangani dengan baik potensi gelombang pasien yang datang dalam jumlah besar?