Oleh: Yayat Supriatna
Sebagaimana diketahui bersama dan disosialisasikan oleh hampir seluruh media massa di tanah air bahwa terhitung mulai tanggal 27 Januari 2022 pemerintah c.q. Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah memberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) terhadap produk minyak goreng (sawit). Kebijakan tersebut terasa cukup mengejutkan (tiba-tiba–Red.) karena memang sebelumnya tidak ada kebijakan seperti itu.
Kebijakan DMO adalah kebijakan pemerintah yang mewajibkan pasokan ke dalam negeri bagi seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor, sedangkan kebijakan DPO adalah kebijakan pemerintah yang menetapkan harga produk minyak goreng di pasar dalam negeri. Kedua kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh seluruh pelaku usaha yang terlibat dalam industri dan perdagangan minyak goreng karena kebijakan tersebut sifatnya wajib. Artinya, jika ada pihak-pihak yang melanggar ketentuan tersebut maka akan ada sanksi yang mengikat sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Melalui kebijakan DMO pemerintah mewajibkan seluruh eksportir minyak goreng untuk memasok 20% dari volume produk minyak goreng yang diekspornya ke pasar dalam negeri.
Berdasarkan perhitungan Kemendag, kebutuhan minyak goreng nasional pada tahun 2022 mencapai 5,7 juta kl yang terdiri dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kl dan kebutuhan industri sebesar 1,8 juta kl. Secara lebih rinci dari 3,9 juta kl kebutuhan rumah tangga terbagi lagi menjadi 1,2 juta kl kemasan premium, 231.000 kl kemasan sederhana dan 2,4 juta kl curah.
Sementara itu, melalui kebijakan DPO pemerintah akan menetapkan harga minyak sawit mentah (CPO) untuk keperluan pelaksanaan kebijakan DMO sebesar Rp 9.300/kg dan harga minayk goreng (RBD Olein) di level Rp 10.300/liter.
Selanjutnya, dengan penerapan kebijakan DMO dan DPO itu pemerintah juga akan memberlakukan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng di pasar dalam negeri terhitung mulai tanggal 1 Februari 2022, yaitu Rp 11.500/liter untuk minyak goreng curah, Rp 13.500/kg untuk minyak goreng kemasan sederhana dan Rp 14.000/liter untuk minyak goreng kemasan premium.
Kebijakan tersebut dilakukan pemerintah menyusul terjadinya lonjakan harga produk tersebut di dalam negeri yang dipicu oleh naiknya harga minyak nabati dunia termasuk minyak kelapa sawit sepanjang tahun 2021. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan bahwa harga rata-rata CPO selama tahun 2021 mengalami kenaikan tajam sebesar 67% menjadi US$1.194/ton dibandingkan US$715/ton pada tahun 2020.
Karena itu, tidak mengherankan apabila banyak produsen minyak sawit yang lebih memilih untuk mengekspor produknya ke pasar dunia karena tergiur harganya yang sangat tinggi. Nilai ekspor produk sawit Indonesia selama tahun 2021 pun langsung melonjak menjadi US$35 miliar dari US$22,9 miliar pada tahun 2020.
Lonjakan harga minyak sawit di pasar dunia yang terjadi sepanjang tahun 2021 ternyata tidak cukup menjadi sinyal bagi pemerintah akan perlunya pengaturan pasar minyak goreng di dalam negeri. Baru menjelang akhir Januari 2022 pemerintah sadar akan gejolak harga minyak goreng yang terjadi di tanah air sehingga memaksanya untuk mengeluarkan kebijakan DMO dan DPO.
Tentu saja pemerintah perlu turun tangan untuk mengatur pasokan minyak goreng di pasar domestik dan menetapkan harganya untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat yang kini sudah cukup berat akibat krisis ekonomi sebagai dampak langsung dari pandemi COVID-19 dewasa ini.
Kebijakan tersebut memang sangat diperlukan khususnya dalam rangka menjaga dan memenuhi ketersediaaan minyak goreng di pasar dalam negeri dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.
Namun demikian, kesan kebijakan kejutan itu yang disayangkan karena sebelumnya tidak pernah terpikirkan di benak pemerintah mengenai kemungkinan terjadinya lonjakan harga komoditi seperti ini, sehingga pemerintah tidak merancang kebijakan jangka panjang yang dapat menjawab dan mengatasi berbagai kemungkinan dan tantangan yang ada di pasar. Padahal produk minyak goreng merupakan produk yang sangat vital bagi kehidupan sehari-hari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat kalangan ekonomi bawah, ekonomi menengah sampai ekonomi atas.
Jangan sampai kebijakan kejutan ini justru menimbulkan disrupsi di pasar yang bisa merugikan berbagai pihak terkait. Karena itu, kuncinya adalah perlunya kebijakan jangka panjang dan dalam hal ini pemerintah harus bisa menelurkan kebijakan cerdas, komprehensif dan antisipatif agar masyarakat tidak terbebani, sebaliknya dunia usaha pun tidak terdampak negatif oleh kebijakan tersebut. (YS)