Dalam orasi pada Sidang Terbuka Dies Natalis ke -72 Universitas Indonesia, Rabu (02/02/2022) Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki melontarkan target rasio kewirausahaan 3,95% di tahun 2024. Target itu dicanangkan agar struktur ekonomi Indonesia menjadi lebih kuat, tidak bergantung pada segelintir konglomerat saja.
Saat ini, rasio kewirausahaan Indonesia baru mencapai angka 3,47%. rasio ini terlalu kecil jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di kawasan ASEAN. Rasio kewirausahaan Singapura sudah 8,76%, sementara Malaysia dan Thailand juga sudah di atas 4%. Bahkan di negara-negara maju,rasio kewirausahaannya sudah mencapai 12%.
Wirausahawan yang ada di Indonesia saat ini sebagian besar masih tergolong usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2021, jumlah wirausahawan Indonesia yang tergolong UMKM saat ini mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07% atau senilai 8.573,89 triliun rupiah.
Kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia meliputi kemampuan menyerap 97% dari total tenaga kerja yang ada serta dapat menghimpun sampai 60,4% dari total investasi.
Dampak positif dari keberadaan UMKM sudah terbukti ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi dan keuangan di tahun 1998. Saat itu banyak perusahaan besar yang bankrut akibat krisis tersebut sehingga pemerintah terpaksa memberikan bantuan likuiditas terhadap konglomerat-konglomerat di Indonesia.
Dalam kondisi itu, UMKM mampu bertahan dan menjadi penopang ekonomi nasional.
Mengingat besarnya kontribusi yang dapat diberikan sektor kewirausahawan terhadap pondasi ekonomi nasional, tidak pelak lagi jumlah wirausahawan baru harus dipacu.
Upaya meningkatkan jumlah wirausahawan baru memang sudah terlihat sejak beberapa tahun terakhir dan hasilnya cukup positif. The Global Entrepreneurship and Development Institute (GEDI) mencatat bahwa nilai Global Entrepreneurship Index (GEI) Indonesia terkategori sebagai The Biggest Gains in GEI Score, yaitu negara yang mengalami peningkatan paling signifikan selama tahun 2018-2019.
Indonesia mengalami perubahan peringkat sebesar 19 dari ranking 94 tahun 2018. Atau mengalami perubahan dari skor 21.0.
Diakui kalau pandemi COVID-19 yang awalnya muncul di kota Wuhan, China awal tahun 2000 dan kemudian masuk ke Indonesia awal Maret 2000 telah berdampak negatif terhadap perkembangan wirausahaan di Indonesia. Terlebih pandemi COVID-19 masih berlangsung hingga saat ini dan Indonesia diperkirakan segera memasuki gelombang ketiga serangan wabah itu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan di era pandemi COVID-19, UMKM adalah sektor yang paling terdampak. Berdasarkan hasil Survei Pelaku Usaha yang dilakukan BPS pada bulan Juli 2020, 84,20 % UMKM mengalami penurunan pendapatan
Untuk membantu UMKM dalam menghadapi dampak negatif COVID-19, Pemerintah harus menggencarkan program dukungan UMKM, diantaranya bantuan insentif dan pembiayaan melalui program PEN.
Sedangkan untuk terus memacu munculnya wirausahawan-wirausahawan baru, pemerintah perlu mendorong perbanyakan kegiatan pelatihan/seminar/ maupun kursus.
Kegiatan pelatihan itu sebaiknya tidak terbatas kepada mereka yang berpendidikan tinggi saja tetapi juga diberikan kepada mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Jiwa kewirausahaan juga perlu ditekankan bagi penduduk di perdesaan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan daya saing produk khas kewilayahan. Dukungan promosi yang menarik dan pembangunan komunitas atau paguyuban pengusaha lokal juga sangat penting untuk memperkuat kelembagaan.
Upaya lain yang sangat penting untuk dilakuan adalah mendorong kaum muda untuk menjadi wirausahawan. Hal ini tentunya perlu didorong dengan dukungan finansial mengingat kaum muda yang mampu jadi pengusaha perlu memiliki tabungan yang cukup terlebih dahulu.
Faktanya, banyak juga pengusaha yang sukses dengan usia yang masih belia. Dalam hal ini, pendidikan kewirausahaan juga perlu ditanamkan mulai dari bangku sekolah.