PERTAMA, selama masa pandemi COVID- 19 yang berlangsung genap dua tahun, dunia terus berharap ekonomi pulih. Antara harapan dan kenyataan tidak serta merta bisa nyambung. Akibat dari itu, yang nongol adalah ketidakpastian pasar.
Kabar yang mengkhawatirkan adalah terjadinya asset bubble, krisis utang, kenaikan inflasi global hingga ke persoalan geopolitik. Pemulihan ekonomi adalah yang tersisa dari seluruh rangkaian perjalanan panjang aktivitas ekonomi global agar tetap berada pada rel yang aman untuk bergerak dengan kecepatan yang memadai.
KEDUA, sekian waktu lamanya, aset dan liabilitas ditumpuk dalam satu basket besar untuk membiayai pemulihan ekonomi. Semua negara maju dan emerging economy berkorban nyaris tanpa batas hingga datang ancaman krisis utang, hingga terjadinya kebangkrutan massal.
Ngeri-ngeri sedap berita tentang covid dan ekonomi selalu muncul sebagai berita utama. BI mengatakan bahwa pelajaran penting peningkatan covid, kendala rantai pasok, dan ketidakpastian pasar keuangan dapat kembali memicu downside risk. Dengan demikian jika boleh digambarkan, kondisi hingga saat ini adalah antara aman dan tidak aman sehingga ketidakpastian tetap harus diwaspadai. Eling lan waspodo petuah para pini sepuh untuk menjaga negeri ini dan melindungi segenap bangsa.
KETIGA, dari sisi demand agregat yang bergerak kayak siput pasti memukul aktivitas ekonomi di sisi supply agregat, dan hanya ada satu kata yaitu “lumpuh”.
Produksi barang menumpuk di gudang, buruh terkena PHK, dan semua kewajiban harus dinegosiasi ulang agar keuangan korporasi tidak memikul beban berat.
Pun demikian keuangan negara pada dasarnya juga menanggung risiko serupa. Karena itu, begitu ada kabar baik tentang kondisi ekonomi global, yang terpikir pertama kali adalah bagaimana dapat segera jualan untuk merespon demand agregat yang mulai bergerak dan tumbuh.
Pilihan utama dan pertama adalah memupuk kembali pendapatan dan profit agar posisi aset likuidnya menguat, piutang pelan tapi pasti dapat ditagih setelah direstrukturisasi,dan arus kasnya bergerak lancar. Memupuk kembali pendapatan negara maupun pendapatan korporasi menjadi pilihan utama dan yang pertama akan dilakukan. Kita berikan catatan lagi bahwa menurut IMF, total GDP dunia adalah US$ 94 triliun pada tahun 2021. Di tahun 2020 , IMF juga memberikan catatan bahwa utang seluruh negara sebesar US$ 226 triliun, naik secara nominal US$ 28 triliun dibanding tahun 2019 sehingga total utang seluruh negara setara 256% terhadap GDP global.
Jadi dana hasil dari pemulihan ekonomi berupa pendapatan bersih pada aktivitas perdagangan internasional sudah ditunggu untuk membayar bunga pinjaman dan utang pokok, serta guna membiayai impor.
Bayangkan saja di pasar ekspor akan berlangsung persaingan tidak sempurna atau persaingan tidak sehat yang diwarnai oleh hidden tactical untuk merebut pasar yang mulai menggeliat.
KEEMPAT, masa pemulihan ekonomi berarti periode konsolidasi dan saat yang tepat untuk kembali berlaga di pasar yang sekian waktu lamanya sepi transaksi akibat demand agregat menurun.
Masa pemulihan dapat pula dipandang sebagai ikhtiar untuk suatu masa di mana belanja dan pembiayaan mulai bergerak, sehingga harapannya dapat memicu kegiatan konsumsi dan investasi.
Sebagai analis kebijakan, maka yang muncul pertama kali dibenak penulis adalah rebut kembali pasar yang pintu-pintunya mulai terbuka meskipun belum terlalu lebar. Semua negara berpikir untuk ekspor karena butuh devisa agar dapat membiayai impor, nyicil utang dan kewajiban internasional lainnya. Tindakan ini diperlukan agar barang dalam persediaan dapat segera dipasarkan supaya menjadi cuan, baik bagi negara maupun korporasi.
Tapi situasi ini juga tetap harus bisa dipahami bahwa impor akan menjadi tindakan bisnis yang tidak akan serta merta dilakukan secara terbuka karena semua produksi dalam negeri harus terlindungi dari tekanan impor sehingga perkembangan demand agregat di dalam negeri akan menjadi prioritas bagi para produsen lokal menjadi penyedia barang dan jasa untuk keperluan konsumsi, dan investasi maupun kegiatan pembangunan yang bersifat pisik.
Tingkat kewaspadaan yang perlu kita respon adalah bahwa semua negara akan melepaskan ekses kapasitas produksi yang mereka miliki ke pasar dunia. Kewaspadaan ini terutama difokuskan pada kemungkinan terjadinya dumping dan subsidi dari barang-barang ekspor ke negara emerging market seperti Indonesia. WTO dapat diduga akan dibuat sibuk oleh banyaknya gugatan karena terjadi un-fair trading/bisnis
KELIMA, semua negara butuh dana tunai yang tidak bersumber dari dana pinjaman karena beban utang sudah menggunung akibat pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi. Piutang korporasi maupun piutang negara diupayakan harus di-cash-kan.
Aset dalam bentuk inventory juga diusahakan agar bisa menjadi dana cash karena baik negara maupun korporasi butuh likuiditas yang tidak kecil untuk menggerakkan roda perekonomian. “Cuci gudang” akan menjadi “gerakan massal” untuk mengamankan cash flow. Cash inflow menjadi prioritas utama, baru kemudian menghitung cash outflow untuk membayar berbagai kewajiban.
KEENAM, ketika pemulihan ekonomi berlangsung meskipun menempuh perjalanan terjal dan berliku, pasar selalu menjadi patokan atau penanda bahwa ekonomi mulai menggeliat. Tanda-tanda itu selalu ada di pasar, mulai dari pasar barang dan jasa, pasar finansial, pasar modal maupun pasar tenaga kerja . Waktu BPS umumkan data pertumbuhan ekonomi pada triwulan-3 /2021, nampak jelas pertumbuhan ekspor tumbuh paling tinggi yaitu 29,16% , dan impor tumbuh 30,11% ( y-on-y). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 1,03%, konsumsi LNPRT 2,96%, konsumsi pemerintah 0,66%, dan PMTB (investasi pisik) 3,74%.
Titik balik pemulihan ekonomi terjadi sejak triwulan-3/2021, dan dari data tersebut terlihat bahwa penggerak utamanya adalah ekspor barang dan jasa ( 29,16% meskipun pertumbuhan impornya lebih tinggi yaitu 30,11%).
Situasi dapat dimengerti karena sekitar 70% bahan baku dan bahan penolong masih diimpor. Ekonomi global pada triwulan- 3/2021 mengalami perbaikan, terlihat dari indikator purchasing managers index (PMI ) global pada bulan Juli, Agustus, dan September 2021 yang mencapai angka 50 lebih.
Harga komoditas minyak kelapa sawit, coklat kopi dan komunitas hasil tambang, timah nikel, dan aluminium di pasar internasional mengalami peningkatan , baik secara q-to-q maupun y-to-y.
Kuartal-4 2021,ekonomi Indonesia tumbuh 5,02% dan untuk keseluruhan tahun adalah 3,69%. Pada Q-1/2022 , ekonomi Indonesia tumbuh 5%.Sejumlah negara mitra dagang, pada tahun 2021ekonominya tumbuh misal Tiongkok 8%, AS, 5% ,Perancis 7%, Italia 6%, Meksiko 4,5%, Korsel 4%, dan Jerman 3%.
Tahun 2022 ini semoga menjadi berkah dan ekonomi terus akan tumbuh meskipun harus terus waspodo karena kita bekerja dalam lingkungan ketidakpastian.
Sinergi dan koordinasi kebijakan makro ekonomi maupun mikro ekonomi untuk mendorong pemulihan ekonomi menjadi sangat penting dan urgent. Bersatu kita teguh, bercerai berai kita runtuh.